Friday 15 October 2010

Friday, October 15, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Kayu di Asmat.
AGATS (PAPUA) - Hendrik tampak serius mengukur sebilah balok kayu. Ini memang harus dilakukan dengan hati-hati, agar papan nama gereja mereka punya atap baru. Sehingga papan kayu dengan ukiran GPKAI Anugerah itu tidak mudah lapuk akibat diterpa hujan dan dihajar panas.

Saya mendekat perlahan. Kunjungan ini memang improvisasi saja awalnya. Setelah mengunjungi Pelabuhan Pomako, Muhammad Yamin, penunjuk jalan kami mengusulkan untuk mengunjungi kampung Asmat mini.

Tidak seperti di Agats, tempat aseli suku Asmat, ini merupakan sebuah kampung kecil yang didiami suku Asmat imigran. Mereka datang untuk bekerja di proyek-proyek kecil dan pelabuhan.

Perkampungan ini berada di atas rawa-rawa. Suku ini membangun rumah mereka di atas balok-balok kayu, mengambang sekitar satu meter di atas permukaan tanah lumpur yang selalu becek. Jumlah rumahnya tidak banyak, tidak sampai seratus buah. Ada satu sekolah, ada satu buah gereja.

Maka gereja ini menjadi penting bagi kehidupan mereka. Jika sebuah pura menjadi sentral kehidupan satu banjar di Bali atau fungsi masjid sebagai pusat kegiatan di zaman khalifah, seperti itu pula fungsi gereja bagi masyarakat Asmat.

GPKAI Anugerah ini adalah sebuah gereja kayu yang juga dibangun di atas papan-papan yang ditopang puluhan balok kayu. Fasadnya tertulis 'sinagoge' dalam huruf kapital dengan model dekoratif.

Sebuah corong TOA mencuat tepat di bawah atap, terbuat dari plastik putih yang mengkilap. Kontras dengan tembok-tembok kayu yang kusam dan catnya terkelupas di sana-sini.

"Kau berasal darimana?" tanya Hendrik ingin tahu. "Dari Surabaya kakak," jawab saya singkat.

Mata Hendrik tiba-tiba berbinar. "Kau tahu pendeta Musa? Dia dari Surabaya. Bagus sekali kalau berkhotbah, dahulu dia pernah kemari," kata Hendrik memburu. Saya menggeleng kepala tidak tahu.

Sebagai seorang pewarta foto, Yamin, guide saya pernah beberapa kali mengunjungi kampung mungil ini. Dia bilang,"Pada hari minggu, setelah kebaktian, biasanya mereka beramai-ramai memukul tifa. Sebagai pengisi waktu karena mereka sedang libur kerja."

Saya izin mengambil gambar pada Hendrik dan beberapa temannya. Mereka tersenyum dan mempersilahkan saya memotret gereja mereka yang sederhana. Salah satu yang saya kagumi dari gereja kecil ini adalah pintunya. Penuh detail ukiran model tribal di seluruh permukaannya. Begitu antik. Ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka adalah orang Asmat sejati, kaum pemahat ulung yang karyanya selalu diminati.