Saturday, 3 November 2012

Saturday, November 03, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Mohon Doa! Umat Kristiani di Banda Aceh Minta Intoleran Jangan Usik Kedamaian Aceh.
BANDA ACEH (ACEH) - Jarum jam baru menunjukkan angka sembilan, puluhan warga Aceh yang beragama kristiani telah berkumpul di halaman Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) yang terletak di Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

Sementara itu, yang lainnya memilih duduk di warung kopi di depan gereja sambil menikmati kopi sebelum datangnya waktu kebaktian.

Di depan gereja, suara nyanyian kebaktian atau kidung jemaat yang dinyanyikan oleh sejumlah remaja dari dalam gereja terdengar nyaring. Suara nyanyian tersebut semakin keras terdengar ketika remaja dari Gereja Methodist yang terletak di samping GPIB juga menyanyikan lagu kebaktian.

“Kebaktian atau sembahyang baru dilaksanakan pukul 10.00 WIB. Sekarang warga masih sedikit, mereka biasanya baru berkumpul di dalam gereja beberapa menit sebelum sembahyang dilaksanakan,” kata Jefri, salah seorang umat kristiani di Banda Aceh.

Jefri menyebutkan, GPIB tersebut merupakan gereja yang telah dibangun cukup lama di Banda Aceh. Di gereja itulah sebagian besar umat kristiani yang berasal dari berbagai daerah dan sedang bekerja di Banda Aceh berkumpul. "Di sini ada warga yang berasal dari Medan, Jakarta, Manado, bahkan dari Papua. Semua beribadah di sini," ia menambahkan.

Di Banda Aceh, selain ada GPIB yang berdampingan dengan Gereja Methodist juga terdapat gereja Katolik Hati Kudus dan gereja adat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Beberapa gereja juga memiliki sekolah sendiri.

Jefri yang mengaku berasal dari Medan, Sumatera Utara telah tinggal di Aceh beberapa hari setelah provinsi paling barat Indonesia tersebut hancur dihantam gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.

“Saat itu awalnya saya datang bersama mahasiswa dari Medan untuk memberikan bantuan, setelah itu bekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional dan sekarang saya mulai betah sekaligus merasa nyaman tinggal di Banda Aceh,” ungkapnya.

Ditanya pendapatnya tentang penutupan sejumlah tempat ibadah ilegal milik umat kristiani dan Hindu oleh Pemerintah Kota Banda Aceh, Jefri berpendapat bahwa hal tersebut tidak bisa ditolak atau digugat karena rumah ibadah tersebut memang tidak memiliki izin.

“Mereka memakai tempat untuk beribadah tanpa izin, ya dilaranglah. Jangankan membangun rumah ibadah, kita tinggal di tempat lain saja untuk bekerja harus mengurus surat pindah dan harus melapor minimal kepada kepala desa, apalagi untuk mendirikan rumah ibadah,” kata Jefri.

Seharusnya, ia menambahkan, mereka tidak perlu mendirikan rumah ibadah baru kemudian mengadakan kebaktian di tempat lain seperti di toko. Itu karena mereka bisa memanfaatkan atau merenovasi gereja yang sudah ada.

“Di Banda Aceh, gereja Protestan dan Katolik ada gerejanya. Gereja Metodist juga ada, gereja adat milik orang Batak juga ada. Mereka kan bisa beribadah di tempat-tempat itu, atau jika mereka punya dana mereka bisa membantu memperbaiki gereja yang sudah ada,” begitu pendapat Jefri.

Ulah Provokator
Ia menilai akibat ulah mereka yang datang ke Banda Aceh lalu membuat masalah, dampaknya dirasakan oleh umat kristiani yang tinggal menetap di Banda Aceh. “Pemimpin kebaktian tersebut setelah buat masalah pulang, sementara pengikutnya kocar-kacir di sini,” tutur Jefri.

Hal yang sama juga disampaikan Salomo, umat kristiani lainnya. Menurutnya, akibat permasalahan tersebut mereka merasa tidak nyaman beribadah meskipun mereka melakukan peribadatan di tempat yang memiliki izin. “Kami khawatir menjadi korban dari masalah penutupan tempat beribadah ilegal itu. Padahal sebelum terjadi masalah itu, kami sangat nyaman beribadah,” sebut Salomo.

Ia berharap Aceh tetap terbebas dari konflik agama dan semua pihak harus menolak jika ada provokator yang ingin merusak kedamaian di Aceh. “Saya sangat yakin masyarakat di Aceh sangat menolak terjadinya konflik agama di Aceh karena ulah provokator yang mempolitisasi permasalahan penutupan tempat ibadah yang tidak ada izin,” kata Salomon.

Kota Banda Aceh kembali menjadi sorotan sejumlah pihak, termasuk anggota DPR karena pada 15 Oktober 2012, Pemerintah Kota Banda Aceh menutup sejumlah tempat ibadah milik umat kristiani dan hindu yang didirikan tanpa izin di pertokoan dan rumah penduduk. Dalam pernyataannya, sejumlah anggota DPR menilai putusan Pemko Banda Aceh tersebut telah melanggar undang-undang.

Tak hanya itu, sejumlah pihak juga menilai, sejak pemberlakuan syariat Islam di Aceh, umat beragama lain telah tertekan. Penutupan tempat ibadah ilegal tersebut dipandang diberlakukan karena kebijakan syariat Islam di Aceh.

Pendapat tersebut ditanggapi oleh Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal. Menurutnya, yang ditutup itu bukan gereja atau wihara, tapi tempat warga melakukan ritual agama tapi tidak memiliki izin.

Pemerintah Kota Banda Aceh meminta sembilan tempat ibadah milik umat kristiani dan enam tempat ibadah milik umat Hindu di Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh yang tidak memiliki izin ditutup. Izin yang harus dipenuhi antara lain Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) serta Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Penutupan rumah ibadah tersebut dilakukan dengan membuat surat pernyataan seluruh pemimpin gereja dan wihara yang belum mendapatkan izin untuk melaksanakan ibadah. Surat pernyataan itu ditandatangani oleh Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal.

Illiza menyebutkan, Pemerintah Kota Banda Aceh sangat menghargai pemimpin gereja dan wihara yang membimbing kerohanian umat beragama masing-masing. Hal tersebut dianggap lebih baik karena mereka taat.

“Kami sangat menghargai itu. Ibadah memang harus dilaksanakan, tapi tetap sesuai dengan SKB Menteri Agama dan Mendagri serta Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Jangan dilanggar semua itu,” ujarnya.

Menurutnya, hal tersebut dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menjaga kerukunan umat beragama di Aceh. “Selama ini kerukunan umat beragama di Banda Aceh berjalan dengan baik. Jangan sampai karena ada yang melanggar peraturan, kerukunan itu jadi rusak,” sambung Illiza. (SinarHarapan)