JAKARTA - Gereja Abbalove atau Gereja Yesus Kristus Tuhan yang berlokasi di tempat yang kurang lazim. Yakni, di lantai dua ruko (rumah toko) di sudut pusat perbelanjaan kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Tak heran, suasananya agak lain dibanding gereja-gereja pada umumnya.
Sudah dua tahun terakhir gereja itu menjadi pusat aktivitas rohani para waria yang beragama Kristen Baik untuk beribadah maupun untuk kegiatan regili lainnya seperti pada hari-hari menjelang Natal saat ini. Gereja yang tak begitu besar itu "bisa menampung sekitar 50 jemaat" mulai gayeng diramaikan para jemaat.
Minggu sore (12/12), misalnya, sejumlah kaum transgender Jakarta dan sekitarnya berkumpul di tempat peribadatan seluas 120 meter persegi itu. Umur mereka bervariasi. Ada yang sudah berusia lanjut, ada pula yang masih belia.
Sore itu, para jemaat sedang bersiap mengadakan acara menyambut Natal. Tidak hanya dengan doa-doa dan lantunan lagu-lagu Kristiani, mereka juga menyiapkan atraksi hiburan yang menyegarkan. Karena itu, di antara jemaat terlihat ada yang mengenakan baju warna-warni. Ada yang mengenakan busana khas Tiongkok, berkostum karnaval dengan topi berhias bulu-bulu burung merak, dan ada yang bergaun malam.
Seluruh pengisi acara dalam kebaktian itu juga para waria. MC-nya Bella Aldama, waria berlatar belakang pendidikan S-2 keuangan. Tampak pula Yulianus Rettoblaut, ketua Forum Komunikasi Waria Nasional, yang menaungi para waria tersebut.
"Mereka beribadat di sini sejak dua tahun lalu," kata Nani, salah seorang pengurus Gereja Abbalove. "Jadi, ya antarjemaat sudah cukup familier," tambah perempuan Tionghoa yang menjadi pengasuh Komunitas Anak Raja "komunitas waria yang menjadi jemaat di Gereja Abbalove" tersebut.
Menurut Nani (dia tidak bersedia menyebutkan nama panjangnya, Red), komunitas itu dibentuk untuk menampung kaum waria yang sulit mendapatkan tempat peribadatan. Mereka membutuhkan wadah untuk menumpahkan unek-unek dan mendapatkan pencerahan rohani.
Yayasan Bina Mandiri yang menaungi Gereja Abbalove bisa memahami kegelisahan para waria itu. Mereka lalu menyediakan diri untuk menampung para waria yang ingin mendapatkan pembinaan rohani tersebut. "Mereka kan ingin hidup secara benar," ujar Nani yang bersama suaminya lalu menyediakan diri menjadi pembina para waria tersebut.
Namun, untuk hal itu, kata dia, mereka harus bersedia untuk berubah. "Jangan hanya mengeluh. Mereka harus menghargai diri sendiri lebih dulu untuk bisa tercerahkan."
Yayasan pun memetani potensi para waria yang kebanyakan menjadi pengamen jalanan dan penghibur itu. Mereka lalu dibina berdasar potensi masing-masing. Dari situ, setapak demi setapak para waria mulai bisa menghargai kemampuan sendiri. "Tahun lalu, mereka bisa tampil dalam pergelaran seni yang cukup meriah. Ada yang menampilkan pertunjukan musik, pameran lukisan, serta peragaan busana," cerita perempuan 40 tahun itu.
Tidak sampai di situ. Yayasan juga memberikan modal untuk usaha. Hal tersebut, kata Nani, dilakukan karena sebagian masyarakat belum bisa menerima kaum waria dalam pekerjaan formal. Mereka dibina menjadi wiraswastawan sejati dengan membuka warung, salon, serta menjadi penjahit dan pedagang.
"Mereka tinggal bilang, sukanya apa, kami yang bina," ujarnya. Dia menambahkan bahwa seluruh biaya pembinaan ditanggung yayasan.
Dari situ, secara perlahan pendekatan rohani lebih mudah dilakukan. Para waria mulai akrab dengan gereja dan berbagai aktivitas di dalamnya. Lama-kelamaan, mereka membentuk kelompok jemaat tersendiri. Bahkan, yang mengejutkan, beberapa waria kemudian meminta ingin dipulihkan kembali menjadi laki-laki.
Nani menuturkan, keinginan untuk kembali menjadi pria itu merupakan inisiatif para waria sendiri. "Kami tidak pernah memaksa mereka untuk menjadi pria kembali. Itu hak masing-masing," tegasnya.
Apa yang diajarkan kepada waria yang ingin kembali menjadi laki-laki? Nani menyatakan, pihaknya hanya mengajarkan nilai-nilai moral. Para waria juga diminta menceritakan latar belakang dan masa lalunya. Para pembina di yayasan bertugas menggali dan mencarikan jalan untuk menjadi laki-laki. "Kami meminta mereka menerima apa adanya. Kalau ada sesuatu yang kurang benar pada masa lalu, kami minta untuk dimaafkan," ungkapnya panjang lebar.
Nani tidak ingat berapa waria yang sudah dipulihkan kembali menjadi laki-laki selama dua tahun ini. Namun, yang pasti, sudah ada dua mantan waria yang menjalani pengangkatan silikon di payudaranya. "Ada yang sudah berkumpul kembali dengan keluarganya di Surabaya," ujar perempuan asal Semarang itu. Para waria yang sudah pulih tersebut kini membentuk perkumpulan bernama Komunitas Pria Sejati.
Salah seorang waria yang sudah kembali normal itu adalah Bresman Tobing. Mantan waria berusia 40 tahun tersebut memberikan kesaksian di depan jemaat dalam acara pra-Natal Minggu sore itu. Dia menyatakan bersyukur telah diterima kembali oleh keluarganya di Medan.
"Natal nanti saya bisa pulang untuk bertemu keluarga saya," ujar Bresman dengan nada bicara yang sudah tidak kemayu. Pria tinggi besar itu mengenakan kaus dan celana jins layaknya pria normal.
Dua tahun lalu, Bresman masih menggunakan nama Citra. Kala itu, dia masih sering diminta tampil sebagai bintang tamu dalam berbagai kegiatan yang melibatkan waria. "Lihat, itu saya dulu," kata Bresman menunjukkan cuplikan video dirinya yang tengah memeragakan busana.
Dalam pengakuannya, sebagai Citra, Bresman tidak bahagia. Terlebih, keluarga di kampung menolak kehadirannya sebagai waria. "Saya lega telah lahir kembali sebagai laki-laki. Saya juga punya usaha agen beras yang lumayan. Sudah punya rumah sendiri," katanya bangga.
Atas kepulihan itu, dia menyatakan mempunyai misi sosial untuk mengajak waria lain agar bisa pulih seperti dirinya. "Sudah ada sekitar 90 waria yang kini berstatus mantan waria. Saya sangat bersyukur," ujarnya berulang-ulang.
Sumber: JPNN