(suarapembaruan.com) |
Hal itu tertuang dalam surat Komisioner Tinggi HAM PBB, Navanathem Pillay, yang berkedudukan di Jenewa Swiss kepada pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marthy M. Natalegawa, pada 26 April 2011 yang lalu.
Menurut juru bicara jemaat GKI Yasmin, Bona Sigalingging kepada SP, Minggu (15/5), dalam suratnya, Navanathem menyebutkan beberapa contoh kasus intimidasi dan diskriminasi yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia pada kelompok-kelompok agama minoritas di Indonesia.
Dalam surat tersebut, secara spesifik PBB menyebutkan kasus diskriminasi pada GKI Yasmin yang ditutup dan umatnya dilarang untuk melakukan kegiatan peribadatan. Sementara penyanyi kondang Glenn Fredly ikut beribadah dengan jemaat GKI Yasmin, Minggu (15/05/2011) pagi.
Glenn menyatakan, bahwa di negara yang berdasarkan Pancasila, seperti di Indonesia, kasus seperti yang dialami GKI Yasmin tidak boleh terus dibiarkan berlanjut. Dalam ibadah di trotoar tersebut, Glenn menyanyikan lagu karya Almarhum Franky Sahilatua: ”Pancasila Rumah Kita”.
Sementara itu, Pendeta Ujang Tanusaputra memastikan bahwa jemaat GKI akan kembali mencoba beribadah di dalam gerejanya sendiri pada minggu depan dan minggu-minggu selanjutnya sampai hak beribadahnya diberikan sebagaimana jaminan konstitusi.
”Kami tidak punya masalah dengan tukang ojek. Namun dengan segala resikonya, termasuk kemungkinan ancaman adu domba konflik horizontal dari pihak-pihak yang anti-keragaman, kami tetap berpegang pada putusan,” katanya.
Pemkot dan Kepolisian Kota Bogor semakin keras menekan umat GKI untuk tidak mengadakan ibadah di gerejanya sendiri. Suasana tegang kembali terjadi, Minggu (15/5) saat jemaat GKI berupaya untuk beribadah di gerejanya sendiri.
”Surat Keputusan Wali Kota Bogor yang mencabut permanen IMB gereja adalah bentuk pembangkangan terhadap putusan MA nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010 yang menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemkot Bogor tentang keabsahan izin gereja. Untuk pembekuan IMB gereja saja MA menolak, apalagi mencabutnya secara permanen”, tegas Bona Sigalingging.
Polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor memblokade bangunan gereja dengan kendaraan-kendaraan, termasuk dengan water canon. Sejak pagi, ruas jalan di depan gereja ditutup oleh polisi dan hanya menyisakan satu sisi jalan saja. Melihat keadaan tersebut, jemaat memutuskan untuk menggelar ibadah di trotoar jalan, yang terletak beberapa meter dari gereja, seperti yang selama ini terpaksa mereka lakoni.
Namun, perwakilan tukang ojek yang biasa menunggu penumpang di tempat itu menyatakan keberatan bila GKI menggelar ibadah di lokasi tersebut. Jemaat GKI lalu bernegosiasi dengan polisi meminta agar diizinkan beribadah di dalam gereja atau minimal di trotoar yang persis di depan gereja.
Namun, polisi bersikeras tidak mengizinkan. Jemaat kemudian bersiap menggelar ibadah di ruas jalan yang sejak awal ditutup oleh polisi. Namun, saat satu persatu jemaat perempuan termasuk lanjut usia duduk di kursi-kursi kecil yang diatur di tengah jalan, secara mendadak dan tanpa pemberitahuan, polisi langsung membuka kembali ruas jalan yang sebelumnya ditutup, sehingga puluhan kendaraan langsung mengarah tepat ke kumpulan jemaat. Jemaat pun berhamburan menyingkir dari jalanan untuk menghindari tabrakan yang dapat saja terjadi.
Dalam kegaduhan tersebut, seorang warga jemaat, Maria Tari (47), kehilangan kesadaran. Meski demikian, polisi bergeming dan terus mengusir semua jemaat untuk menyingkir dari jalanan. Menghadapi pengusiran ini, jemaat kembali berjalan ke arah bangunan gereja. Namun sekali lagi, polisi dan Satpol PP menghalangi jemaat. Suasana tegang tersebut baru reda setelah terjadi percakapan antara GKI, tukang ojek dan polisi.
”Minggu depan GKI tidak boleh lagi beribadah di trotoar ini”, ucap seorang perwakilan tukang ojek. Jemaat akhirnya menjalankan ibadahnya di trotoar jalan.
Sumber: Suara Pembaruan