Sunday, 27 May 2012

Sunday, May 27, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua gelar Dialog Publik Jelang Pemillihan Gubernur.
JAYAPURA (PAPUA) - Guna mencermati permasalahan dan mencari solusi atas proses pemilihan gubernur Papua dan wakil gubernur Papua yang memicu persepsi beragam di masyarakat Papua, Sinode GKI Papua menggelar Dialog Publik Pilgub Provinsi Papua 2012.

Dialog yang digelar di Aula Sekolah Tinggi Theologia (STT) Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, di Padang Bulan, Distrik Abepura, dengan tema 'Papua tanah damai dan hak demokrasi rakyat Papua', menghadirkan empat narasumber, yakni mantan anggota MRP, Hanna Hikoyabi, pakar hukum dari Uncen, Prof DR M Hetaria,  Pdt Dr MTh Mawene, dan Ketua Sinode GKI, Albert Yoku, serta 5 panelis dari akademisi maupun organisasi pemuda yang dimoderatori Amir Siregar.

Di depan peserta 60-an peserta dialog dari berbagai elemen, baik agama maupun organisasi, termasuk kalangan adat, ada beberapa poin menarik yang diungkapkan pemateri.

Diantaranya adalah terkait Perdasus  Nomor 6 Tahun 2011 yang mengatur tentang pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur Papua.

Ditegaskan Prof DR M Hetaria bahwa perangkat pelaksanaan Otsus, ada di Perdasi dan Perdasus, meski diakui ada sebagian yang pelaksanaannya harus didasarkan pada Peraturan Pemerintah. “Tapi sebagian besar ada di Perdasi dan Perdasus,” tagasnya.

Perdasus tersebut, diterangkan bahwa sebagai satu kesepakatan bersama antara eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (wakil rakyat di DPRP). Sehingga semua pihak di Papua harus tunduk dan patuh terhadap Perdasus tersebut.

Sehingga, Perdasus Nomor  6 yang dipakai sebagai landasan pihak DPRP untuk membuka pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur Papua, adalah sah dan berkekuatan hukum. Ada masalah yang muncul terkait peraturan perundang-undangan yang dikatakannya sebagai akar persoalan, yakni Ambivalensi diantara dua UU. Yakni UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus di Papua, pasal 7 ayat 1a tentang tugas dan wewenang DPRP, memberikan kewenangan pada DPRP untuk melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Papua. Namun pada pihak lain, UU No 15 Tahun 2001 tentang  pemilihan umum mengamanatkan KPU untuk melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Diterangkan lebih lanjut bahwa masalah pemilihan apakah oleh DPRP atau secara langsung oleh rakyat, menurutnya sebaiknya adalah langsung oleh rakyat. Hal itu bercermin pada pelaksanaan Pepera yang dilakukan oleh perwakilan rakyat Papua, disesali sebagian rakyat Papua sampai sekarang.

“Sesalan yang sama juga terjadi atas hasil-hasil Pemilihan Umum di zaman orde baru dan orde lama terdahulu,” ujarnya.

Sehingga ia mengajak semua pihak di Papua untuk mengakhiri ambivsalensi tersebut dengan mengedepankan hak rakyat Papua untuk mengambil keputusan secara langsung atas siapa yang layak dan pantas menjadi pemimpinnya.

Dan untuk membedah atau menghilangkan ambivalensi tersebut, baik narasumber maupun panelis berpendapat sama, yakni diperlukannya untuk duduk bersama antara DPRP dan KPU.

Tentang dialog yang digelarnya, Ketua Sinode GKI, Albert Yoku saat ditemui wartawan di sela-sela istirahat, mengatakan, dialog tersebut dimaksudkan untuk bagaimana mencari solusi terbaik, terutama bagaimana Papua Tanah Damai yang sudah dicanangkan pemimpin-pemimpin agama pada tahun 2001, itu tetap menjadi jiwa dan roh untuk seluruh keadaan pembangunan di Tanah Papua

“Termasuk seluruh proses-proses pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan DPR di seluruh tanah Papua,” ungkapnya.

Apabila proses tersebut sedang bermasalah, seperti Pilgub yang sedang berlangsung yang dikhawatirkan akan menjadi satu nilai atau preseden buruk bagi rakyat di Tanah Papua untuk bagaimana rakyat menggunakan hak pilihnya dan turut berperan serta menentukan pimpinannya di masa depan, pihaknya berharap tidak tercipta pernyataan apatis, skeptic terhadap pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada waktu yang akan datang.

“Gereja berharap bahwa semua rakyat di tanah Papua akan menggunakan hak pilihnya, dan mendoakan supaya semua proses yang ditangani oleh DPRP, MRP sebagai proses verifikasi itu bisa itu kita hormati dalam undang-undang Otsus yang sedang dilaksanakan,” harapnya.

Sehingga pihaknya menghimbau supaya KPU untuk tidak bertahan diri menggunakan UU No 32 dan No 15, tetapi KPU juga menghormati Perdasus Nomor 6. “Supaya setelah diverifikasi oleh DPRP dan MRP, maka KPU lah yang 217 memberi nomor undian.

“KPU lah yang menyelenggaraka proses pemungutan suara sampai menghasilkan gubenur dan wakil gubernur di Tanah Papua,” tegasnya.

Pihaknya juga menghimbau kepada pemerintah pusat, khususnya Mendagri dan KPU Pusat, supaya menghormati peraturan atau undang-undang Otsus, dan perdasus nomor 6 yang merupakan kehususan penyelenggaraan Pemilu di Papua.

Tentang hasil dialog, menurutnya akan diberikan kepada pemerintah Provinsi Papua, DPRP, MRP dan KPU sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan Pilgub mendatang.

Bahkan dikatakan, sempat muncul perbincangan tidak resmi, bahwa pimpinan-pimpinan agama yanga ada di Papua akan menyampaikan ini langsung ke Pemerintah Pusat, terutama kepada presiden. “Supaya presiden mengawasi Mendagri dan KPU pusat di dalam menajalankan pemerintahan di Tanah Papua,” jelasnya.

Hal itu karena, pihaknya melihat indikasi bahwa kebijakan perundangan yang ambivalen memunculkan indikasi ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah pusat melalui mendagri, dan ketidakpercayaan rakyat pada penyelenggaraan Pemilu kedepan. (BintangPapua)