Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Gelar Nonton Bareng Film 'Soegija' dengan Perwakilan Lintas Agama.
JAKARTA - Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) menggelar acara nonton bareng film Soegija yang diputar secara serentak di berbagai bioskop di Jakarta maupun di kota lain, di beberapa daerah, Kamis (07/06/2012).
Film yang mengisahkan pelayanan iman dan perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh Uskup Mgr Albertus Soegijapranata SJ ini sarat dengan nilai kebangsaan yang diharapkan dapat diteladani para pemimpin bangsa ini.
Dari sekitar 169 penonton yang hadir, di antaranya pimpinan atau perwakilan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Nasinapati Institute.
Sejumlah politisi, anggota partai dan lembaga tinggi negara, cendikiawan, profesional juga bergabung dalam acara Nonton Soegija Bareng ISKA ini.
Ketua Presidium Pusat ISKA Muliawan Margadana sekaligus main host acara ini, mengatakan, ada dua hal yang disampaikan melalui pemutaran film ini, yakni pertama, ingin meneruskan semangat kebhinnekaan, pluralisme, dan nasionalisme Indonesia yang dihayati Uskup Soegijapranata dalam film ini.
Kedua, mencerminkan spirit dasar organisasi ISKA, yakni solidaritas tanpa sekat.
Menurutnya, setidaknya ada empat teladan utama dari Uskup Soegija yang bisa kita petik, yakni satu kata dan tindakan, kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan nasional, kepentingan agama dan negara yang dapat saling mengisi. Juga yang paling penting adalah agama itu membangun, bukan sebaliknya merusak.
Muliaman berpendapat, nasionalisme Soegija dan kecintaannya pada Indonesia, tercermin dengan kuat melalui semboyannya yang masyur, yakni 100 % Katolik,100% Indonesia.
Hal ini mendorong agar spirit kebhinnekaan dan upaya solidaritas tanpa sekat sungguh-sungguh perlu dihadirkan tatkala Indonesia kian sering dilanda konflik horizontal, sementara peran negara dalam membangun spirit keindonesiaan terus melemah.
Hilangnya nilai-nilai tradisional, seperti gotong royong dan toleransi lantaran radikalisme menyebabkan orang bekerja untuk kepentingan golongannya sendiri maupun pribadi.
“Karena itu kami ingin mendorong publik , dan kami para cendikiawan sendiri ingin belajar, merenungkan kembali spirit keindonesiaan melalui film ini. Soegija bukan milik kaum Katolik saja, melainkan milik Indonesia,” kata Muliawan di sela-sela acara tersebut.
Film Soegija disutradarai Garin Nugroho. Dalam karyanya ini, Garin menyampaikan dan melukiskan pesan universal, bahwa perang dan penjajahan di mana-mana pasti menghancurkan kemanusiaan. Keluarga tercerai berai, kemiskinan dan kelaparan menghempaskan manusia, kekerasan berlangsung tanpa pandang bulu, bahkan juga menimpa mereka yang menindas.
Romo Kanjeng Soegija yang pernah menjadi Uskup Agung Semarang di sini menyerukan perdamaian di bumi dan kemerdekaan bangsa serta manusia dari penjajahan maupun penindasan.
Menonton film, kata Muliaman adalah proses pembelajaran bagi semua kalangan bahwa semua komponen adalah bagian integral republik ini, tidak ada satu kelompok pun yang bisa mengklaim diri paling berjasa terhadap kemerdekaan Indonesia. Sebab, Indonesia dibangun karena kesamaan cita-cita di atas kebhinnekaan, bukan cita-cita etnik, suku dan agama tertentu.
Sosok paling kuat dari Pahlawan Nasional ini adalah kesederhanaan. Uskup yang lahir di Surakarta 25 November 1896 dan wafat di Stevl, Venlo, Belanda 22 Juli 1963 itu tidak pernah memunculkan cirinya sebagai pemimpin yang harus ditakuti atau dihormati. Ini perlu diteladani manakala bangsa ini sedang miskin akan pemimpin yang memberi teladan kesederhanaan.
Oase
Bagi Ketua Umum ISNU Ali Masykur Musa, Uskup Soegija adalah sosok yang tidak pernah mendikhotomikan antara agama dan bangsa. Cara pandang seperti ini yang diajarkan Soegija untuk menjadi dasar orang melihat hubungan negara dan agama sebagai mutual simbiosis. Keteladanan Soegija adalah oase di tengah kekeringan nilai dalam kehidupan bangsa.
Oase seperti inilah yang perlu dilenterakan oleh pejabat, generasi muda dan tokoh agama dalam rangka menumbuhkan kenegarawanan yang tidak membedakan agama, etnik atau golongan.
Keteladanan lain dari sosok Soegija ini adalah menumbuhkan humanisme sebagai esensi perjuangan keagamaan. Agama akan menjadi dangkal manakala tidak membentuk kepentingan kemanusiaan. Seperti Gus Dur, Soegija selalu mengembangkan humanisme di dalam perjuangannya.
“Dan inilah yang hilang saat ini setelah tokoh- tokoh ini tiada. Butuh tokoh-tokoh baru yang bisa mengembangkan aspek humanisme di dalam perjuangan,” katanya.
Film Soegija diputar secara serentak mulai Kamis (7/6) di sejumlah bioskop di Tanah Air dan dipadati penonton. Di Bioskop 21 Depok Tower Square (Detos), Depok, Jawa Barat misalnya, film ini diputar empat kali, yakni pukul 12.00, 15.00, 17.00, dan 21.30 dan semuanya penuh penonton.
Umat Katolik Depok dari beberapa paroki secara khusus menyempatkan diri menonton film ini dengan didampingi para Pastor Paroki masing-masing.
Pastor Paroki St Markus Depok II Timur Romo RD Antonius Dwi Haryanto bersama Frater Bertho misalnya sejak pagi hingga malam mendampingi umatnya menyaksikan film Soegija yang sarat nilai ini.
Menurut Romo Antonius, film ini sangat luar biasa memberikan pelajaran dan pengalaman bagi semua orang. Menurutnya, film Uskup Soegio di satu sisi menguatkan iman Katolik, di sisi lain juga menanamkan dan menguatkan semangat nasionalisme dan patriotisme.
Kesan serupa juga diungkapkan warga lainnya Leo Rewa. Menurut Leo, film ini memberi pelajaran untuk semua. Bisa untuk anak-anak tentang bagaimana memahami nilai-nilai agama, juga sekaligus memberikan pemahaman tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan untuk semua kalangan film ini memberikan pelajaran kemanusiaan dan kekeluargaan yang mendalam. (SuaraPembaruan)
ISKA
Jakarta
lintas agama
matakin
Nasinapati
nonton bareng
phdi
PIKI
soegija
Sumatera dan Jawa
toleransi
Walubi