Thursday, 12 July 2012

Thursday, July 12, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Bethel Tabernakel (GBT) : Tidak Ada Penodaan Agama dalam Kekristenan.
BANDUNG (JABAR) - Penodaan agama adalah istilah yang digunakan saat umat agama lain merasa beberapa ajarannya sakralnya dilecehkan dan dihina oleh individu atau kelompok dari agama lain. Namun dalam kehidupan kristen seharusnya tidak pernah ada umat kristen yang satu dituduh melakukan penodaan agama oleh umat kristen yang lain. Karena kekristenan walau berbeda ajaran denominasi gerejanya tetapi merupakan satu kesatuan dalam tubuh kristus.

Pada sidang banding (09/07/2012) kasus 'Penodaan Agama' yang mendakwa Pdt. Hadassah J. Werner, saksi peneliti Pdm. Ir. Andrianus A.menjawab pertanyaan Majelis Hakim bahwa Organisasi gereja tidak memiliki prosedur untuk menyatakan seorang pendeta menodai agama kristennya sendiri bahkan ini juga mengandung arti bahwa tidak ada prosedur penodaan agama di dalam kekristenan.

Pernyataan iman kristen secara Apologetika memang membela terhadap konfrontasi dari umat lain  yang melecehkan iman kristen, namun Apologetika di Indonesia tidak pernah digunakan sebagai dasar untuk membawa seseorang kristen atau non kristen ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama Kristen.

Karena esensi dari Apologetika hanya meng-counter bukan mendakwa. Pdm. Ir. Andrianus A. sebagai Ketua Badan Organisasi Persekutuan GBT, menyatakan kehadirannya di pengadilan ini sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan surat pemecatan terhadap Pdt. Hadassah J. Werner sebagai pendeta. Alasan dari pemecatan itu karena masalah moral bukan karena pengajaran dari yang bersangkutan apalagi penodaan agama.

Pengajaran kristen (hermeneutika) yang dianggap salah bukan menjadi bukti seseorang pendeta telah menodai agama kristen. Hermeneutika sendiri harus didukung oleh pengetahuan terhadap bahasa Ibrani dan tafsir dari ayat-ayat tersebut secara kulturasi dan menguraikannya secara inkulturasi (kontekstual). Jadi secara ekstrim jika seorang pendeta hermeneutikanya salah dan melanggar apologetika maka secara kristen di Indonesia tidak ada prosedur yang menyatakan pendeta tersebut telah menodai agama kristen. Tidak ada prosedur organisasi gereja di Indonesia bahkan di dunia yang mentransformasikan kesalahan dan pelanggaran tersebut menjadi delik hukum penodaan agama.

Negara harus menjamin setiap pengajaran dari setiap gereja, negara tidak memiliki komponen mengadili mana pengajaran yang benar mana pengajaran yang salah atau sesat. Penentuan pengajaran yang salah adalah hak dari komunitas masyarakat tersebut bukan hak dari negara.

Jika Organisasi gereja seperti Gereja Bethel Tabernakel GBT) tidak pernah memiliki prosedur penodaan agama kristen yang dilakukan oleh seorang pendeta maka bagaimana bisa sidang pengadilan ini terjadi?

Dimana seorang mantan pendeta GBT didakwa telah menodai agama kristen tanpa melewati prosedur gereja terlebih dulu. Apakah sekarang Negara sudah mulai intervensi dengan mengatur dan mengadili cara-cara pengajaran kristen yang seharusnya adalah hak masyarakat atau umat tersebut. Marilah kita kembalikan (repositioning) posisi dari negara sebagai penjamin kebebasan beragama dan posisi dari komunitas umat beragama sebagai penjaga norma-norma Agama.

Bertentangan dengan saksi Pdm. Ir. Andrianus A., saksi lain dari Majelis Pimpinan Pusat GBT yaitu Pdt. Soendoro Jahja, M.Div  menyatakan bahwa surat pemecatan pendeta Hadassah J. Werner bukan karena alasan moral tetapi karena disinyalir ada  pengajaran yang salah. Namun saat Pdt. Hadassah J. Werner mengkonfrontasi masalah hermeneutika mana yang salah, ia bahkan tidak bisa menjelaskan pengertian dari bahasa Ibrani yang dipermasalahkan dalam BAP dakwaan (Chai dan Tzadikim).

Berbeda dengan beberapa pemimpin GBT yang jadi saksi, Pdt. Soendoro Jahja, M.Div mengakui telah mendengar khotbah dari Pdt. Hadassah J. Werner sebelumnya, alih-alih mendengar khotbah ternyata ia hanya membaca salinan dakwaan sidang yang berisi penggalan khotbah yang sudah diposisikan.

Saat ditanya mengenai tafsiran yang dimuat pada Dake's Bibble, saksi sama sekali belum pernah mendengar kitab Henokh ada di catatan kaki Alkitab versi Dake, sehingga selama 5 menit sebelumnya ia tidak setuju kitab tersebut diajarkan. Terlihat bahwa di kalangan pemimpin organisasi gereja pun pemahaman mengenai hermeneutika masih sangat rendah.

Tidak ada larangan bagi umat Kristen untuk menggunakan beberapa versi Alkitab dengan tujuan menambah wawasan pengetahuan mengenai Firman Tuhan di dalam Alkitab. Meskipun sebagian besar umat kristen di Indonesia menggunakan Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) namun selain itu beberapa Alkitab versi lain juga tidak tabu untuk digunakan seperti versi New King James Version (NKJV), New International Version (NIV), New Standar Revised Version (NSRV), English Standard Version dan beberapa versi Alkitab yang disertai dengan tafsiran hermeneutika seperti Dake's Bibble, Amplified Bibble,  Colin Bibble. Kitab Henokh sendiri termasuk kedalam komplemen Alkitab yang disebut pseudopigrafa dan biasanya diajarkan sebagai materi advanced dari hermeneutika.

Pseudopigrafa adalah pelengkap yang tidak termasuk ke dalam kanon dan apokrifa. Tulisan pseudopigrafa ini ditulis oleh sekelompok orang Yahudi pada tahun 250 Sebelum Masehi sampai 200 Masehi. Tulisan-tulisan pseudopigrafa ini sangat penting karena menjelaskan mengenai latar belakang Yahudi pada masa Romawi dan Yunani.

Vulnerabilitas Kekristenan
Umat kristen sangat lemah untuk mengatasi ancaman dari luar yang umumnya berupa sulitnya mendirikan rumah ibadah, pelecehan terhadap iman kristen (apologetika), penistaan terhadap rasul dan simbol-simbol kristen. Selama ini umat kristen sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya karena masalah keminoritasan kristen di negara ini.

Selain itu kerentanan (vulnerbilitas) kekristenan ini juga terjadi karena tidak ada konsep persatuan di dalam tubuh umat kristen sebagai 'tubuh kristus', tidak ada konsep saling menghargai kebhinekaan berupa perbedaan ajaran (hermeneutika) dan pemahaman denominasi gereja. Serta beberapa konflik internal gereja yang timbul karena masalah keuangan, sertifikat gereja, dan perijinan.

Pada tahun 2012 saja ada dua kasus besar yang terjadi karena mantan diaken merasa pengajaran dari pendetanya sudah melanggar hak asasinya sebagai manusia dan penyelesaiannya dilakukan dengan ranah hukum.

Selain itu konflik antar gereja yang didasari oleh pertentangan pengajaran juga banyak terjadi antar denominasi gereja. Sehingga secara umum umat kristen mengalami dua kerentanan yaitu tidak memiliki otoritas untuk membela dirinya sebagai agama setara di negara ini dan yang kedua kelemahan  didalam internal kekristenan, banyak sekali batu sandungan yang menjatuhkan umat kristen lain, intoleransi terhadap pengajaran dari pendetanya, intoleransi terhadap pengajaran dari denominasi gereja lain.

Ini semua muncul karena keegoan pribadi dari masing-masing umat kristen dan keterkotakkan komunitas umat kristen sehingga secara negara Kristen tidak memiliki tembok api (firewall) yang melindungi dirinya dari ancaman yang datang dari luar dan secara internal di dalam tubuh umat kristen malah terbangun benteng-benteng pengajaran dan denominasi gereja yang menutup penghormatan terhadap komunitas kristen yang lain. (GBTLengkongBesar))