Tuesday, 17 July 2012

Tuesday, July 17, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Isi Pertemuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Kanselir Jerman, Angela Merkel.
JAKARTA - "Saya mendengar banyak tentang Pancasila, yang membawa kedamaian di Indonesia oleh semangat kerukunan, karena itulah saya berkunjung ke gereja ini dan juga nanti ke mesjid Istiqlal,” demikian pernyataan Kanselir Jerman, Dr. Angela Merkel dalam pertemuan bersama MPH PGI bertempat di GPIB Immanuel – Gambir (10/07/2012), tulis press  release yang dikeluarkan PGI.

Merkel dalam lawatan kerjanya ke Indonesia kali ini, telah menjadwalkan untuk bertemu dengan MPH PGI yang disambut langsung oleh Ketua Umum PGI, Pdt DR. A. A. Yewangoe dan Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, M.Th.

Merkel mengatakan bahwa dirinya juga mendengar tentang kesulitan orang Kristen di Indonesia, terutama menyangkut kebebasan beribadah dan menggunakan gedung ibadah. Saya ingin mendapat keterangan tentang ini, lanjut Merkel.

Pertemuan yang berlangsung 30 menit dari 15 menit yang direncanakan, membahas berbagai issue yang tekait kehidupan beragama dan hak-hak azasi manusia di Indonesia. Merkel menyinggung kecenderungan sekularisasi yang dilihatnya sebagai gejala yang menguat di dunia. Apakah anak muda masih suka bersama orangtua ke gereja? tanya Merkel.

Pada kesempatan itu, Ketua Umum PGI, Pdt. DR. A. A. Yewangoe, menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk di mana konstitusi menjamin kebebasan beragama. Di tengah keragaman agama, ada kerukunan autentik yang direfleksikan dalam Pancasila.

Hal ini terutama sangat nampak di daerah pedesaan. Sayangnya 5 sampai 6 tahun terakhir ini terjadi radikalisasi yang akarnya berasal dari luar (negara, red), tegas Yewangoe.

Menurut almarhum Presiden Abdurrahman Wahid, akar-akar radikalisasi ini berasal dari kaum Wahabi  di Saudi Arabia. Radikalisasi bukan hanya musuh umat Kristen,  tapi musuh bangsa ini, tegas Yewangoe. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi bukanlah Kristen versus Islam, tetapi nasionalisme Indonesia melawan mereka yang tidak menyetujui nasionalisme.

Fakta-fakta seperti penutupan rumah ibadah yang dialami oleh GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, harus dilihat dalam terang radikalisme seperti ini, tegas ketua umum yang mewakili 88 Sinedo Gereja – Gereja di Indonesia tersebut.

Lebih jauh, Yewangoe mengatakan bahwa terkait masalah radikalisme tersebut, maka yang diperlukan adalah penegakan hukum. Hal ini sangat penting, sebab tanpa penegakan hukum, negara ini akan lemah, dan konsistensi pemerintah dalam menegakkan konstitusi merupakan suatu keharusan.

Issue Wilayah Perbatasan
Selain persoalan hak asazi manusia, Pdt. Andreas Yewangoe juga menyinggung soal keprihatinannya terhadap daerah-daerah perbatasan yang selama ini dianggap sebagai pintu belakang. Gereja-gereja di Indonesia, lewat persidangan MPL-PGI, melihat perlunya suatu perubahan paradigma dalam memandang daerah perbatasan, yakni daerah perbatasan haruslah dipandang sebagai pintu gerbang masuk Indonesia.

Itu berarti pembangunan daerah perbatasan harus lebih baik dari yang sekarang. Yewangoe menunjukan contoh kebijakan pembangunan seperti di Papua, bagian Utara Sulawesi, bagian Barat Sumatera, Kalimantan dan NTT.  Bagi pria asal Sumba ini, nasionalisme sejati baru bisa dibangun kalau semua orang merasa senasib, termasuk di daerah perbatasan.

Diskriminasi dan Identitas
Kanselir Jerman, Angela Merkel mempertanyakan perihal anak sekolah yang kabarnya ditanya agama mereka ketika masuk sekolah, yang dijawab oleh Yewangoe bahwa di Indonesia ada kolom agama pada kartu identitas.

"Gereja bependirian supaya kolom agama itu dihapus, karena bisa menjadi obyek diskriminasi. Namun hal ini masih merupakan  perjuangan yang belum terpenuhi," harap Yewangoe.

Hubungan dengan Agama Lain
Angelina Markel yang sesungguhnya cukup mengetahui kehidupan pluralitas di Indonesia, sempat mempertanyakan hubungan PGI dengan Pimpinan agama lain. Dijelaskan kontak secara kontinue dengan para pimpinan NU dan Muhamadiyah terus berlangsung.

Masalah radikalisme itu dibicarakan bersama dengan pemimpin muslim, jelas Yewangoe. Demikian juga masalah diskrminasi, pada prinsipnya, baik Islam maupun Kristen sama di hadapan hukum, tapi dalam prakteknya bisa beda, tegas Yewangoe.

Setelah mendapatkan berbagai penjelasan dari MPH PGI, dengan memberi contoh Jerman, Merkel menjelaskan bahwa di Jerman agama juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan, tapi orang bebas untuk tidak beragama.

Pertemuan yang berlangsung  dalam suasana kekerabatan akhirnya ditutup dengan komitmen dan janji Kanselir Markel untuk membicarakan hal-hal tersebut dengan Presiden Republik Indonesia dan berharap bisa berkembang lebih baik ke depan sesuai fasafah Pancasila yang adalah dasar dan ideologi indonesia, dan tentunya bisa memberi semangat atau contoh yang baik bagi bangsa lain di dunia. (PGI)