Oleh: Walter Rauschenbusch
Ibadah yang riil, satu-satunya hal yang Allah perhatikan, adalah hidup yang seperti Kristus. Hidup sepenuh waktu dalam kesadaran akan kasih dan kedekatan Allah, menyatukan semua keinginan dan maksud dengan kehendak-Nya, rendah hati di hadapan-Nya adil serta mengasihi semua orang, inilah ibadah Kristen yang riil. Tanpa hal tersebut, doa, nyanyian, “pelayanan rohani” di hari Minggu tak lain hanya bunyi-bunyian bising di pendengaran Allah.
Itulah maksud Paulus ketika ia mendorong kita untuk mempersembahkan tubuh kita, diri kita seutuhnya, menjadi persembahan yang hidup dan berkata bahwa itu akan merupakan pelayanan kita yang masuk akal (Roma 12:1), artinya, itulah bentuk ibadah kita yang rasional. Ia sangat mengenal berbagai bentuk ibadah yang irasional. Ketika Yakobus berkata bahwa ibadah yang murni dan tak bercacat terdiri dari memberikan pertolongan kepada orang yang tak berdaya dan menjaga diri kita tak bercela terhadap dunia ini (Yakobus 1:27), kata “ibadah” berarti liturgi atau perayaan keagamaan. Kehidupan yang mengasihi dan yang murni adalah liturgi sejati dari ibadah Kristen.
Kehidupan Yesus penuh dengan ibadah sebagaimana burung penuh dengan kicau nyanyian atau bagaikan mawar penuh semerbak harum, tetapi kelenturan hidup Yesus jauh dari hanya menjalani bentuk ibadah yang diwariskan, dan jarang dapat dikatakan bahwa Ia mengajarkan bentuk ibadah yang baru.
Memang Ia mengajarkan doa ketika para murid-Nya meminta diajarkan, tetapi doa itu dimaksud untuk mengajarkan kesahajaan radikal. Dalam ibadah kita yang umum kita dapat sangat dekat dengan semangat Kekristenan yang sejati jika setiap tindakan kita penuh dengan sukacita di dalam Allah dan persekutuan dengan-Nya, saling mengasihi, benci segala bentuk kejahatan, dan hasrat tulus untuk hidup benar di pemandangan Kristus.
Ibadah kita seharusnya menghapuskan sekuat mungkin semua pementingan diri yang rakus, semua takhayul, dan semua ide yang tidak benar dan tidak layak tentang Allah. Itu seharusnya membersihkan konsep tentang kehidupan yang benar dengan mendidik sifat moral kita; itu seharusnya mengerahkan dorongan kuat, mantap dan menetap menuju tindakan benar; dan itu memupuk dan mengembangkan kebiasaan terhormat dan kemampuan untuk memuja Allah.