_”Maxima de nihilo nascitur histiroria. Kisah (sejarah) besar bisa muncul dari sesuatu yang bukan apa-apa.”_
Kita memperoleh mata pelajaran _sejarah_ secara lebih dalam dan elaboratif pada waktu kita duduk dibangku Sekolah Menengah Atas. Walaupun harus diberi catatan bahwa belajar sejarah pada zaman itu lebih cenderung pada materi yang dihafal, kurang menyentuh apa relevansi kisah sejarah masa lalu itu dengan kehidupan kekinian. Semua peserta didik apalagi menjelang Ulangan sibuk menghapal kapan terjadi Perang Diponegoro, kapan pasukan westerling memasuki kota Bandung, dimana Teuku Umar berjuang, apa nama dokumen yang di keluarkan tanggal 22 Juni 1945, dan beberapa isu penting lainnya.
Sejarah memiliki arti yang penting dan strategis bagi kehidupan umat manusia baik dalam kapasitas pribadi maupun dalam kapasitas komunitas. Sejarah akan menolong seseorang atau komunitas bangsa dalam menapaki masa depan dengan lebih baik. Dengan memahami sejarah kita dibantu untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masadepan. Melalui sejarah kita dibantu untuk tidak terjatuh pada lubang yang sama. Kita tak boleh terbelenggu oleh sejarah, kita tidak boleh melupakan atau abai terhadap sejarah. Bung Karno dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1966 mengingatkan agar bangsa kita jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Pidato itu terkenal dengan akronim *Jas Merah* dan dalam pidato itu Bung Karno menyatakan bahwa bangsa kita sedang menghadapi tahun yang gawat, antara lain perang saudara.
Penulisan sejarah konon sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno. Thomas Carlyle membatasi sejarah sebagai biografi orang-orang terkenal. Tentu saja sejarah tidak hanya terbatas pada aspek itu. Sejarah, _history_ bukan ‘his story’, historia adalah “mengusut pengetahuan yang diperlukan melalui penelitian merupakan kajian tentang masa lampau, khususnya bagaimana keterkaitannya dengan manusia.
Memahami sejarah sangat penting bagi setiap warga bangsa utamanya para pejabat publik, penyenggara negara, aktivis agar mereka benar-benar memahami perjalanan hidup bangsa ini sejak awal kelahirannya, perjuangan merebut kemrdekaan dan melaksanakan pembangunan. Seseorang yang abai dan tidak tahu tentang sejarah bangsanya akan melahirkan pemikiran sempit dan bisa mengungkapkan pernyataan yang kontra produktif serta menyakiti hati rakyat. Seorang petinggi negeri di era orde baru pernah menyatakan bahwa komunitas X naik ke gerbong negara RI tanpa tiket. Sang petinggi ingin mengatakan sebuah teori a historis bahwa ada sebagian warga bangsa yang tidak ikut berjuang dalam merebut kemerdekaan tetapi bisa menikmati kehidupan di dalam negara RI. Pernyataan itu bukan hanya a historis tetapi juga penghinaan/pelecehan terhadap sebagian warga bangsa. Sejak zaman baheula _the founding fathers_ negeri ini menyatakan dengan amat jelas dan berulang-ulang bahwa seluruh komponen bangsa dari berbagai suku, agama, ras, golongan telah berjuang bersama dalam mencapai kemerdekaan. Semua komponen bangsa yang amat majemuk ini juga bersama-sama bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Siapapun tidak pernah ada yang bisa mengklaim bahwa ia dan atau golongannya yang telah _menghadiahkan Pancasila_ kepada bangsa Indonesia.
Pernyataan bahwa Pancasila itu adalah _hadiah_ atau _dihadiahkan_ oleh komunitas atau oleh siapapun itu adalah pernyataan *a historis*, lebay bahkan cenderung menyesatkan. Pancasila itu hasil perjuangan bersama, ada dialog, diskusi, debat, lobby dan kesadaran bersama bahwa kita ini bangsa yang majemuk yang membutuhkan flatform bersama dalam hidup membangsa dan menegara.
Kita bersyukur bahwa bangsa kita semakin berada dalam alur pikir bahwa Pancasila adalah sesuatu yang sudah final dan sudah selesai sebagai dasar negara. Lembaga-lembaga keagamaan telah menyatakan suara yang sama bahwa Pancasila sudah final, sudah _firm_. Yang mesti dilakukan sekarang adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila itu diartikulasikan, di praktikkan dalam kehidupan nyata.
Pepatah yang dikutip diawal artikel ini menyatakan “kisah sejarah besar bisa muncul dari sesuatu yang bukan apa-apa”. Sejarah besar memang tidak hanya dan tidak mesti lahir dari kota besar, dari kelompok elit, dari pejabat tinggi dari intelektual dan akademisi. Sejarah besar bisa lahir dari ‘the man in the street’, dari rimba belantara, dari rusunawa, dari mereka yang terengah-engah dicekik dolar naik. Sejarah bisa lahir dari siapa saja, dimana saja, beragama atau beretnik apapun, dari home schooling, dari sekolah rimba, dari manapun.
Kita semua warga bangsa yang majemuk harus “melek sejarah”, punya kesadaran sejarah, memiliki “sense of history” bahkan harus mampu mencipta sejarah baru. Kita takboleh memanipulasi sejarah, tidak boleh a historis, kita harus menghargai semua warga bangsa yang telah berperan dalam sejarah demi mewujudkan kemerdekaan, apapun suku, agama, ras dan golongan mereka. Semua warga bangsa telah naik di gerbong NKRI dengan tiket valid dan bisa menikmati perjalanan gerbong NKRI dengan baik. Mari kita membuat sejarah yang spektakuler dari lorong dan gang di sekitar rumah kita. Sejarah yang mampu memperkuat NKRI yang majemuk.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*