Wednesday, 12 September 2018

Wednesday, September 12, 2018
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca PDT. WEINATA SAIRIN: *MERANGKUL MASALAH TANPA KELUH-KESAH*.

 

 

 

“It’s not happens to you but how you react to it that masters”  (Epictetus)

 

Hidup manusia ditengah sebuah dunia yang bergerak, adalah sebuah kehidupan yang bersentuhan dengan begitu banyak masalah. Sejak  kecil hidup seseorang tidak steril dari berbagai virus yang menggerogoti kehidupan, tidak sepi dari berbagai guncangan yang mendebarkan dan mencemaskan yang bobot, skala, dan spektrumnya amat dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan seseorang dan konteks sekitar.

 

Pada masa kanak-kanak biasanya kita menghadapi permasalahan di sekolah tatkala kita tidak terlalu siap untuk memasuki jenjang pendidikan yang baru. Suasana sekolah, aktivitas PBM dengan guru yang baru, kawan-kawan baru kesemuanya menghadirkan suasana psikologis yang tidak selalu memberi pengaruh positif dalam proses pembelajaran.

 

Pada saat kita studi di perguruan tinggi masalah yang dihadapi tentu sangat spesifik. Tentang dosen “killer” yang sikapnya acap melemahkan semangat kita sebagai mahasiswa; text book yang sulit dicari dan kontennya juga sulit dicerna; dana yang terbatas yang sering tidak mampu mengcover seluruh biaya pendidikan di perguruan tinggi.

 

Pada saat kita sudah berumahtangga dan sudah bekerja atau menjadi _entrepreneur_ maka persoalan yang singgah dan atau menerpa kehidupan kita menjadi multi-dimensional. Ada banyak aspek, ada beragam wujud, ada berbagai isu yang kadang menyerbu dari berbagai penjuru.

 

Dari banyak isu yang dihadapi maka berdasar pengalaman empirik hal yang amat sulit adalah masalah internal keluarga. Bagaimana mengelola relasi suami-istri, relasi antar besan, relasi menantu dan mertua; hal itu membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ‘seni’ agar relasi itu secara proporsional dapat terwujud dengan baik sepi dari friksi, gosip dan rumor.

 

Setiap orang memiliki cara dan pendekatan sendiri dalam berhadapan dengan permasalahan. Ada yang _cuek_ dan _ignore_ saja dan tidak melakukan apapun. Ada yang langsung mempertanyakan secara teologis tentang masalah/derita yang ia alami. “Saya kan rajin ibadah dan selalu jadi donatur mendukung program komunitas, mengapa malah Tuhan memberi masalah?”

 

Namun ada yang menafsirkan bahwa masalah itu muncul sebagai “hukuman Tuhan” atas dosa-dosa yg telah diperbuat. Sehubungan dengan pemikiran itu maka seseorang kemudian minta ampun kepada Tuhan dan melakukan pertobatan.

 

Setiap orang pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam menjalani kehidupan. Setiap orang menanggung bebannya sendiri-sendiri dalam menapaki kehidupannya. Sebagai umat beragama kita mesti menghadapi setiap permasalahan yang datang menerpa kita. Kita mengurai dan mencari simpul-simpul solusi dari setiap permasalahan yang kita hadapi sehingga kita bisa terbebas dari masalah yang kita hadapi yang selama ini menekan kita.

 

Kita acap terpenjara pada permasalahan yang kita hadapi. Kita pesimis, kita tak bisa bergerak oleh karena masalah itu, kita terbelenggu dan pikiran kita menjadi distortif.

 

Apalagi jika ada orang lain menafsirkan masalah yang kita hadapi itu secara subyektif dan kemudian menghakimi kita dengan cara-cara yang tidak elegan.

 

Cukup menarik apa yang dinyatakan Epictatus di bagian awal tulisan ini. Bukan apa yang terjadi pada kita, tetapi apa reaksi kita terhadap apa yang terjadi itu, itu pernyataan penting Epictatus. Reaksi itu terjadi dengan berdasar pada tafsir kita terhadap masalah itu sendiri. Bisa saja kita tidak bereaksi terhadap masalah yang mendera kita. Bisa ada reaksi namun senyap, nyaris tak terdengar. Bisa saja ada reaksi yang keras dan signifikan karena kita punya tafsir sendiri tentang masalah itu.

 

Masalah akan selalu datang menghadang dan mendera kita. Masalah akan selalu datang menghampiri kita. Masalah itu yang membuat kita makin mature, matang, dewasa dan mandiri. Masalah bisa jadi membuat kita makin dekat dan tergantung kepada Allah. Jangan lari dari masalah, jangan terpenjara oleh masalah. Hadapi dengan ikhlas, dengan memohon hikmat Tuhan cari solusi agar masalah itu selesai dengan baik. Kita umat beragama yang ‘surrender to God’ akan mampu keluar dari masalah dan menjadi pemenang. Sabar dan tekun menunggu kairos Allah (the God’s time)!

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*