Friday, 20 August 2010

Friday, August 20, 2010
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Rm. Yohanes Damianus, OMI: "Tuhan, Ampunilah Mereka....".
JAKARTA - Romo Yohanes Damianus, OMI  dikirim Kongregasinya ke tanah Pakistan sebagai Misionaris sejak 5 tahun yang lalu.  Pada 25 Mei 2010 yang lalu, Romo Dami mengalami peristiwa penembakan yang dilakukan oleh sekelompok orang – entah mereka itu perampok atau militan.  Hal ini mengakibatkan luka cukup serius.  Romo Dami lalu dikirim pulang ke Indonesia untuk menjalani serangkaian proses operasi dan pengobatan lebih lanjut.  Beruntung Sabitah dapat menemui Romo Dami yang masih dalam pemulihan paska operasi pertamanya di Pasturan Paroki Cengkareng.

Hikmah dari peristiwa penembakan ini?
“Sebagai seorang Misionaris, kami harus siap menghadapi segala bentuk malapetaka, termasuk juga penembakan.  Jadi hikmah yang paling mendasar dari peristiwa ini adalah bahwa bekerja bersama Yesus harus berani menanggung resiko. Saya menyadari betul bahwa tugas perutusan sebagai Misionaris ini bukan hanya  karena saya diutus oleh Romo Provinsial atau Romo Jenderal – mereka hanyalah sarana untuk menyampaikan perutusan pada saya - tetapi inilah perutusan Tuhan Yesus sendiri kepada saya dengan segala resikonya.  Bukan hanya saya saja yang mengalami peristiwa tak menyenangkan ini, banyak Romo yang ditembak mati, ada yang disekap, diculik, dan macam-macam lagi, bahkan ada Romo yang istilahnya “balik tinggal nama”.  

Itulah resiko dari sebuah misi. Jadi saya tidak akan melihat peristiwa ini hanya semata sebagai kejadian manusiawi, tetapi hal itu adalah resiko dari misi, seperti Tuhan Yesus sendiri yang menjalankan  misiNya hingga beresiko Dia terbunuh. 

Resiko seorang Misionaris itu di mana saja di dunia ini selalu ada -  resiko-resiko yang kerap kali tak tertanggungkan.  Saya mencoba mengambil bagian dalam penderitaan Kristus dengan ikut mengambil penderitaan kemanusiaan di dunia ini.  Tidak hanya saya yang ditembak, ada begitu banyak orang yang ditembak, saya kebetulan lolos, yang lain tidak lolos.”
Ketika kejadian, Romo Dami hanya seorang diri, mengendarai mobil dari Keuskupan ke Paroki yang berjarak sekitar 300 Km, membawa dokumen-dokumen penting Keuskupan karena Romo Dami adalah seorang Bendahara Keuskupan (Prokurator) dengan kekuasaan lebih dari seorang Bendahara. Romo Dami biasanya ditugaskan membeli tanah, bangunan, macam-macam lainnya untuk Keuskupan karena Quetta itu akan dipersiapkan untuk menjadi Keuskupan.  Beberapa dokumen ada di dalam laptopnya, seperti dokumen rencana 5 tahun pembangunan Keuskupan.
Pada saat itu, Romo Dami hendak menginap di Paroki dan akan pula pergi salah satu kota terdekat karena mandapat perutusan untuk membeli tanah di sana untuk sekolah, gereja,  dan makam orang Kristen, sehingga Beliau juga membawa cek dan uang tunai untuk dibayarkan kepada penjual tanah.
Pikiran Romo Dami saat kejadian?
“Prinsip pertama saya, berusaha membebaskan diri dari mereka karena persoalannya di dalam mobil saya itu berisi dokumen-dokumen penting Keuskupan.  Kalau itu sampai  jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab, Gereja yang menderita.  

Saya boleh mati, tapi Gereja tidak boleh menderita. Maka pikiran pertama saya adalah bagaimana meloloskan diri supaya dokumen-dokumen itu terselamatkan, supaya Gereja juga tidak terkena efek terlalu besar karena peristiwa itu.  Saya tertembak, ya, itu tak masalah, tapi kalau dokumen-dokumen itu jatuh ke tangan mereka, itu lebih gila!  Atau, kalau saya disekap, nanti mereka bisa memeras Gereja, tidak hanya setahun-dua tahun, mereka akan memeras bertahun-tahun.  Nah itu juga akan menjadi efek kepada keseluruhan Gereja universal.”
Sebenarnya, Romo Dami sudah sadar ada yang mengikuti ketika terlihat mobil besar di belakang mobilnya.  Sayangnya, Romo Dami terjebak di jalan yang rusak dan sudah tentu mereka  lebih profesional dan lebih tahu medan.  Romo Dami merasa tidak akan lolos saat itu dan berpikir kalau Beliau mati, tak jadi masalah, karena hal ini adalah bagian dari misinya yang tak boleh disikapi dengan mendua hati.  Misi harus dijalankan dengan sepenuh hati, walaupun taruhannya adalah nyawa.   Kelompok itu berjumlah 4 orang: 1 pengendara mobil dan 3 orang lainnya langsung turun dengan senjata di tangannya.  Ketenangan adalah kunci dalam menghadapi keadaan genting.  Ketika para militan menghampiri, Romo Dami masih sempat menjawab ingin memundurkan mobilnya lebih dulu.  Karena mobilnya berukuran kecil dan Romo Dami melihat ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk melarikan diri, maka Romo Dami melakukan hal itu.  Para militan lalu  memberondongkan peluru, salah satunya mengenai tangan Romo Dami.  Sepertinya, kelompok ini sudah biasa mengincar kendaraan yang dibawa Romo Dami.  Hanya karena adanya faktor dokumen-dokumen penting Keuskupan, maka Romo Dami harus mengambil tindakan taktis dalam keadaan terjepit, karena biasanya kelompok yang demikian ini akan mengambil semua – bahkan terkadang hingga menelanjangi korban untuk diambil pakaiannya.  Masalah lainnya adalah Romo Dami bukanlah warga lokal – seorang asing.  Maka kalau sampai tertangkap, kelompok ini biasanya akan minta tebusan seperti yang terjadi sebelumnya,  ada seorang Amerika yang tertangkap dan dimintai tebusan sebesar + Rp 15 Milyar.  Itulah sebabnya, Romo Dami lebih berpikir untuk berusaha meloloskan diri.
Perasaan Romo Dami saat tertembak?
“Saya mengambil moment itu sebagai kesempatan untuk menghayati bagaimana Yesus yang tersalib.   Maka sekitar 5 menit selesai saya tertembak, saya mengeluh, saya berdoa Salam Maria, Bapa Kami.  Saya mohon bantuan perlindungan St. Eugenius de Mazenod dan malaikat-malaikat pelindung, karena saya masih menyetir sekitar 20 Km-an lagi - atau sekitar 30 menit.  Yang paling indah adalah walaupun sakit , saya masih mampu berdoa dengan doa yang Tuhan Yesus ucapkan saat Ia disalib: “Ya, Tuhan, ampunilah orang-orang ini, karena mereka tidak mengerti apa yang mereka perbuat.” Doa itulah yang saya ucapkan dan ketika selesai mendoakannya, saya koq merasakan damaiNya.  Semua berlalu, saya tidak merasa benci dengan mereka, saya tidak mengumpat, saya tidak menjelek-jelekan mereka.  Sudahlah, bagi saya, ya, sudah, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, Tuhan ampunilah mereka. Jadi ketika saya mengucapkan doa itu, saya benar-benar merasakan bagaimana dulu Tuhan tersalib masih bisa mengampuni orang, sekarang saya tertembak, saya mengampuni orang, begitu juga Paus Yohanes Paulus II yang juga tertembak , Beliau mengampuni, mengunjungi si penembak di penjara dan berkata: “Hai, engkau saudaraku”. 

Jadi peristiwa ini membuat saya menghayati kata-kata itu  lebih daripada biasa. Kalau saya berkhotbah tentang kata-kata itu, menceritakan itu, mengajarkan itu di retret-retret, mungkin tidak terlalu dalam.  Sekarang, saya mengalaminya sendiri - antara hidup dan mati. Ketika dalam perjalanan,  saya hampir 3 kali pingsan, setiap kali ingin pingsan, saya berdoa Salam Maria, kemudian segar lagi, begitu mau pingsan lagi, saya doa Salam Maria lagi sampai saya sampai ke rumah sakit terdekat. Jadi saya merasakan kedekatan dengan Allah, Bunda  Maria, Tuhan Yesus, St. Eugenius de Mazenod pada saat itu.” 

Sumber: Trinitas