Tingkat penolakan terhadap kehadiran gereja di
wilayah Bekasi, Jawa Barat, semakin tinggi. Adakah kaitannya dengan seruan
pahlawan nasional?
Setelah dipingpong oleh pemerintahan setempat, akhirnya jemaat HKBP Pondok
Timur, Bekasi memutuskan untuk beribadah di lokasi baru yang merupakan tanah
milik jemaat. Sabtu, 10 Juli 2010, mereka pun membersihkan lokasi untuk dipakai
untuk ibadah Minggu besok dan seterusnya.
Tapi pada saat pembersihan berlangsung, sekelompok massa, kurang lebih 30 orang, mendatangi lokasi dan melarang diadakannya peribadatan di tempat itu. Penolakan keras mereka terekspresi dalam spanduk-spanduk yang mereka bentangkan. “Masyarakat Islam menolak berdirinya Gereja di Mustika Jaya”. Spanduk lain berbunyi: “Kami Tokoh Pemuda Masyarakat Mustika Jaya menolak berdirinya Gereja di Mustika Jaya”.
Bunyi spanduk itu barangkali jelas bukan tanpa maksud. Sekurang-kurang, itu mengekspresikan resistensi yang tinggi akan kehadiran gereja di wilayah Bekasi. Bukan hanya di Sukmajaya seruan bahwa “gereja tidak boleh ada di wilayah itu” dikumandangkan. Dalam beberapa kali demonstrasi di wilayah-wilayah lain di lingkup Bekasi, pernyataan seperti itu sering dikumandangkan.
Sebagai contoh lain - seperti dilaporkan Republika Newsroom -, dalam sebuah demonstrasi besar-besaran di depan kantor Walikota Bekasi pada 31 Juli 2009, massa yang menamakan dirinya Forum Komunikasi dan Silaturahmi Masjid-Mushola (FKSMM) Kota Bekasi mengumandangkan hal yang sama dalam kaitan dengan penolakan keberadaan gereja di Vila Indah Permai, Kecamatan Bekasi Utara.
Budi Santoso, koordinator lapangan aksi unjuk rasa ini, menyebut Wali kota Bekasi, Mochtar Muhammad, telah mencederai amanat KH Noer Ali, pahlawan nasional dari Bekasi, karena mengizinkan pembangunan gereja di Kecamatan Bekasi Utara. “KH Noer Ali bilang, boleh di Bekasi Utara dibangun perumahan, bahkan kawasan industri, tapi jangan bangun gereja,” teriak Budi dalam orasinya.
Indonesia yang plural
Wasiat KH Noer Ali itu sering dikumandangkan dalam demons-trasi penolakan kehadiran gereja. Siapakah KH. Noer Ali sebenarnya? Sejarah mencatat bahwa KH. Noer Ali adalah pejuang nasional yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Bekasi.
Banyak cerita kepahlawanan yang hidup di tengah masyarakat menyangkut sosok pahlawan nasional ini. Beliau adalah tokoh Hizbullah yang berperang melawan penjajah. Berkat ketokohan dan kejawaraan Pak Kiai - begitu beliau dipanggil -, bom-bom yang ditembakkan Belanda tidak meledak. Belanda lari tunggang langgang. Pak Kiai menjadi incaran Belanda tapi tidak pernah berhasil ditangkap karena bisa menghilang atau tidak tampak oleh musuh.
Setelah merdeka, beliau menjadi anggota konstituante dan gubernur Meester yang pertama. Wilayah Meester yang dimaksud adalah Jatinegara saat ini. Nama itu diambil dari nama Meester Cornelis, dan hingga sekarang nama jalan di Jatinegara masih Jl. Bekasi Barat, padahal sekarang Bekasi sudah menjadi kota sendiri.
Melihat ketokohannya, banyak pihak yang meragukan bila kalimat itu sungguh diucapkan oleh seorang pahlawan nasional. “Saya agak ragu dengan wasiat itu. Saya menduga ada manipulasi dan rekayasa-rekayasaa dari orang yang mengaku sebagai pendukungnya. Kalau beliau seorang pahlawan, pasti beliau mempunyai kecintaan pada Indonesia dan memiliki kepercayaan bahwa keanekaragaman adalah kekuatan Indonesia,” kata Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute.
“Sebagai bagian dari Indonesia, upaya penyingkiran hak kelompok lain di Bekasi merupakan sebuah kekeliruan. Bekasi adalah bagian dari Indonesia, sebuah negara yang multietnis, multiagama, beranekaragam dan prinsipnya adalah bhineka tunggal ika. Di mata hukum, semua warga negara sama kedudukannya,” tambahnya.
Syuhada dan bersyariah
Selain mengusung wasiat pahlawan nasional KH. Noer Ali, kegerahan umat Islam atas kekristenan juga tampak dari pencanangan kota Bekasi sebagai daerah Syuhada dan Bersyariah. Seperti diberitakan media massa, pada Minggu 20 Juni 2010 silam, berbagai Ormas Islam di Kota Bekasi, Jawa Barat menggelar kongres untuk menyikapi kasus penodaan agama dan beberapa kasus lainnya dengan tema “Menjadikan Kota Bekasi Sebagai Daerah Syuhada dan Bersyariah”. “Point penting yang dibicarakan adalah kasus Abraham Felix, mantan siswa sekolah Bellarminus yang menghina Islam,” kata Ketua FPI Bekasi Raya, Muhali Barda tentang kongres yang diikuti oleh lebih dari 300 orang itu.
Ada beberapa rekomendasi dikeluarkan dalam rapat itu. Yang pertama, mendesak kepada pemerintah daerah dan pihak kepolisian untuk menuntaskan kasus penistaan agama itu. Dalam kaitan itu, mereka mendesak Pemerintah Kota dan Kabupaten Bekasi untuk membuat peraturan daerah (perda) untuk mencegah penistaan agama.
Ormas Islam juga mendesak pemerintah daerah untuk mendata ulang dan menertibkan rumah-rumah ibadah yang tidak berizin, dan mendesak Dinas Pendidikan mengkaji ulang kurikulum agama di semua sekolah. Yang tak kalah menariknya, ormas juga merekomendasikan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bekasi dijadikan sebagai institusi terdepan dalam menyelesaikan sengketa agama di Bekasi. “Saya melihat peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bekasi tidak berjalan maksimal, sehingga perannya harus diambil alih oleh pihak yang memiliki peran serius menangani persoalan agama khususnya Islam seperti MUI,” ujar Habib Muhammad Rizieq Syihab, Ketua Umum FPI yang menyatakan dukungan penuhnya atas perjuangan umat Islam Bekasi, Jawa Barat. Paul Makugoru.
Tapi pada saat pembersihan berlangsung, sekelompok massa, kurang lebih 30 orang, mendatangi lokasi dan melarang diadakannya peribadatan di tempat itu. Penolakan keras mereka terekspresi dalam spanduk-spanduk yang mereka bentangkan. “Masyarakat Islam menolak berdirinya Gereja di Mustika Jaya”. Spanduk lain berbunyi: “Kami Tokoh Pemuda Masyarakat Mustika Jaya menolak berdirinya Gereja di Mustika Jaya”.
Bunyi spanduk itu barangkali jelas bukan tanpa maksud. Sekurang-kurang, itu mengekspresikan resistensi yang tinggi akan kehadiran gereja di wilayah Bekasi. Bukan hanya di Sukmajaya seruan bahwa “gereja tidak boleh ada di wilayah itu” dikumandangkan. Dalam beberapa kali demonstrasi di wilayah-wilayah lain di lingkup Bekasi, pernyataan seperti itu sering dikumandangkan.
Sebagai contoh lain - seperti dilaporkan Republika Newsroom -, dalam sebuah demonstrasi besar-besaran di depan kantor Walikota Bekasi pada 31 Juli 2009, massa yang menamakan dirinya Forum Komunikasi dan Silaturahmi Masjid-Mushola (FKSMM) Kota Bekasi mengumandangkan hal yang sama dalam kaitan dengan penolakan keberadaan gereja di Vila Indah Permai, Kecamatan Bekasi Utara.
Budi Santoso, koordinator lapangan aksi unjuk rasa ini, menyebut Wali kota Bekasi, Mochtar Muhammad, telah mencederai amanat KH Noer Ali, pahlawan nasional dari Bekasi, karena mengizinkan pembangunan gereja di Kecamatan Bekasi Utara. “KH Noer Ali bilang, boleh di Bekasi Utara dibangun perumahan, bahkan kawasan industri, tapi jangan bangun gereja,” teriak Budi dalam orasinya.
Indonesia yang plural
Wasiat KH Noer Ali itu sering dikumandangkan dalam demons-trasi penolakan kehadiran gereja. Siapakah KH. Noer Ali sebenarnya? Sejarah mencatat bahwa KH. Noer Ali adalah pejuang nasional yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Bekasi.
Banyak cerita kepahlawanan yang hidup di tengah masyarakat menyangkut sosok pahlawan nasional ini. Beliau adalah tokoh Hizbullah yang berperang melawan penjajah. Berkat ketokohan dan kejawaraan Pak Kiai - begitu beliau dipanggil -, bom-bom yang ditembakkan Belanda tidak meledak. Belanda lari tunggang langgang. Pak Kiai menjadi incaran Belanda tapi tidak pernah berhasil ditangkap karena bisa menghilang atau tidak tampak oleh musuh.
Setelah merdeka, beliau menjadi anggota konstituante dan gubernur Meester yang pertama. Wilayah Meester yang dimaksud adalah Jatinegara saat ini. Nama itu diambil dari nama Meester Cornelis, dan hingga sekarang nama jalan di Jatinegara masih Jl. Bekasi Barat, padahal sekarang Bekasi sudah menjadi kota sendiri.
Melihat ketokohannya, banyak pihak yang meragukan bila kalimat itu sungguh diucapkan oleh seorang pahlawan nasional. “Saya agak ragu dengan wasiat itu. Saya menduga ada manipulasi dan rekayasa-rekayasaa dari orang yang mengaku sebagai pendukungnya. Kalau beliau seorang pahlawan, pasti beliau mempunyai kecintaan pada Indonesia dan memiliki kepercayaan bahwa keanekaragaman adalah kekuatan Indonesia,” kata Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute.
“Sebagai bagian dari Indonesia, upaya penyingkiran hak kelompok lain di Bekasi merupakan sebuah kekeliruan. Bekasi adalah bagian dari Indonesia, sebuah negara yang multietnis, multiagama, beranekaragam dan prinsipnya adalah bhineka tunggal ika. Di mata hukum, semua warga negara sama kedudukannya,” tambahnya.
Syuhada dan bersyariah
Selain mengusung wasiat pahlawan nasional KH. Noer Ali, kegerahan umat Islam atas kekristenan juga tampak dari pencanangan kota Bekasi sebagai daerah Syuhada dan Bersyariah. Seperti diberitakan media massa, pada Minggu 20 Juni 2010 silam, berbagai Ormas Islam di Kota Bekasi, Jawa Barat menggelar kongres untuk menyikapi kasus penodaan agama dan beberapa kasus lainnya dengan tema “Menjadikan Kota Bekasi Sebagai Daerah Syuhada dan Bersyariah”. “Point penting yang dibicarakan adalah kasus Abraham Felix, mantan siswa sekolah Bellarminus yang menghina Islam,” kata Ketua FPI Bekasi Raya, Muhali Barda tentang kongres yang diikuti oleh lebih dari 300 orang itu.
Ada beberapa rekomendasi dikeluarkan dalam rapat itu. Yang pertama, mendesak kepada pemerintah daerah dan pihak kepolisian untuk menuntaskan kasus penistaan agama itu. Dalam kaitan itu, mereka mendesak Pemerintah Kota dan Kabupaten Bekasi untuk membuat peraturan daerah (perda) untuk mencegah penistaan agama.
Ormas Islam juga mendesak pemerintah daerah untuk mendata ulang dan menertibkan rumah-rumah ibadah yang tidak berizin, dan mendesak Dinas Pendidikan mengkaji ulang kurikulum agama di semua sekolah. Yang tak kalah menariknya, ormas juga merekomendasikan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bekasi dijadikan sebagai institusi terdepan dalam menyelesaikan sengketa agama di Bekasi. “Saya melihat peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bekasi tidak berjalan maksimal, sehingga perannya harus diambil alih oleh pihak yang memiliki peran serius menangani persoalan agama khususnya Islam seperti MUI,” ujar Habib Muhammad Rizieq Syihab, Ketua Umum FPI yang menyatakan dukungan penuhnya atas perjuangan umat Islam Bekasi, Jawa Barat. Paul Makugoru.
Sumber : http://reformata.com/04739-gereja-tak-boleh-ada-di-bekasi.html