JAYAPURA (PAPUA) - Dari tahun ke tahun, perhatian banyak gereja tertuju ke Papua, terutama untuk ikut melayani daerah pedalaman di bagian paling timur wilayah Republik Indonesia, berbatasan dengan Papua New Guinea dan Provinsi Papua Barat (Kepala Burung). Sampai kini sebagian besar kawasan ini belum menikmati derapnya pembangunan di segala bidang. Gereja-gereja, baik organisasi, badan penginjilan, maupun perorangan, terus berusaha mempertahankan panji-panji Kristus di tempat ini, yang sudah ditancapkan oleh penginjil-penginjil Ottow dan Geissler sekitar 155 tahun yang lalu. Namun tak dapat disangkal bahwa agama lain pun menyebar luas di kedua provinsi ini sehingga populasi penduduk non-Kristen semakin berkembang pesat. Gereja-gereja setempat kewalahan meningkatkan program-program penginjilan mereka.
Memang harus diakui bahwa medan di sana berat dan keadaan masyarakatnya masih terbelakang. Banyak desa di pedalaman yang sulit dijangkau karena minim atau rusaknya sarana perhubungan yang ada, sehingga adakalanya orang harus berjalan kaki berhari-hari sebelum sampai ke tempat tujuan. Dapat dibayangkan betapa beratnya pelayanan, baik oleh gereja maupun pemerintah daerah sendiri. Jangankan di pedalaman, jemaat di daerah perkotaan sekitar ibukota Provinsi Papua yang sudah dilewati jalan raya pun masih banyak yang belum mampu mendirikan gereja/rumah ibadah yang layak. Padahal pemerintah daerah, yang sekitar 90% dipimpin oleh putra-putra daerah yang beragama Kristen, telah menganggarkan bantuan dana bagi gereja-gereja setempat untuk mengembangkan sarana ibadah. Lalu, mengapa banyak pelayanan gereja belum berjalan dengan baik dan perhatian kepada para penginjil begitu minim?
Menyadari hal tersebut, gereja-gereja dari berbagai denominasi di luar Papua dan badan-penginjilan ikut terjun membantu pembangunan jemaat di Papua dan Papua Barat, seperti yang dilaksanakan oleh GKI Pondok Indah di Kampung Hobart-Provinsi Papua Barat dan di Desa Koyakoso, di perbatasan RI-PNG.
Kerinduan Jemaat GIDI Desa Koyakoso di Perbatasan RI-PNG
Gereja ini adalah satu-satunya gereja lokal di Papua yang mencantumkan kata GIDI dalam organisasi gerejanya yang hampir 100% beranggotakan putra daerah asli Papua. Liturgi ibadahnya menggunakan bahasa Suku Dani dari Pegunungan Tengah Jayawijaya, yang merupakan penduduk terbesar di Provinsi Papua. Kata GIDI adalah singkatan dari Gereja Injili Di Indonesia. Jalan menuju desa Koyakoso di perbatasan ini sama mulusnya dengan jalan-jalan raya lainnya di kota Jayapura, dan melalui pemandangan yang indah. Jarak desa ini sekitar 35 km dari kota Jayapura.
Sayang, keadaan bangunan rumah ibadah Jemaat GIDI Torsina Koyakoso yang terletak di pinggir jalan raya sebelum memasuki desa itu, sangat memprihatinkan. Siapapun juga yang melewatinya akan terenyuh melihatnya, karena jauh berbeda dengan rumah ibadah umat lain yang berdiri megah di sana. Sudah hampir 16 tahun Jemaat GIDI Torsina beribadah di tempat itu dan saat ini bangunan gereja sudah tidak berjendela dan pintu-pintu utamanya telah jatuh semua. Kepada jemaat/Pos PI inilah warga GKI-PI menyampaikan bantuan berupa pakaian layak pakai untuk orang dewasa dan anak-anak, obat-obatan dll. yang disumbangkan oleh Komisi Senior (Charity Shop), panitia-panitia dan perorangan.
Semua bingkisan ini diterima dengan rasa haru dan penuh sukacita. Dan ketika pengurus gereja ini, Guru Jemaat Arius (Ketua Majelis) mengungkapkan kerinduan jemaatnya untuk mendirikan bangunan gereja yang baru, saat itu juga uang sebesar dua juta Rupiah, yang merupakan persembahan dana dari warga GKI-PI, disampaikan kepada Pengurusnya yang menerimanya dengan isak tangis terharu.
Dalam sambutannya, Bapak Yulianus Wea (Sekretaris Majelis) mengatakan bahwa baru kali inilah pengunjung dari luar jemaat datang dan memperhatikan keadaan mereka. Memang sudah banyak orang lain yang melihat-lihat bangunan ini dan mengambil fotonya, tetapi janji mereka untuk membantu tidak pernah terealisasi. Baru-baru ini Majelis Jemaat GKI-PI memberikan bantuan lagi sebesar sepuluh juta Rupiah untuk meringankan biaya pembangunan gereja tersebut yang diperkirakan akan mencapai lebih dari seratus juta Rupiah karena mahalnya bahan-bahan bangunan di sana, apalagi kalau sampai harus diangkut ke pedalaman.
Lalu kapankah Jemaat GIDI Torsina Koyakoso ini tidak lagi duduk di lantai yang beralaskan jerami dan bisa duduk di bangku untuk mendengarkan khotbah Gembala mereka dengan baik? Kapankah dana pembangunan itu terpenuhi, dan masihkah ada pembaca yang bersedia ikut membantu? Kapankah rumah ibadah yang baru dan layak, yang sudah sekian tahun dirindukan oleh jemaat Koyakoso ini, terwujud? Kapankah jemaat ini bisa dengan sungguh-sungguh menyanyikan Mazmur 84 yang indah ini:
Alangkah elok Rumah-Mu
Suci kudus ya Allahku
Ya Tuhan bala tent’ra surga
Kurindukan halamannya
Baik hatiku baik tubuh juga
Kepada Allah Alhayat
Yang hidup
dan memb’ri berkat !!!
Ke sana ‘ku bersoraklah
(Maz.&Ny.Rohani 84)
Hanya Tuhan sang Kepala Gereja yang dapat menjawabnya melalui para pembaca Kasut yang bersedia menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk membantu jemaat yang miskin ini membangun kembali rumah ibadah tua yang sudah termakan usia.
Pembangunan Rumah Doa/Pos PI Juga Diperhatikan
Selain bantuan untuk membangun kembali rumah ibadah yang hampir roboh, perhatian jemaat GKI PI juga diberikan pada pembangunan rumah doa yang ingin didirikan oleh Ev. Eppy Kogoya di Kotaraja Gunung guna melayani pemuda, pelajar dan mahasiswa dari beberapa kabupaten pemekaran Jayawijaya yang merantau ke ibu kota Provinsi Papua untuk mencari pekerjaan atau melanjutkan studi mereka.
(Yan Watung)
Sumber: GKI PI