MAGELANG (JATENG) - Puluhan pimpinan Sekolah Tinggi Teologi dari beberapa daerah di Indonesia dan Belanda berkunjung ke kawasan Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, untuk menggali kearifan lokal masyarakat dalam menyikapi berbagai perbedaan kelompok sosial setempat.
"Kehidupan masyarakat di sini sebagai contoh yang baik, kebudayaan lokal menyatu dengan gereja, terjadi pertemuan persaudaraan antarumat berbagai agama," kata Direktur Pusat Pengembangan Spiritualitas Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Pendeta Robert Setio, di Magelang, Kamis petang.
Pada kesempatan itu Robert mendampingi 45 peserta "Konsultasi Pendidikan Teologi Para Pimpinan Sekolah Tinggi Teologi se-Indonesia dan Belanda" berdialog dengan sekelompok masyarakat kawasan Merapi di gedung yang mereka sebut sebagai "Gubug Selo Merapi (GSPi), di Dusun Grogol, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar tujuh kilometer barat puncak Gunung Merapi.
Ia mengakui, konflik antarkelompok masyarakat di Indonesia hingga saat ini masih sering muncul sebagai dampak suasana kehidupan masa lalu yang tertutup bagi peluang untuk berbicara masalah perbedaan.
"Masa lalu tidak boleh membicarakan perbedaan sehingga yang terjadi apa yang tampak di muka terlihat baik-baik saja, tetapi di belakang terjadi konflik," katanya.
Pada era saat ini, katanya, justru kesadaran atas perbedaan kelompok sosial itu harus dibicarakan supaya saling memahami sehingga bisa mencairkan ketegangan.
Ia mengemukakan tentang perlunya tinjauan ulang terhadap kajian teologi. "Misi yang dibawa para pemimpin agama harus disesuaikan dengan kondisi sekarang," katanya.
Pada kesempatan itu ia menjelaskan tentang kehadiran peserta di GSPi yang sebagai salah satu agenda pertemuan mereka membicarakan berbagai isu aktual yang akan diserap untuk penyusunan kurikulum pendidikan teologi. Pertemuan mereka dipusatkan di Yogyakarta 6-8 Oktober 2010.
Sejumlah isu yang mereka bicarakan, katanya, antara lain dialog Islam-Kristen, kebudayaan lokal, dan krisis lingkungan.
Pengelola GSPi, Romo V. Kirjito Pr, mengatakan, kerukunan antarmasyarakat di kawasan Merapi terbangun secara mantap antara lain karena para pemuka agama setempat tak sekadar mengurus umat masing-masing.
Tetapi, katanya, mereka bergaul dengan umat yang lain dalam suasana persaudaraan. Pemuka agama setempat turut dalam keprihatinan yang dialami masyarakat dan berkiprah kesenian serta kebudayaan.
"Masyarakat memiliki semangat persaudaraan, bergaul, dan saling menghargai sebagai bagian kemanusiaan. Teologi harus menjadi ungkapan tanggung jawab iman yang berbasis kemanusiaan," katanya.
Pimpinan padepokan kesenian petani Merapi "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Sitras Anjilin, mengatakan, komunitasnya tidak hanya beranggota orang Islam tetapi juga umat beragama lainnya.
Padepokan yang didirikan pada 1937 oleh almarhum Romo Yososudarmo itu, katanya, menjadi tempat pertemuan antaranggota masyarakat dalam semangat menjunjung nilai kemanusiaan.
"Tempat kami tempat bertemu nilai-nilai kemanusiaan. Orang berolahseni bisa dekat dengan Tuhan dan alam, lebih konsentrasi mendekatkan diri kepada Tuhan. Tradisi menabuh gamelan di tempat kami seminggu sekali sebagai ritual sajian kepada leluhur dan Tuhan," katanya.
Pada kesempatan itu mereka mendapat suguhan tarian kesenian tradisional setempat "Topeng Ireng" dan menyantap sajian nasi yang oleh komunitas setempat disebut sebagai "Nasi Doa".
Sumber: Kompas
"Kehidupan masyarakat di sini sebagai contoh yang baik, kebudayaan lokal menyatu dengan gereja, terjadi pertemuan persaudaraan antarumat berbagai agama," kata Direktur Pusat Pengembangan Spiritualitas Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Pendeta Robert Setio, di Magelang, Kamis petang.
Pada kesempatan itu Robert mendampingi 45 peserta "Konsultasi Pendidikan Teologi Para Pimpinan Sekolah Tinggi Teologi se-Indonesia dan Belanda" berdialog dengan sekelompok masyarakat kawasan Merapi di gedung yang mereka sebut sebagai "Gubug Selo Merapi (GSPi), di Dusun Grogol, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar tujuh kilometer barat puncak Gunung Merapi.
Ia mengakui, konflik antarkelompok masyarakat di Indonesia hingga saat ini masih sering muncul sebagai dampak suasana kehidupan masa lalu yang tertutup bagi peluang untuk berbicara masalah perbedaan.
"Masa lalu tidak boleh membicarakan perbedaan sehingga yang terjadi apa yang tampak di muka terlihat baik-baik saja, tetapi di belakang terjadi konflik," katanya.
Pada era saat ini, katanya, justru kesadaran atas perbedaan kelompok sosial itu harus dibicarakan supaya saling memahami sehingga bisa mencairkan ketegangan.
Ia mengemukakan tentang perlunya tinjauan ulang terhadap kajian teologi. "Misi yang dibawa para pemimpin agama harus disesuaikan dengan kondisi sekarang," katanya.
Pada kesempatan itu ia menjelaskan tentang kehadiran peserta di GSPi yang sebagai salah satu agenda pertemuan mereka membicarakan berbagai isu aktual yang akan diserap untuk penyusunan kurikulum pendidikan teologi. Pertemuan mereka dipusatkan di Yogyakarta 6-8 Oktober 2010.
Sejumlah isu yang mereka bicarakan, katanya, antara lain dialog Islam-Kristen, kebudayaan lokal, dan krisis lingkungan.
Pengelola GSPi, Romo V. Kirjito Pr, mengatakan, kerukunan antarmasyarakat di kawasan Merapi terbangun secara mantap antara lain karena para pemuka agama setempat tak sekadar mengurus umat masing-masing.
Tetapi, katanya, mereka bergaul dengan umat yang lain dalam suasana persaudaraan. Pemuka agama setempat turut dalam keprihatinan yang dialami masyarakat dan berkiprah kesenian serta kebudayaan.
"Masyarakat memiliki semangat persaudaraan, bergaul, dan saling menghargai sebagai bagian kemanusiaan. Teologi harus menjadi ungkapan tanggung jawab iman yang berbasis kemanusiaan," katanya.
Pimpinan padepokan kesenian petani Merapi "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Sitras Anjilin, mengatakan, komunitasnya tidak hanya beranggota orang Islam tetapi juga umat beragama lainnya.
Padepokan yang didirikan pada 1937 oleh almarhum Romo Yososudarmo itu, katanya, menjadi tempat pertemuan antaranggota masyarakat dalam semangat menjunjung nilai kemanusiaan.
"Tempat kami tempat bertemu nilai-nilai kemanusiaan. Orang berolahseni bisa dekat dengan Tuhan dan alam, lebih konsentrasi mendekatkan diri kepada Tuhan. Tradisi menabuh gamelan di tempat kami seminggu sekali sebagai ritual sajian kepada leluhur dan Tuhan," katanya.
Pada kesempatan itu mereka mendapat suguhan tarian kesenian tradisional setempat "Topeng Ireng" dan menyantap sajian nasi yang oleh komunitas setempat disebut sebagai "Nasi Doa".
Sumber: Kompas