KUPANG (NTT) -Rencana pihak Pengadilan Negeri (PN) Kupang mengesekusi putusan hakim No. 125/Pdt/1963 tanggal 14 Januari 1966, sangat mencurigakan. Sebab putusan hakim terhadap sengketa tanah antara B Oematan dan Habel Oematan itu dijatuhkan tahun 1966, namun baru mulai diproses eksekusi tahun 2004.
Itu berarti selama 38 tahun (1966 sampai 2004), putusan hakim itu didiamkan saja. Tahun ini (2010), rencana eksekusi itu dilanjutkan lagi karena eksekusi tahun 2004 ditunda dengan alasan Pilpres. Ini juga berarti proses eksekusi sempat tertunda selama enam tahun (2004 sampai 2010).
Namun sejauh ini pihak PN Kupang belum memberikan penjelasan yang transparan dan masuk akal terhadap kecurigaan tersebut. Padahal salah satu asas hukum yang dianut di Indonesia adalah peradilan yang cepat dan biaya murah.
Rencana eksekusi tanah dan bangunan tersebut, tidak hanya mencurigakan, tetapi juga menghebohkan. Sesuai denah lokasi eksekusi yang dibuat jurusita PN Kupang saat proses eksekusi tahun 2004, tanah dan bangunan yang akan dieksekusi itu meliputi Gereja Anugerah di Jalan El Tari 1, Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur NTT, gedung bekas Kanwil Depag NTT, rumah dinas Kepala Dolog NTT di Jalan Palapa dan 160-an rumah penduduk di sekitarnya.
Kecurigaan lain terkait rencana eksekusi tersebut adalah mengenai berkas putusan perkara tahun 1966 itu. Sejumlah warga yang rumah dan tanahnya bakal dieksekusi sudah mempertanyakan keaslian putusan yang fotokopi salinannya putusan hakim yang mendasari eksekusi tersebut. Beberapa kejanggalan dalam fotokopi salinan putusan itu sudah diungkap, di antaranya mengenai ejaan bahasa Indonesia yang digunakan yakni Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Padahal tahun 1966 EYD belum berlaku.
Selain itu, dugaan pemalsuan salinan putusan tersebut, juga sudah disampaikan para pihak yang bakal menjadi korban eksekusi. Dipertanyakan, mengapa PN Kupang saat melegalisir fotokopi salinan putusan tersebut tidak mengeceknya dengan baik.
Tidak mengherankan jika kemudian mencuat kecurigaan berikutnya yakni oknum-oknum tertentu di PN Kupang memaksakan eksekusi putusan yang masih mencurigakan itu, karena mempunyai kepentingan tertentu.
Di tengah keresahan warga yang tanah dan rumahnya bakal digusur itu, mencuat informasi bahwa ada pengusaha-pengusaha tertentu yang menjadi backing dari rencana eksekusi itu, karena mereka mengincar tanah-tanah kelas yang mau dieksekusi itu. Jika informasi ini benar, maka para "calon korban" eksekusi berhadapan tidak hanya dengan pihak eksekutor (PN Kupang) tetapi juga dengan kekuatan lain, yaitu uang, yang pengaruhnya bisa saja membuat eksekutor mengabaikan proses dan mekanisme eksekusi yang sudah digariskan aturan. Kemungkinan seperti ini bukan tidak mungkin, karena di negeri ini kekuatan uang masih sangat menentukan arah penegakan hukum.
Pengaruh uang dalam rencana eksekusi putusan hakim tersebut, juga sangat mungkin terjadi. Kekhawatiran, bahkan kecurigaan seperti ini sangat beralasan. Pertama, patut dicurigai, selama 38 tahun putusan hakim ini tidak dieksekusi dan baru mulai diproses tahun 2004, ditunda, kemudian dilanjutkan lagi tahun ini. Kedua, ketidakcermatan PN Kupang melegalisir salinan putusan yang masih mencurigakan itu bukan tidak mungkin akibat pengaruh-pengaruh tadi. Sebab diduga kuat berkas asli putusan hakim tersebut sudah tidak ada. Dengan kata lain, pengadilan kemungkinan tidak memiliki dokumen asli putusan.
Kita menimba hikmah positif dari kasus ini. Bukan tidak mungkin kasus serupa pernah terjadi atau berpeluang terjadi di kemudian hari. Karena itu pengadilan, selain harus serius membenahi sistem dokumentasi berkas- berkas perkara, juga meningkatkan pengawasan terhadap eksekusi setiap putusan.
Diharapkan pihak PN Kupang serius meneliti kembali berkas putusan yang kini dipersoalkan itu. Jika ternyata berkas putusan itu bermasalah, maka harus diklarifikasi. Atau jika ternyata ada oknum yang sengaja memalsukan salinan putusan hakim, maka harus ada tindakan hukum terhadapnya. Termasuk juga pada pejabat pengadilan yang tidak cermat melegalisir putusan yang mencurigakan itu.
Itu berarti selama 38 tahun (1966 sampai 2004), putusan hakim itu didiamkan saja. Tahun ini (2010), rencana eksekusi itu dilanjutkan lagi karena eksekusi tahun 2004 ditunda dengan alasan Pilpres. Ini juga berarti proses eksekusi sempat tertunda selama enam tahun (2004 sampai 2010).
Namun sejauh ini pihak PN Kupang belum memberikan penjelasan yang transparan dan masuk akal terhadap kecurigaan tersebut. Padahal salah satu asas hukum yang dianut di Indonesia adalah peradilan yang cepat dan biaya murah.
Rencana eksekusi tanah dan bangunan tersebut, tidak hanya mencurigakan, tetapi juga menghebohkan. Sesuai denah lokasi eksekusi yang dibuat jurusita PN Kupang saat proses eksekusi tahun 2004, tanah dan bangunan yang akan dieksekusi itu meliputi Gereja Anugerah di Jalan El Tari 1, Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur NTT, gedung bekas Kanwil Depag NTT, rumah dinas Kepala Dolog NTT di Jalan Palapa dan 160-an rumah penduduk di sekitarnya.
Kecurigaan lain terkait rencana eksekusi tersebut adalah mengenai berkas putusan perkara tahun 1966 itu. Sejumlah warga yang rumah dan tanahnya bakal dieksekusi sudah mempertanyakan keaslian putusan yang fotokopi salinannya putusan hakim yang mendasari eksekusi tersebut. Beberapa kejanggalan dalam fotokopi salinan putusan itu sudah diungkap, di antaranya mengenai ejaan bahasa Indonesia yang digunakan yakni Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Padahal tahun 1966 EYD belum berlaku.
Selain itu, dugaan pemalsuan salinan putusan tersebut, juga sudah disampaikan para pihak yang bakal menjadi korban eksekusi. Dipertanyakan, mengapa PN Kupang saat melegalisir fotokopi salinan putusan tersebut tidak mengeceknya dengan baik.
Tidak mengherankan jika kemudian mencuat kecurigaan berikutnya yakni oknum-oknum tertentu di PN Kupang memaksakan eksekusi putusan yang masih mencurigakan itu, karena mempunyai kepentingan tertentu.
Di tengah keresahan warga yang tanah dan rumahnya bakal digusur itu, mencuat informasi bahwa ada pengusaha-pengusaha tertentu yang menjadi backing dari rencana eksekusi itu, karena mereka mengincar tanah-tanah kelas yang mau dieksekusi itu. Jika informasi ini benar, maka para "calon korban" eksekusi berhadapan tidak hanya dengan pihak eksekutor (PN Kupang) tetapi juga dengan kekuatan lain, yaitu uang, yang pengaruhnya bisa saja membuat eksekutor mengabaikan proses dan mekanisme eksekusi yang sudah digariskan aturan. Kemungkinan seperti ini bukan tidak mungkin, karena di negeri ini kekuatan uang masih sangat menentukan arah penegakan hukum.
Pengaruh uang dalam rencana eksekusi putusan hakim tersebut, juga sangat mungkin terjadi. Kekhawatiran, bahkan kecurigaan seperti ini sangat beralasan. Pertama, patut dicurigai, selama 38 tahun putusan hakim ini tidak dieksekusi dan baru mulai diproses tahun 2004, ditunda, kemudian dilanjutkan lagi tahun ini. Kedua, ketidakcermatan PN Kupang melegalisir salinan putusan yang masih mencurigakan itu bukan tidak mungkin akibat pengaruh-pengaruh tadi. Sebab diduga kuat berkas asli putusan hakim tersebut sudah tidak ada. Dengan kata lain, pengadilan kemungkinan tidak memiliki dokumen asli putusan.
Kita menimba hikmah positif dari kasus ini. Bukan tidak mungkin kasus serupa pernah terjadi atau berpeluang terjadi di kemudian hari. Karena itu pengadilan, selain harus serius membenahi sistem dokumentasi berkas- berkas perkara, juga meningkatkan pengawasan terhadap eksekusi setiap putusan.
Diharapkan pihak PN Kupang serius meneliti kembali berkas putusan yang kini dipersoalkan itu. Jika ternyata berkas putusan itu bermasalah, maka harus diklarifikasi. Atau jika ternyata ada oknum yang sengaja memalsukan salinan putusan hakim, maka harus ada tindakan hukum terhadapnya. Termasuk juga pada pejabat pengadilan yang tidak cermat melegalisir putusan yang mencurigakan itu.
Sumber: Pos Kupang