KOJA (JAKARTA) – Program Pemda DKI Jakarta yang akan memugar cagar budaya Gereja Tugu, di Kampung Tugu, Koja, Jakarta Utara mengalami kendala. Pasalnya Sinode GPIB selaku pihak pengelola gereja menolak memberikan ijin kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta menata lokasi tersebut sebagai salah satu lokasi wisata.
Padahal Pemda DKI sudah menganggarkan renovasi bangunan itu kata Kasudin Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Utara Nanny Ophir Yani, sekitar Rp3,9 miliar rupiah pada 2010. “Kita menyayangkan kenapa sikap Sinode menyatakan keberatan atas upaya kita menyelamatkan situs cagar budaya tersebut,”ungkapnya.
Menurut Nanny bangunan itu merupakan peninggalan zaman Belanda kondisinya memprihatinkan. Dia juga mengakui sebelum ada anggaran itu pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan melakukan pertemuan dengan komunitas gereja dan pihak pendeta di Gereja Tugu.
Dari beberapa pertemuan itu, Sinode mau menyetujui pemugaran Gereja Tugu asalkan pekerjaanya diserahkan ke pengurus gereja. Namun, pihaknya tidak bisa mengambil memutuskan karena setiap pekerjaan di instansi ini dilakukan melalui prosedur, aturan main yang sudah ada selama ini melalui mekanisme lelang.
Karena itu, sampai saat ini pihaknya tidak bisa memaksaan karena pendekatan yang dilakukan instansi ini dilakukan mengacu pada penyelamatan sisi budaya bukan agama. Hanya, saja, tanggung jawab penyelamatan cagar budaya Gereja Tugu ini harus tetap dilakukan dengan cara pendekatan peraturan daerah tentang Cagar Budaya.
Pemugaran yang Janggal dan Tidak Matang
Gereja Protestan ini sendiri mulai direnovasi pada bulan Oktober 2009 silam dan selesai dipugar setelah Natal atau akhir Desember di tahun yang sama. Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) GPIB Tugu sudah melayangkan surat ke Dinas Kebudayaan dan Pemuseuman DKI yang menyatakan bahwa pemugaran gereja tersebut telah merubah bentuk asli dari Gereja Tugu. Namun, dinas tersebut melempar tanggung jawab pengawasan ke Sudin Kebudayaan Jakarta Utara
Akhirnya pihak pengurus gereja menolak melakukan aktivitas peribadatan karena menilai struktur bangunan tidak lagi mencerminkan bangunan asli.
Pengurus gereja menyatakan kontraktor tidak memiliki konsep matang mengenai struktur asli bangunan. Hal-hal yang harus dipugar ini sebetulnya telah dituangkan dalam proposal dari IKBT sehingga kontraktor dalam hal ini tidak bisa terlalu banyak disalahkan karena hanya bertindak sebagai eksekutor.
Menurut pihak gereja, ada tiga kejanggalan yang merusak struktur asli bangunan. Pertama, kanopi di teras depan seharusnya menempel dengan dasar atap. Namun kenyataannya kanopi berada sekitar satu meter di bawahnya.
Kedua, pinggiran atap kurang lebar 2 meter sehingga dindingnya rawan terkena air dan lembab sehingga mudah jamuran. Ketiga, pendingin ruangan atau AC kurang fleksibel alias tidak bisa dipindah-pindah seperti dahulu.
Selain itu, warna cat juga sempat dipermasalahkan. Pasalnya, kontraktor mengecat dinding luar dengan warna yang tidak sama alias belang-belang sehingga terlihat kusam. Total biaya pemugaran ini sendiri diperkirakan sekitar Rp 430 an juta.
Pihak gereja tidak dilibatkan secara langsung dalam pemugaran gereja menurut Yosias wajar karena pihak gereja hanya menjalankan fungsi sebagai perantara peibadatan dan pemelihara gereja. Sementara pemilik gereja merupakan IKBT selaku ahli waris.
"Gereja memang tidak dilibatkan padahal mereka merasa memelihara, sementara yang memiliki kan tetap IKBT. Beda antara kedua kata itu cukup signifikan," kata Yosias.
Aktivitas peribadatan baru berjalan secara semestinya pada Mei 2010. Hal ini dikarenakan desakan jemaat yang dibarengi dengan aksi mengecat dinding luar gereja dengan warna putih terang. Upaya pengecatan ini sendiri memakan biaya sekitar Rp 21 juta dari kantong jemaat.
"Jemaat sendiri hanya mempermasalahkan soal AC yang kurang fleksibel saja. Namun sejak sekitar sebulan lalu, kegiatan sudah kembali normal. Warna cat ini sudah merupakan warna asli dan didapat dari hasil sumbangan jemaat, kira-kira memakan biaya 21 juta rupiah," kata Yosias sambil menunjuk ke arah dinding warna putih.
Gereja Tugu adalah salah satu gereja tertua di Indonesia yang tidak diketahui secara pasti kapan mulai dibangun. Para ahli sejarah menyimpulkan gereja itu dibangun sekitar tahun 1676-1678, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia oleh Melchior Leydecker. Pada tahun 1737 Gereja Tugu direnovasi pertama kali dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon, Ferreira d'Almeida, dan orang-orang Mardijkers.
Sumber: Berbagai Sumber