BANTUL (YOGYA) - Pagi hari kemarin, Mbah Santo (70) terlihat melamun di pengungsian pendapa rumah dinas Bupati Bantul.
Rupaya ia masih teringat kejadian Selasa (9/11) malam, saat ia tiba-tiba dipindahkan dari pengungsian di Gereja Ganjuran ke rumah dinas. Ia pun bertanya, apa yang salah dengan kami?
"Saya tidak tahu kok kami dipindahkan lagi, padahal kami sudah capek pindah-pindah terus. Sebelum mengungsi ke Gereja Ganjuran, kami mengungsi di daerah Babadan, Ngemplak, Sleman.
Namun, karena merasa tak aman, kami pun meluncur ke Bantul dan ternyata diterima oleh pihak gereja. Bagi kami, Bantul adalah daerah yang cukup aman karena lokasinya jauh dari Merapi," katanya.
Tak hanya Mbah Santo yang merasa heran dengan pemindahan tersebut. Hal serupa juga dirasakan Tukiyo (37), pengungsi lainnya. Ia sempat mendengar kabar dari para pedagang keliling di sekitar gereja tentang serombongan orang yang mendatangi gereja. Mereka menggunakan baju gamis dan bersorban. Mereka meminta pengungsi yang beragama Islam untuk keluar dari gereja karena curiga ada upaya pengaderan.
"Padahal, saya di gereja hanya mengungsi. Tidak ada ajaran apa pun. Saya ini beragama Islam, dan tidak keberatan kalau harus mengungsi di gereja. Yang penting aman. Mengungsi di masjid juga tidak apa-apa, jika ada yang mau menerima kami," paparnya.
Rombongan pengungsi tersebut berjumlah 98 orang. Mereka berasal dari Dusun Besalen, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Mereka mengungsi begitu mendengar letusan Merapi pada Jumat (5/11/2010) dini hari lalu.
Agus, bagian keamanan Gereja Ganjuran, mengatakan, meski serombongan pasukan bersorban tersebut tidak sampai masuk ke dalam gereja, kedatangan mereka sempat menciptakan kepanikan. "Kami khawatir ada penyerangan atau tindakan lainnya," katanya.
Sumber: Kompas