Persyaratan yang ditetapkan DKI terhadap semua agama yang ingin membangun tempat peribadatan juga diseragamkan “Biro Pendidikan Mental dan Spiritual DKi lah yang bertanggung jawab dalam meningkatkan kerukunan hidup beragama di DKI Jakarta,” kata Kepala Biro Pendidikan Mental dan Spiritual DKI Sukanta, Rabu (1/30).
Sukanta menegaskan, setiap umat agama yang dapat memenuhi syarat dapat dengan mudah mendirikan tempat ibadah di tempat yang diinginkan. Selain itu memang tidak pernah ada perselisihan antar massa yang membawa-bawa kepentingan agamanya di Jakarta.
Untuk mempererat umat beragama, DKI kerap melakukan pertemuan dengan perwakilan umat beragama yaitu Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) agar koordinasi dan penyampaian aspirasi dapat berjalan lancar. “Pertemuan diadakan setiap 3 bulan sekali. Nantinya FKUB itu yang akan mengintensifkan segala bentuk kebijakan dan keputusan dari DKI kepada masyarakat,” ujar Sukanta.
Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan Jakarta telah dipuji oleh para Gubernur dan Wali Kota di Asia-Eropa terkait menjaga kerukunan hidup beragama. Negara-negara tersebut tertarik untuk mempelajari bagaimana Pemerintah Provinsi DKI mampu merangkul seluruh agama, etnis dan budaya, sehingga berjalan dalam kesatuan meski memiliki begitu banyak perbedaan.
“Saya jawab dengan melakukan dialog lintas agama antara pimpinan dan tokoh agama yang berbeda. Jadi mereka ingin mengetahui seperti apa dialog lintas agama tersebut,” kata Fauzi.
Sementara itu, berdasarkan data SETARA Institute sejak 2007-2009, tercatat 691 pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat, Jakarta, dan di pinggiran Ibu Kota, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Di wilayah ini juga organisasi Islam radikal tumbuh subur.
Manajer Program Setara Institute Ismail Ashani mengatakan in toleransi ini diduga karena pandangan sempit responden yang memperoleh pengetahuan agama berasal dari keluarga. "Faktor sosialisasi jalur keluarga ini ternyata memainkan peran penting dalam membentuk sikap warga," ujarnya.
Sebagai contoh, intoleransi warga bisa dilihat dari angka 49,5 persen responden yang menolak keberadaan rumah ibadah agama lain di dekat tempat tinggalnya. Meski yang dapat menerima sejumlah 45 persen, dapat menimbulkan rawan konflik. Bahkan lebih dari separuh responden meminta pendirian rumah ibadah diatur berdasarkan kesepakatan para pemuka agama dan pemerintah.
Sumber: Tempo Interaktif