JAKARTA - Natal adalah peristiwa kasih terbesar berupa penebusan Allah menjadi manusia di Bethlehem. Mari memaknai Natal 2010 dengan menapaki kencintaan pada kehidupan (pro-life culture).
Rohaniawan Katholik Dr FX Mudji Sutrisno mengatakan, Natal bermakna kasih Allah. Tuhan menebus manusia dengan menjadi bayi (manusia) di Bethlehem. Allah sangat menghargai tumbuhnya kasih dalam sebuah proses.
Proses itu adalah kandungan selama 9 bulan dan lahir menjadi Isa Almasih di Bethlehem hingga perjamuan Paskah yang semuanya membutuhkan proses. Karena itu, inti dari hidup adalah memuliakan proses.
“Bukan jalan pintas. Tidak korupsi untuk jadi kaya apalagi jadi mafia hukum,” katanya.
Romo Muji menegaskan, sikap yang anti terhadap pemuliaan proses itulah yang membuat Indonesia terus terpuruk. Seharusnya, setiap upaya harus menghargai proses sehingga yang kecil bisa menjadi besar dengan cara-cara yang seharusnya.
Dalam kaitan menghargai proses, akademisi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara itu mencontohkan, pelukis Rusli atau Afandi. Kedua pelukis itu, untuk belajar menarik garis membutuhkan waktu selama 30 tahun. “Untuk menulis halus di Sekolah Dasar pun butuh proses yang sulit,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Romo Mudji yang juga seorang budayawan, sikap pemuliaan proses kalah dengan budaya instan (instant culture). “Hal inilah yang memicu korupsi dan penyelewengan penyelenggaraan kenegaraan yang lain seperti kasus mafia pajak dan lain sebagainya,” ungkap Romo Mudji.
Romo menekankan tentang pentingnya kasih. Sebab, dalam ketakutan, teror dan kekerasan, Injil menyatakan jangan takut. Sebab, Allah lahir bagimu dan menebus kamu. “Allah lahir dalam wujud bayi dengan istilah Emanuel yang berarti, Allah hadir dan besertamu dalam kepapaan,” paparnya.
Dalam konteks Indonesia, Allah hadir dalam berbagai musibah dan bencana. Asalkan, manusia mau saling peduli dan mengasihi dalam perbedaan. Sebab, inti dari tiap agama pun adalah kasih.
Romo Mudji menyambut positif para Menteri beragama Kristiani yang merayakan Natal di tempat-tempat bencana. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro merayakan Natal di Mentawai dan Menteri Perhubungan Freddy Numberi di Wasior.
Sebab, dalam kenyataannya, Natal seringkali dimaknai secara paradoks. Natal bermakna kepapaan dan penderitaan tetapi dirayakan dengan kemewahan dan pesta pora.
Karena itu, makna Natal berikutnya adalah kembali menapaki pro-life culture (budaya mencintai kehidupan). Sebab, Allah besertamu (umat manusia) dalam kepapaan, bencana dan penderitaan.
Ini adalah upaya melawan budaya (counter culture) yang anti-kehidupan (anti-life culture). “Di antaranya sikap yang tidak menghargai perbedaan, kekerasan, tidak menghargai kemajemukan agama, diskriminasi rasialis atau etnis,” paparnya.
Pro-life culture juga melawan jalan-jalan politisasi yang memicu perpecahan dan ekonomisasi yang hanya mempertimbangkan untung rugi. Romo Mudji kembali memberi contoh konkrit dari upaya politisasi dan ekonomisasi.
Menurutnya, contoh konkrit itu adalah sepak bola tim nasional yang belakangan berhasil merajut rasa nasionalisme. Apalagi, timnas lolos ke final piala AFF Suzuki 2010 melawan Malaysia. “Rajutan tersebut dipecah oleh harga tiket yang selangit karena faktor ekonomisasi itu tadi,” ungkapnya.
Lalu, rajutan nasionalisme itu juga dicabik-cabik oleh ketidakadilan. Para menteri dan orang-orang besar mendapatkan undangan khusus. Sementara itu, rakyat justru antri dan pada urutan 500, karcisnya sudah habis. “Padahal, rakyat sudah berjam-jam antri bahkan menginap,” tuturnya.
Apalagi, faktanya karcis yang tersedia sebanyak 24 ribu. Artinya, masih ada 6.000 karcis untuk tiap-tiap loket. “Politik dan uang dalam sepak bola sangat anti-kehidupan (anti-life culture) sehingga memicu kekerasan,” ucapnya.
Di atas semua itu, Natal hingga Paskah harus dimaknai sebagai kelahiran Yesus yang membawa suasana baru untuk budaya yang mencintai kehidupan. Hal itu harus diwujudkan dalam shalom atau salam dalam Islam.
Shalom dalam bidang ekonomi adalah pemerataan dengan menjembatani jurang kaya-miskin. Sedangkan, dalam bahasa hukum, shalom bermakna ketidakadilan yang harus dibereskan. Dalam bahasa sosial, adalah rukun damai dan saling menghormati dalam perbedaan. “Sebab, dalam satu keluarga saja watak setiap anak berbeda,” ucapnya.
Sumber: Waspada