JAKARTA - Sejumlah tokoh Kristen Protestan dan Kristen Katolik berpendapat, untuk menghindari serta mengatasi kegaduhan dan kemelut, kunci utamanya adalah rekonsiliasi serta restorasi di atas prinsip hidup harmonis berbasis Bhineka Tunggal Ika.
Demikian benang merah pendapat yang dirangkum di Jakarta, Minggu (23/1), dari dua tokoh Kristen Protestan dan dua tokoh Kristen Katolik, merespons imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI), agar tokoh agama tidak membuat gaduh dalam mengkritik.
Mereka yang dihubungi terpisah itu, masing-masing Tokoh Katolik Keuskupan Jakarta, Yantje Yohannes Worotitjan, dan 'Senior Friend' Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Dr Ir Terry Gabriel Frans. Kemudian ada juga politisi Katolik Paskalis Kossay serta mantan Pimpinan Komisi Pemuda Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang tengah studi doktor di Universitas Indonesia (UI), Ferrol Warouw.
Yantje Worotitjan yakin rekonsiliasi dan restorasi merupakan kata kunci utama, serta tetap berada dalam kesadaran untuk persatuan serta kesatuan bangsa, demi keutuhan NKRI.
Sementara itu Paskalis Kossay yang juga Koordinator Nasional (Kornas) Kaukus Papua di Parlemen RI menilai, merupakan sikap wajar jika para tokoh agama menyampaikan suara kenabian.
"Anda tahu sendiri, sebagai orang beriman, suara kenabian itu memang terkadang dapat dianggap terlalu 'keras' dan terkesan menimbulkan kegaduhan, jika ditinjau dengan menggunakan standar manusia serta dunia," tandasnya.
Sebagaimana diberitakan berbagai media sebelumnya, sejumlah Tokoh Lintas Agama (TLA), di antaranya Din Syamsuddin, mengeluarkan pernyataan berisi 18 kebohongan Pemerintah RI saat ini.
Kelompok TLA itu antara lain menyorot kritis persoalan di bidang upaya menjaga kehidupan harmonis antar umat, penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi, juga masalah HAM serta ketenagakerjaan.
Sementara itu, baik Terry Frans maupun Ferrol Warouw, sama-sama berpendapat, sebaiknya semua elemen bangsa, termasuk kalangan rohaniwan, agar kembali memahami pada komitmen kehendak serta cita-cita bersama sejak awal NKRI ini didirikan para the Founding Fathers.
"Hidup bersama itu memang perlu aturan, dan untuk suatu negara, konstitusinya menjadi acuan utama. Makanya, jangan lari dari sana," tegas Ferrol Warouw.
Sepanjang perjalanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan berada di atas acuan konstitusi itu, menurutnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Pemerintah sekarang tentu perlu lebih arif dalam merespons semua kritik dan aspirasi warganya, agar jalannya pemerintahan tidak melenceng dari cita-cita bersama. Sebaliknya, semua elemen masyarakat juga agar semakin cerdas dalam menyuarakan kehendaknya," katanya lagi.
Sedangkan Terry Frans hampir senada dengan Paskalis Kossay yang menilai, pernyataan para tokoh lintas agama sekitar sepekan silam, sesungguhnya murni "suara kenabian".
"Bagi saya, para pemimpin agama wajib menyampaikan itu kepada Pemerintah sebagai tanggungjawab moral atas kondisi riil yang dihadapi umatnya," kata Paskalis Kossay.
Justru yang membuat kegaduhan itu, menurut Paskalis Kossay dan juga Terry Frans, bukan para agamawan serta rohaniwan, tetapi politisi, pengamat juga terkesan di-blow up sejumlah media, terutama elektronik.
"Tetapi kegaduhan makin keras, karena beberapa pihak dari pihak Pemerintah ikut-ikutan memanaskan situasi, malah membuat politisasi sikap para tokoh agama itu, sebagaimana ditunjukkan seorang menteri bidang kelautan," ungkap Terry Frans.
Yantje Worotitjan berpendapat perlunya semua pihak meneguhkan komitmennya memperkukuh NKRI dengan berpedomankan kepada akar budaya. "Yakni akar budaya yang bersumber kepada aspirasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan," ujarnya.
Baginya, ini merupakan azas pencegah perbedaan pendapat dan kepentingan golongan serta kelompok. "Masalahnya sekarang banyak nilai asing yang gemar kita adopsi tanpa terlebih dulu mengujinya dengan kearifan-kearifan Nusantara. Salah kaprah jadinya di lapangan," katanya mengingatkan.
Karena itu, ia meminta para elite untuk tidak sembarangan mengutip pemikiran-pemikiran asing, apalagi didikte oleh cara berpikir keliru, lalu memaksakan diterapkan pada situasi kehidupan kerakyatan berbudaya Nusantara. "Ini sesungguhnya yang menjadikan hidup kita penuh kegaduhan dari hari ke hari, terutama sejak reformasi digulirkan. Ini harus segera diatasi. Dan kuncinya itu tadi, yakni rekonsiliasi dan restorasi, serta kembali kepada semangat budaya Nusantara yang asli," tegas Yanye Worotitjan.
Sumber:MediaIndonesia