JAKARTA - Bencana letusan Gunung Merapi di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta memang telah berlalu, tetapi dampaknya masih
terasa hingga saat ini. Adalah Tumadi (57), petani Dusun Gejiwan,
Talun, Kecamatan Dukun, Magelang, yang mungkin sangat merasakan
kesedihan akibat dampak sekunder erupsi Merapi beberapa waktu lalu.
Sebidang sawah miliknya tersapu banjir lahar dingin berikut tanaman
pertaniannya.
Tumadi merupakan salah seorang kepala keluarga yang menjadi jemaat
Gereja Baptis Indonesia (GBI) Sleman TPW Talun Magelang. Menggarap tanah
sawah miliknya seluas seperempat hektar menjadi keseharian Tumadi
sebelum terjadinya bencana erupsi Merapi.
Saat Suara Baptis awal Desember 2010 lalu berkunjung ke Talun bersama
Pdt. Dwi Ariyadi, Gembala Sidang GBI Sleman,Tumadi menceritakan
kepiluannya. “Dulu saya bertani dengan sistem tumpangsari. Jadi, dalam
satu petak digunakan untuk menanam dua atau tiga jenis tanaman misalnya
cabe, kacang panjang, dan ubi jalar,” kenang Tumadi. “Tapi sekarang,
rusak diterjang banjir lahar dingin,” imbuhnya.
Tanah sawah milik Tumadi terdiri dari dua petak seluas 500 m2 dan
2000 m2. Petak yang luas itulah yang tersapu oleh lahar dingin yang
mengalir melalui Kali Senowo. Sungai yang berhulu di puncak Merapi
tersebut memang terletak tepat di sebelah utara dusun tempat tinggal
Tumadi. Sementara, sawah miliknya berada di bantaran sungai, sekitar 500
meter dari rumah.
Tumadi sempat mengajak Suara Baptis menengok Kali Senowo sembari
menunjukkan keadaan sawahnya yang terlihat dari kejauhan. Kondisi sawah
tersebut sama seperti kondisi sungainya, yang hanya menyisakan hamparan
pasir dan bebatuan tanpa terlihat derasnya aliran air yang biasa
mengalir di sungai tersebut.
Kini, Tumadi tinggal memiliki sisa sawah seluas 500 m2 yang telah
rusak tanamannya akibat hujan abu vulkanik dari letusan Merapi. Sawah
itulah yang diharapkan dapat segera ditanami kembali, karena untuk
memulihkan kondisi sawah lainnya perlu waktu lebih lama lagi.
“Bisa sampai 5 tahun untuk mengembalikan kondisi sawah saya yang
diterjang lahar,” ungkap Tumadi sambil tersenyum menutupi kesedihannya.
Bersyukur, karena meskipun sawah yang menjadi tumpuan hidupnya
mengalami kerusakan, namun Tumadi dan keluarganya terhindar dari
bencana. Dusun Gejiwan yang terletak di sebelah barat dan hanya berjarak
7 kilometer dari puncak Merapi memang luput dari bencana primer erupsi
Merapi.
Beralih Profesi Sementara
Lain Tumadi, lain pula yang dialami Sugiyanto (50), jemaat TPW Talun
lainnya. Sugiyanto yang sehari-hari menjadi penambang pasir di Kali
Senowo, kini justru memilih menjadi pemotong kayu. Aktivitasnya sebagai
penambang pasir praktis terhenti untuk sementara waktu karena banjir
lahar dingin dapat membahayakan keselamatan para penambang.
Pria paruh baya yang akrab disapa Giyanto ini memotong kayu dengan
ukuran yang sama dan mengikatnya dalam jumlah tertentu. Kayu-kayu yang
dipotongnya menjadi kayu bakar tersebut berasal dari pohon-pohon yang
rusak dan tumbang akibat hujan abu vulkanik yang sangat lebat dan
membawa material pasir. Pohon-pohon tersebut juga bukan berasal dari
kebun miliknya sendiri, melainkan milik orang lain di sekitar tempat
tinggalnya. Di samping membersihkan pohon-pohon yang rusak dan tumbang,
ternyata Giyanto kayunya dapat menjualnya menjadi kayu bakar.
Untuk seikat kayu bakar, Giyanto menjualnya seharga Rp 10 ribu.
Menurut ia dan istrinya, hasil penjualan kayu tersebut meski sedikit
namun lumayan untuk menjaga agar dapurnya tetap mengepul. Tetapi dirinya
tetap berharap agar bencana segera berlalu dan ia bersama
rekan-rekannya dapat kembali menambang pasir di aliran Kali Senowo.
Sementara itu, jemaat lain bernama Bambang kini lebih banyak berada
di rumah. Pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang mainan anak-anak
harus terhenti karena sekolah-sekolah tempat ia biasa berjualan
diliburkan untuk beberapa waktu. Lagipula, Bambang dan keluarga juga
harus menjadi pengungsi selama rumah tinggalnya masih berada dalam
radius bahaya.
Sekembalinya dari mengungsi, sesekali Bambang bersama istri dan
anaknya mengumpulkan pasir sisa hujan abu vulkanik yang terbawa air
melalui saluran-saluran irigasi. Hasilnya pun jauh dari kata lumayan. Rp
10 ribu rupiah mereka dapatkan dari hasil mengumpulkan pasir sebanyak
sekitar seperlima bak truk. Sungguh hasil yang tak sebanding dengan
jerih lelah mereka.
Cerita serupa juga terjadi di sisi utara lereng Merapi. Sebanyak 11
jemaat GBI Bukit Zaitun Balangan TPW Windusajan, Wonolelo, Kecamatan
Sawangan, Magelang kini merasakan dampak pascaerupsi Merapi. Setidaknya,
mereka merasakan kebingungan ketika pekerjaan maupun sawah garapan
mereka tak lagi dapat menopang kehidupan sehari-hari. Menurut Gembala
Sidang GBI Balangan, Pdm. Nono Widyatmanto, meskipun tidak mengalami
bencana sedahsyat yang dialami warga Cangkringan Sleman, namun keadaan
jemaat di Windusajan juga perlu mendapat perhatian.
“Sekarang ini mau kerja apa juga sulit. Ndak lagi ikut mengungsi,
tapi ya tetap memerlukan bantuan,” ungkap Pak Nono, panggilan akrab pria
berkumis tersebut.
Seorang tokoh TPW Windu yang sempat ditemui Suara Baptis, Yohanes,
menyatakan kesulitannya dalam melewati masa-masa pascabencana. Yohanes
yang biasa membantu sang istri berjualan makanan kecil-kecilan merasa
bingung bagaimana melanjutkan usahanya. “Ya, sekarang ini susah. Tapi
mau bagaimana lagi wong namanya juga sedang terkena bencana,” kisah
Yohanes saat berada di posko Rebana, kantor BPD GGBI Yogyakarta.
Yohanes berharap, kondisi di Windu akan segera pulih sehingga ia
bersama masyarakat di lereng Merapi dapat kembali menata hidup seperti
sedia kala.
Saatnya Gereja Ambil Bagian
Dua Tempat Pembinaan Warga (TPW) yaitu TPW Talun dan TPW Windu memang
menjadi tubuh gereja yang saat ini paling mengalami dampak bencana
erupsi Merapi. Jaraknya yang kurang dari 10 kilometer dari puncak Merapi
menjadikan dua tempat tersebut berada dalam kawasan paling rawan
terhadap bahaya erupsi.
GBI Sleman sebagai induk TPW yang memiliki 13 jemaat tersebut telah
mengambil langkah proaktif semasa kurun waktu tanggap darurat.
Selain
bekerja sama dengan posko Rebana, GBI Sleman juga menggalang bantuan
dari beberapa relasi yang memberi perhatian terhadap korban bencana
Merapi di TPW Talun.
Menurut keterangan yang disampaikan Pdt.Dwi, selama masa tanggap
darurat pihak gereja secara berkelanjutan menyalurkan bantuan logistik
terutama bagi jemaat TPW Talun maupun warga di dusun Gejiwan.
Pendistribusian bantuan logistik didrop di rumah Giyanto yang selama ini
menjadi tempat ibadah jemaat TPW Talun. Bantuan logistik yang
disalurkan ke TPW Talun berupa makanan instan maupun sembako lainnya.
Selain memberikan bantuan logistik berupa bahan makanan dan kebutuhan
pokok sehari-hari, GBI Sleman juga memberi ‘uang bensin’ kepada setiap
kepala keluarga di TPW Talun selama mereka belum kembali bekerja seperti
biasanya. “Kami memberikan uang, istilahnya uang bensin, bagi setiap
keluarga. Jumlahnya tidak banyak, tapi paling tidak menjadi uang
pegangan sebelum mereka bisa kembali bekerja,” terang Pdt. Dwi.
Pdt. Dwi merasa bahwa sebagai gereja induk, GBI Sleman perlu memberi
perhatian bagi jemaatnya yang menjadi korban erupsi Merapi. Tak hanya
pada masa tanggap darurat saja, namun gereja berharap dapat memberi
dukungan hingga jemaat dapat kembali memulihkan kehidupan mereka.
Untuk itu, Pdt. Dwi telah berencana memberikan perangsang bagi jemaat
untuk dapat kembali memulai aktivitas pekerjaannya. Perangsang tersebut
diwujudkan dalam bentuk modal usaha nontunai. Gereja akan mengusahakan
bibit tanaman dan juga pupuk serta obat-obat pertanian bagi Tumadi agar
dapat kembali menggarap sawah. Untuk Giyanto, gereja akan memberikan
skop dan peralatan lainnya sehingga setelah banjir lahar reda ia dapat
kembali menambang pasir.
Sedangkan untuk Bambang, gereja akan memberi modal berupa mainan
anak-anak untuk dijual kembali sama seperti aktivitas Bambang
sebelumnya. Menurut Pdt. Dwi, dengan cara demikian gereja tak menjadikan
jemaat bergantung dengan hanya memberi ‘ikan’ namun justru jemaat akan
terdorong untuk kembali bekerja dan berusaha.
Sementara itu, Pdm. Nono memiliki rencana lain untuk memulihkan
keadaan ekonomi jemaat TPW Windu dan masyarakat sekitarnya. Selama masa
tanggap darurat, GBI Bukit Zaitun Balangan bekerja sama dengan posko
Rebana dan donatur lainnya menyalurkan bantuan logistik bagi jemaat dan
warga sekitar TPW Windu. Selain itu, jemaat GBI Balangan juga memberikan
bantuan dana melalui persembahan spontanitas yang dikumpulkan pada saat
jam doa Rabu.
Rencana pemulihan yang digagas oleh Pdm. Nono adalah dengan
menghidupkan Kelompok Tani di wilayah Windusajan. Meskipun baru wacana,
namun Pdm. Nono berniat menawarkan program tersebut kepada donatur yang
bersedia ambil bagian di dalamnya. Selain mengaktifkan kembali
Kelompok Tani, cara pemulihan yang dapat dilakukan untuk jangka panjang
adalah dengan memperbaiki sistem pertanian serta pengadaan bibit.
“Itu semua masih sebagai wacana, tapi perlu benar-benar dipikirkan
kalau ingin memulihkan ekonomi warga di sana,” tandas Pdm. Nono yang
saat ini menjabat Kepala Bagian Pemerintahan Desa Wukirsari, Kecamatan
Cangkringan Sleman.
Selain GBI Sleman dan GBI Bukit Zaitun Balangan yang memberi
perhatian terhadap dua TPW di lereng Merapi tersebut, Badan Pengurus
Daerah (BPD) GGBI Yogyakarta juga berupaya untuk ambil bagian dalam
program pemulihan bagi jemaat di Talun dan Windu.
BPD GGBI Yogyakarta bekerja sama dengan posko Rebana selama ini juga
telah menyalurkan berbagai bantuan ke tempat-tempat tersebut. Pada masa
tanggap darurat, BPD GGBI Yogyakarta terintegrasi dengan Yayasan Rebana
Indonesia sebagai kepanjangan tangan gereja dalam penganganan bencana
alam termasuk bencana Merapi.
Memasuki masa pemulihan, Ketua BPD GGBI Yogyakarta, Pdt. Marthinus
Sumendi merasa bahwa BPD perlu untuk melanjutkan perhatiannya bagi
jemaat di lereng Merapi itu. “Kami telah melakukan pendataan dan
pemetaan, dan ingin sekali dapat mengakomodasi gagasan gereja setempat.
Kalau perlu, kami kirim proposal kepada donatur untuk program-program
itu,” jelas Pdt. Marthinus.
Siapa pun yang akan mendukung program BPD, Pdt. Marthinus
menambahkan, yang terpenting program pemulihan dapat segera diwujudkan
dan gereja dapat mengambil bagian.?
Sumber: Suara Baptis