Thursday 24 February 2011

Thursday, February 24, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Duka Jemaat Gereja Baptis Indonesia (GBI) di balik Erupsi Merapi 2010.
JAKARTA - Bencana letusan Gunung Merapi  di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta memang telah berlalu, tetapi dampaknya masih terasa hingga saat ini. Adalah Tumadi (57), petani Dusun Gejiwan, Talun, Kecamatan Dukun, Magelang, yang mungkin sangat merasakan kesedihan akibat dampak sekunder erupsi Merapi beberapa waktu lalu. Sebidang sawah miliknya tersapu banjir lahar dingin berikut tanaman pertaniannya.

Tumadi merupakan salah seorang kepala keluarga yang menjadi jemaat Gereja Baptis Indonesia (GBI) Sleman TPW Talun Magelang. Menggarap tanah sawah miliknya seluas seperempat hektar menjadi keseharian  Tumadi sebelum terjadinya bencana erupsi Merapi.

Saat Suara Baptis awal Desember 2010 lalu berkunjung ke Talun bersama Pdt. Dwi Ariyadi, Gembala Sidang GBI Sleman,Tumadi menceritakan kepiluannya.  “Dulu saya bertani dengan sistem tumpangsari. Jadi, dalam satu petak digunakan untuk menanam dua atau tiga jenis tanaman misalnya cabe, kacang panjang, dan ubi jalar,” kenang Tumadi. “Tapi sekarang, rusak diterjang banjir lahar dingin,” imbuhnya.

Tanah sawah milik Tumadi terdiri dari dua petak seluas 500 m2 dan 2000 m2. Petak yang luas itulah yang tersapu oleh lahar dingin yang mengalir melalui Kali Senowo. Sungai yang berhulu di puncak Merapi tersebut memang terletak tepat di sebelah utara dusun tempat tinggal Tumadi. Sementara, sawah miliknya berada di bantaran sungai, sekitar 500 meter dari rumah.

Tumadi sempat mengajak Suara Baptis menengok Kali Senowo sembari menunjukkan keadaan sawahnya yang terlihat dari kejauhan. Kondisi sawah tersebut sama seperti kondisi sungainya, yang hanya menyisakan hamparan pasir dan bebatuan tanpa terlihat derasnya aliran air yang biasa mengalir di sungai tersebut.

Kini,  Tumadi tinggal memiliki sisa sawah seluas 500 m2 yang telah rusak tanamannya akibat hujan abu vulkanik dari letusan Merapi. Sawah itulah yang diharapkan dapat segera ditanami kembali, karena untuk memulihkan kondisi sawah lainnya perlu waktu lebih lama lagi.

“Bisa sampai 5 tahun untuk mengembalikan kondisi sawah saya yang diterjang lahar,” ungkap Tumadi sambil tersenyum menutupi kesedihannya.

Bersyukur, karena meskipun sawah yang menjadi tumpuan hidupnya mengalami kerusakan, namun Tumadi dan keluarganya terhindar dari bencana. Dusun Gejiwan yang terletak di sebelah barat dan hanya berjarak 7 kilometer dari puncak Merapi memang luput dari bencana primer erupsi Merapi.

Beralih Profesi Sementara
Lain Tumadi, lain pula yang dialami  Sugiyanto (50), jemaat TPW Talun lainnya. Sugiyanto yang sehari-hari menjadi penambang pasir di Kali Senowo, kini justru memilih  menjadi pemotong kayu. Aktivitasnya sebagai penambang pasir praktis terhenti untuk sementara waktu karena banjir lahar dingin dapat membahayakan keselamatan para penambang.

Pria paruh baya yang akrab disapa Giyanto ini memotong kayu dengan ukuran yang sama dan mengikatnya dalam jumlah tertentu. Kayu-kayu yang dipotongnya menjadi kayu bakar tersebut berasal dari pohon-pohon yang rusak dan tumbang akibat hujan abu vulkanik yang sangat lebat dan membawa material pasir. Pohon-pohon tersebut juga bukan berasal dari kebun miliknya sendiri, melainkan milik orang lain di sekitar tempat tinggalnya. Di samping membersihkan pohon-pohon yang rusak dan tumbang, ternyata  Giyanto kayunya dapat menjualnya menjadi kayu bakar.

Untuk seikat kayu bakar, Giyanto menjualnya seharga Rp 10 ribu. Menurut ia dan istrinya, hasil penjualan kayu tersebut meski sedikit namun lumayan untuk menjaga agar dapurnya tetap mengepul. Tetapi dirinya tetap berharap agar bencana segera berlalu dan ia bersama rekan-rekannya dapat kembali menambang pasir di aliran Kali Senowo.

Sementara itu, jemaat lain bernama Bambang kini lebih banyak berada di rumah. Pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang mainan anak-anak harus terhenti karena sekolah-sekolah tempat ia biasa berjualan diliburkan untuk beberapa waktu. Lagipula, Bambang dan keluarga juga harus menjadi pengungsi selama rumah tinggalnya masih berada dalam radius bahaya.

Sekembalinya dari mengungsi, sesekali Bambang bersama istri dan anaknya mengumpulkan pasir sisa hujan abu vulkanik yang terbawa air melalui saluran-saluran irigasi. Hasilnya pun jauh dari kata lumayan. Rp 10 ribu rupiah mereka dapatkan dari hasil mengumpulkan pasir sebanyak sekitar seperlima bak truk. Sungguh hasil yang tak sebanding dengan jerih lelah mereka.

Cerita serupa juga terjadi di sisi utara lereng Merapi. Sebanyak 11 jemaat GBI Bukit Zaitun Balangan TPW Windusajan, Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Magelang kini merasakan dampak pascaerupsi Merapi. Setidaknya, mereka merasakan kebingungan ketika pekerjaan maupun sawah garapan mereka tak lagi dapat menopang kehidupan sehari-hari. Menurut Gembala Sidang GBI Balangan, Pdm. Nono Widyatmanto, meskipun tidak mengalami bencana sedahsyat yang dialami warga Cangkringan Sleman, namun keadaan jemaat di Windusajan juga perlu mendapat perhatian.

“Sekarang ini mau kerja apa juga sulit. Ndak lagi ikut mengungsi, tapi ya tetap memerlukan bantuan,” ungkap Pak Nono, panggilan akrab pria berkumis tersebut.

Seorang tokoh TPW Windu yang sempat ditemui Suara Baptis, Yohanes, menyatakan kesulitannya dalam melewati masa-masa pascabencana.  Yohanes yang biasa membantu sang istri berjualan makanan kecil-kecilan merasa bingung  bagaimana melanjutkan usahanya. “Ya, sekarang ini susah. Tapi mau bagaimana lagi wong namanya juga sedang terkena bencana,” kisah Yohanes saat berada di posko Rebana, kantor BPD GGBI Yogyakarta.

Yohanes berharap, kondisi di Windu akan segera pulih sehingga ia bersama  masyarakat di lereng Merapi dapat kembali menata hidup seperti sedia kala.

Saatnya Gereja Ambil Bagian
Dua Tempat Pembinaan Warga (TPW) yaitu TPW Talun dan TPW Windu memang menjadi tubuh gereja yang saat ini paling mengalami dampak  bencana erupsi Merapi. Jaraknya yang kurang dari 10 kilometer dari puncak Merapi menjadikan dua tempat tersebut berada dalam kawasan paling rawan terhadap bahaya erupsi.
GBI Sleman sebagai induk TPW yang memiliki 13 jemaat tersebut telah mengambil langkah proaktif semasa kurun waktu tanggap darurat. 

Selain bekerja sama dengan posko Rebana, GBI Sleman juga menggalang bantuan dari beberapa relasi yang memberi perhatian terhadap korban bencana Merapi di TPW Talun.

Menurut keterangan yang disampaikan  Pdt.Dwi, selama masa tanggap darurat pihak gereja secara berkelanjutan menyalurkan bantuan logistik terutama bagi jemaat TPW Talun maupun warga di dusun Gejiwan. Pendistribusian bantuan logistik didrop di rumah Giyanto yang selama ini menjadi tempat ibadah jemaat TPW Talun. Bantuan logistik yang disalurkan ke TPW Talun berupa makanan instan maupun sembako lainnya.

Selain memberikan bantuan logistik berupa bahan makanan dan kebutuhan pokok sehari-hari, GBI Sleman juga memberi ‘uang bensin’ kepada setiap kepala keluarga di TPW Talun selama mereka belum kembali bekerja seperti biasanya. “Kami memberikan uang, istilahnya uang bensin, bagi setiap keluarga. Jumlahnya tidak banyak, tapi paling tidak menjadi uang pegangan sebelum mereka bisa kembali bekerja,” terang Pdt. Dwi.

Pdt. Dwi merasa bahwa sebagai gereja induk, GBI Sleman perlu memberi perhatian bagi jemaatnya yang menjadi korban erupsi Merapi. Tak hanya pada masa tanggap darurat saja, namun gereja berharap dapat memberi dukungan hingga jemaat dapat kembali memulihkan kehidupan mereka.

Untuk itu, Pdt. Dwi telah berencana memberikan perangsang bagi jemaat untuk dapat kembali memulai aktivitas pekerjaannya. Perangsang tersebut diwujudkan dalam bentuk modal usaha nontunai. Gereja akan mengusahakan bibit tanaman dan juga pupuk serta obat-obat pertanian bagi Tumadi agar dapat kembali menggarap sawah. Untuk Giyanto, gereja akan memberikan skop dan peralatan lainnya sehingga setelah banjir lahar reda ia dapat kembali menambang pasir.

Sedangkan untuk Bambang, gereja akan memberi modal berupa mainan anak-anak untuk dijual kembali sama seperti aktivitas  Bambang sebelumnya. Menurut Pdt. Dwi, dengan cara demikian gereja tak menjadikan jemaat bergantung dengan hanya memberi ‘ikan’ namun justru jemaat akan terdorong untuk kembali bekerja dan berusaha.

Sementara itu, Pdm. Nono memiliki rencana lain untuk memulihkan keadaan ekonomi jemaat TPW Windu dan masyarakat sekitarnya. Selama masa tanggap darurat, GBI Bukit Zaitun Balangan bekerja sama dengan posko Rebana dan donatur lainnya menyalurkan bantuan logistik bagi jemaat dan warga sekitar TPW Windu. Selain itu, jemaat GBI Balangan juga memberikan bantuan dana melalui persembahan spontanitas yang dikumpulkan pada saat jam doa Rabu.

Rencana pemulihan yang digagas oleh Pdm. Nono adalah dengan menghidupkan Kelompok Tani di wilayah Windusajan. Meskipun baru wacana, namun Pdm. Nono berniat  menawarkan program tersebut kepada donatur yang bersedia  ambil bagian di dalamnya. Selain mengaktifkan kembali Kelompok Tani, cara pemulihan yang dapat dilakukan untuk jangka panjang adalah dengan memperbaiki sistem pertanian serta pengadaan bibit.

“Itu semua masih sebagai wacana, tapi perlu benar-benar dipikirkan kalau ingin memulihkan ekonomi warga di sana,” tandas Pdm. Nono yang saat ini menjabat  Kepala Bagian Pemerintahan Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan Sleman.

Selain GBI Sleman dan GBI Bukit Zaitun Balangan yang memberi perhatian terhadap dua TPW di lereng Merapi tersebut, Badan Pengurus Daerah (BPD) GGBI Yogyakarta juga berupaya untuk ambil bagian dalam program pemulihan bagi jemaat di Talun dan Windu.

BPD GGBI Yogyakarta bekerja sama dengan posko Rebana selama ini juga telah menyalurkan berbagai bantuan ke tempat-tempat tersebut. Pada masa tanggap darurat, BPD GGBI Yogyakarta terintegrasi dengan Yayasan Rebana Indonesia sebagai kepanjangan tangan gereja dalam penganganan bencana alam termasuk bencana Merapi.

Memasuki masa pemulihan, Ketua BPD GGBI Yogyakarta, Pdt. Marthinus Sumendi merasa bahwa BPD perlu untuk melanjutkan perhatiannya bagi jemaat di lereng Merapi itu. “Kami telah melakukan pendataan dan pemetaan, dan ingin sekali dapat mengakomodasi gagasan gereja setempat. Kalau perlu, kami kirim proposal kepada donatur untuk program-program itu,” jelas Pdt. Marthinus.

Siapa pun yang akan mendukung program BPD, Pdt. Marthinus menambahkan, yang terpenting program pemulihan dapat segera diwujudkan dan gereja dapat mengambil bagian.?

Sumber: Suara Baptis