Monday, 28 February 2011

Monday, February 28, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Jeritan Hati Para Pemimpin Gereja - Gereja di Papua yang Tak Dihiraukan.
JAKARTA - Hari-hari belakangan ini, pemimpin gereja-gereja di Papua menyampaikan jeritan hati masyarakat asli Papua agar pemerintah di Jakarta membuka diri untuk dialog. 

Para imam gereja Papua menyerukan agar pemerintah sekarang juga menghentikan politik kekerasan yang mencekam penduduk selama ini. Mereka menyerukan agar upaya pelaksanaan otonomi khusus tak mengingkari konsep yang telah disepakati. Manuver Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi akhir-akhir ini dengan mengeluarkan surat yang “merevisi” syarat pemilihan anggota MRP (bukan lagi penduduk asli Papua, tetapi hanya penduduk Papua) menjadi salah satu pemicu kekecewaan. 

Surat tersebut merupakan revisi Peraturan Daerah Khusus Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pemilihan anggota MRP. Surat itu disampaikan tertulis kepada Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu Nomor 188.341/110/SJ tertanggal 13 Januari 2011. Dalam revisi tersebut disebutkan bahwa yang bisa menjadi anggota MRP adalah orang Papua, bukan “asli” Papua. Ini artinya pendatang juga bisa dipilih. 

Revisi inilah yang belakangan menuai reaksi keras dari pemimpin gereja-gereja di Papua. Ini karena perubahan Perdasus itu mereka nilai bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. 

Bahkan pada tanggal 26 Januari atau dua pekan setelah keluarnya surat revisi dari Mendagri tersebut para pemuka agama merasa perlu mendeklarasikan sikap kecewa mereka. Mereka mengistilahkan sikap pemerintah pusat terhadap mereka seperti pukulan badai yang menenggelamkan kapal. Para pemuka gereja-gereja di Papua juga keras mengecam pelaksanaan percepatan laju pembangunan di Papua, yang dianggap tidak adil, hanya menguntungkan pendatang dari luar dan menjadikan penduduk asli semakin terpinggirkan dan tergusur. 

Laju pembangunan ini juga membuat semakin derasnya perusakan hutan dan alam dan menggersangkan keberlanjutan nilai-nilai dan lembaga-lembaga adat budaya Papua. Papua, dalam istilah para pemuka gereja ini, telah menjalani suatu “sejarah sunyi” karena kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat tak berpihak kepeda orang Papua. 

Orang Papua, menurut mereka, telah diposisikan sebagai “yang lain” yang harus diawasi, dikendalikan, dan dibina, bukan sebagai warga negara Indonesia setara. Suara profetik dari pemimpin gereja itu nyaring keras, walaupun disampaikan dengan nada sejuk dan damai. Ini harus diperhatikan dan ditanggapi secara sungguh dan dengan tindakan nyata oleh pemerintah, dalam hal ini Kepala Negara dan Mendagri.

Sumber: matanews.com