MAKASSAR (SULSEL) - Sejumlah tokoh lintas agama, akademisi dan aktivis organisasi nonpemerintah yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sulsel (FMS), mendesak pemerintah meninjau ulang Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait Jemaah Ahmadiyah. Desakan itu dikeluarkan FMS usai bertemu di aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Senin 7 Februari.
Juru bicara sekaligus fasilitator FMS, Prof Dr Qasim Mathar mengemukakan, SKB Tiga Menteri yang ditandatangani Menteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung, telah menjadi alat legitimasi bagi sejumlah ormas untuk menyerang jemaah Ahmadiyah.
FMS lalu merilis sejumlah tindak kekerasan yang dialami Jemaah Ahmadiyah sebagai buntut dari SKB Tiga Menteri tersebut. Yang teranyar, penyerangan Jemaah Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang, Banten, Minggu 6 Februari lalu.
“Poin-poin SKB Tiga Menteri itu multitafsir. Bisa memberi penafsiran bagi sekelompok warga untuk menyerang jemaah Ahmadiyah, meskipun warga Ahmadiyah hanya duduk-duduk di rumahnya,” tutur direktur PPS UIN Alauddin itu.
Sebelumnya, Wim Poli bahkan mengusulkan agar SKB Tiga Menteri tersebut sebaiknya dibatalkan saja. Alasannya, SKB tersebut tidak relevan dengan undang-undang yang ada. Bahkan, menurut dia, bertentangan Hak Asasi Manusia.
Selain mendesak revisi SKB tersebut, FMS dalam pernyataan sikapnya juga mengecam keras penyerangan warga Ahmadiyah sekaligus menuntut tanggung jawab Menteri Agama dan Kapolri. Keduanya dianggap gagal melindungi kebebasan dan keselamatan warga Indonesia yang memiliki pandangan berbeda dalam berkeyakinan.
“Pemerintah harus segera menangkap pelaku dan otak penyerangan di Pandeglang kemarin. Juga perlu dilakukan dialog intensif tentang penafsiran ajaran keagamaan. Kekerasan harus dilawan secara beradab, bukan biadab seperti terjadi di Banten,” tegas Qasim Mathar yang juga dikenal sebagai aktivis Forum Antar Umat Beragama Sulsel ini.
Pembahasan pernyataan sikap FMS itu dihadiri sejumlah utusan ormas serta organisasi keagamaan. Di antaranya, P Joni Payuk dari Justice Peace Integration of Creation (JPIC-CICM), M Nawir dari Jaringan Rakyat Miskin Kota Makassar (JRMK). Pdt Libert Simatupang dari Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS), Albert dari LSM Gardan, Didi Darsono dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), serta Karim dari LSM Lapar.
Juga hadir budayawan Ishak Ngeljaratan, akademisi Waspada Santing, Dr Mustari Mustafa, Dr Nurhidayat Said, dan sejumlah tokoh lainnya.
Poin Pernyataan Sikap FMS
1. Mengecam sekeras-kerasnya penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah sebagai perbuatan biadab yang jauh sama sekali dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
2. Mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus tersebut, menangkap dan menghukum pelaku penyerangan jemaah Ahmadiyah.
3. Mendesak pemerintah agar menarik dan mencabut Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, nomor KEP-033/A/JA/6/2008, nomor 199 tahun 2008, tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, pengurus jemaah Ahmadiyah Indonesia dan warga masyarakat -dan semua keputusan dan peraturan yang serupa- yang selama ini telah memberi peluang penafsiran oleh warga untuk melakukan kekerasan agama terhadap warga/kelompok warga lainnya, khususnya Jemaah Ahmadiyah Indonesia.
4. Menyatakan penyesalan yang sebenar-benarnya yang mengganggu kepercayaan kami sebagai warga negara terhadap Menteri Agama, Kepolisian, dan lembaga keagamaan yang tidak bersikap/mengayomi, bahkan kehilangan kemampuan untuk melindungi kelompok-kelompok keagamaan yang ada di tengah masyarakat dari tindak kekerasan agama.
5. Mengajak dengan tulus kepada segenap warga masyarakat untuk melandaskan dan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai tolok ukur dari sikap dan perbuatan kita dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
6. Mendorong terwujudnya dialog yang intensif dan sehat di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda penafsiran keagamaan.
SUmber:FajarOnline
Juru bicara sekaligus fasilitator FMS, Prof Dr Qasim Mathar mengemukakan, SKB Tiga Menteri yang ditandatangani Menteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung, telah menjadi alat legitimasi bagi sejumlah ormas untuk menyerang jemaah Ahmadiyah.
FMS lalu merilis sejumlah tindak kekerasan yang dialami Jemaah Ahmadiyah sebagai buntut dari SKB Tiga Menteri tersebut. Yang teranyar, penyerangan Jemaah Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang, Banten, Minggu 6 Februari lalu.
“Poin-poin SKB Tiga Menteri itu multitafsir. Bisa memberi penafsiran bagi sekelompok warga untuk menyerang jemaah Ahmadiyah, meskipun warga Ahmadiyah hanya duduk-duduk di rumahnya,” tutur direktur PPS UIN Alauddin itu.
Sebelumnya, Wim Poli bahkan mengusulkan agar SKB Tiga Menteri tersebut sebaiknya dibatalkan saja. Alasannya, SKB tersebut tidak relevan dengan undang-undang yang ada. Bahkan, menurut dia, bertentangan Hak Asasi Manusia.
Selain mendesak revisi SKB tersebut, FMS dalam pernyataan sikapnya juga mengecam keras penyerangan warga Ahmadiyah sekaligus menuntut tanggung jawab Menteri Agama dan Kapolri. Keduanya dianggap gagal melindungi kebebasan dan keselamatan warga Indonesia yang memiliki pandangan berbeda dalam berkeyakinan.
“Pemerintah harus segera menangkap pelaku dan otak penyerangan di Pandeglang kemarin. Juga perlu dilakukan dialog intensif tentang penafsiran ajaran keagamaan. Kekerasan harus dilawan secara beradab, bukan biadab seperti terjadi di Banten,” tegas Qasim Mathar yang juga dikenal sebagai aktivis Forum Antar Umat Beragama Sulsel ini.
Pembahasan pernyataan sikap FMS itu dihadiri sejumlah utusan ormas serta organisasi keagamaan. Di antaranya, P Joni Payuk dari Justice Peace Integration of Creation (JPIC-CICM), M Nawir dari Jaringan Rakyat Miskin Kota Makassar (JRMK). Pdt Libert Simatupang dari Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS), Albert dari LSM Gardan, Didi Darsono dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), serta Karim dari LSM Lapar.
Juga hadir budayawan Ishak Ngeljaratan, akademisi Waspada Santing, Dr Mustari Mustafa, Dr Nurhidayat Said, dan sejumlah tokoh lainnya.
Poin Pernyataan Sikap FMS
1. Mengecam sekeras-kerasnya penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah sebagai perbuatan biadab yang jauh sama sekali dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
2. Mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus tersebut, menangkap dan menghukum pelaku penyerangan jemaah Ahmadiyah.
3. Mendesak pemerintah agar menarik dan mencabut Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, nomor KEP-033/A/JA/6/2008, nomor 199 tahun 2008, tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, pengurus jemaah Ahmadiyah Indonesia dan warga masyarakat -dan semua keputusan dan peraturan yang serupa- yang selama ini telah memberi peluang penafsiran oleh warga untuk melakukan kekerasan agama terhadap warga/kelompok warga lainnya, khususnya Jemaah Ahmadiyah Indonesia.
4. Menyatakan penyesalan yang sebenar-benarnya yang mengganggu kepercayaan kami sebagai warga negara terhadap Menteri Agama, Kepolisian, dan lembaga keagamaan yang tidak bersikap/mengayomi, bahkan kehilangan kemampuan untuk melindungi kelompok-kelompok keagamaan yang ada di tengah masyarakat dari tindak kekerasan agama.
5. Mengajak dengan tulus kepada segenap warga masyarakat untuk melandaskan dan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai tolok ukur dari sikap dan perbuatan kita dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
6. Mendorong terwujudnya dialog yang intensif dan sehat di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda penafsiran keagamaan.
SUmber:FajarOnline