Tuesday 15 March 2011

Tuesday, March 15, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Organisasi Keagamaan dan Kemanusiaan di Seluruh Asia Bantu Korban Gempa dan Tsunami Jepang. JAKARTA - Organisasi keagamaan dan kemanusiaan di seluruh Asia meningkatkan upaya untuk memberikan bantuan dan sumbangan bagi korban gempa terbesar yang pernah tercatat di Jepang. Gempa yang mengakibatkan tsunami itu menghancurkan kota-kota di Jepang.

Umat Katolik di Cina mengungkapkan solidaritas dengan korban gempa di Jepang. Dalam surat kepada Uskup Nigata Mgr Isao Kikuchi, ketua Caritas Jepang, Badan Katolik — Jinde Charities — di Propinsi Hebei di Cina bagian utara menyampaikan simpati dan turut belasungkawa atas masyarakat Jepang baik itu klerus dan umat, maupun korban yang sedemikian banyak.

Organisasi amal nasional itu juga memberi bantuan awal sebesar US$ 10.000 sebagai “simbol persaudaraan” untuk mendukung upaya bantuan Caritas Jepang, demikian surat dari Jinde itu.

Dari Seoul, Nicholas Kardinal Cheong Jin-suk mengatakan dalam sebuah pesannya bahwa “karya penyelamatan [untuk menemukan] korban harus dilakukan secepatnya,” dan dia terus berdoa semoga mereka yang selamat dapat pulih secepatnya.

Kardinal Cheong juga berjanji bahwa Keuskupan Agung Seoul akan mengirim bantuan darurat sebesar US$ 50.000 untuk para korban.

Pesan dari Kardinal Cheong itu disampaikan kepada Uskup Agung Osaka Mgr Ikenaga Jun, ketua Konferensi Waligereja Jepang, dan Uskup Agung Tokyo Mgr Okada Takeo.

Tsunami setelah gempa berkekuatan 8,9 skala Richter pada 11 Maret itu menimbulkan kekhawatiran karena bencana itu juga merusak pusat-pusat tenaga nuklir.

Sejauh ini, laporan dari kepolisian menyatakan 1.597 orang tewas dan 1.481 orang hilang di wilayah yang paling menderita bencana itu yaitu di Jepang bagian timur dan Jepang bagian timur-laut.

Sekitar 1.000 mayat ditemukan di pantai di Semenanjung Ojika di Miyagi, tempat yang paling parah terkena bencana tersebut, yang menurut laporan, dari satu kota saja 10.000 orang hilang.

Tanggapan umat Katolik Nepal adalah doa. Dalam Misa hari Sabtu dan Minggu dan para imam dan umat mengheningkan cipta sejenak untuk mendoakan Jepang.

Di Cina tengah, Uskup Xi’an Mgr Anthony Dang Mingyan dan Pastor Stephen Chen Ruixue, direktur Catholic Social Service Center keuskupan, telah mengirim surat penghiburan melalui e-mail untuk teman-teman mereka di Jepang, termasuk warga Cina yang bekerja di sana, para imam Jepang, dan seorang awam yang pernah belajar di Xi’an beberapa tahun lalu.

“Kami turut prihatin dan berdoa bagi keselamatan mereka, dan bertanya apakah ada sesuatu yang bisa kami bantu,” kata Pastor Chen. Keuskupan juga berencana untuk mengadakan Misa requiem bagi mereka yang meninggal. Misa itu akan diadakan tujuh hari setelah gempa, sesuai adat Cina.

Di seluruh Cina daratan, banyak paroki menambahkan doa khusus bagi para korban bencana di Jepang dalam Misa hari Minggu.

Pemerintah Seoul telah mengirimkan tim darurat dengan 102 anggota ke wilayah pesirsir di bagian timur laut Jepang yang paling parah terkena bencana.

Pada 14 Maret, Sekte Budha Korea Jogye mengumumkan akan mengirim US$ 89.000 dan pengiriman 500 relawan.

Pendeta Kim Young-ju, sekretaris Dewan Nasional Gereja-Gereja Protestan di Korea, mengeluarkan pesan yang menyatakan bahwa dia yakin bahwa orang Jepang akan mengatasi bencana besar dengan baik karena mereka telah terbiasa menghadapi berbagai bencana alam.

Pada 14 Maret, dewan Protestan tersebut meminta umat untuk berdoa dan menyumbangkan sesuatu bagi warga Jepang, semoga wilayah yang terkena bencana tersebut dapat segera pulih.

Juga, pada 14 Maret, Salvation Army Korea Territory mengumumkan akan mulai mengumpulkan dana selama sebulan bagi korban bencana di Jepang.

Di Macau, Uskup Jose Lai Hung-seng meminta semua paroki untuk berdoa bagi semua korban gempa di kawasan Asia-Pasifik dalam Misa-Misa hari Minggu.

Uskup Agung Taipei Mgr John Hung Shan-chuan mengatakan hari Sabtu 12 Maret bahwa umat Katolik di Taiwan merasa sedih atas gempa dahsyat yang memporak-porandakan Jepang. Ia menghimbau umat Katolik setempat untuk mulai menggalang dana guna membantu para korban sesegera mungkin, serta berpuasa dan berdoa bagi para korban dalam Misa-Misa sebelum Paskah.

Di Hong Kong, lebih dari 500 umat Katolik telah bergabung dalam sebuah kelompok Facebook yang memohon doa bagi para korban gempa. Ini merupakan tanggapan nyata atas seruan Paus Benediktus XVI dan Uskup John Tong Hon.

Doa untuk para korban yang meninggal dan yang selamat dari gempa dan tsunami Jepang juga dihimbau pada hari Minggu 13 Maret di seluruh gereja di Inggris, tempat Catholic Fund for Overseas Development (CAFOD), cabang Caritas International di Inggris, mengeluarkan sebuah permohonan khusus bagi komunitas-komunitas Pacific Rim yang mungkin juga mengalami kerusakan dalam tsunami tersebut.

Meskipun kerusakan di luar Jepang sangat minim, kata Mike Noyes, ketua program kemanusiaan dari CAFOD, “kita bisa melihat bahwa tsunami tersebut berdampak signifikan di berbagai tempat yang berpotensi menjadi rentan.”

Badan bantuan amal Kristen tersebut mengatakan bahwa mitranya Filipina terlibat mengevakuasi masyarakat pesisir yang rentan sebelum tsunami.

Di Manila, kebocoran radioaktif dan bahan ledakan di sebuah stasiun tenaga nuklir yang rusak menuntut adanya seruan bagi pemerintah untuk mengabaikan rencana baru penggunaan energi nuklir pembangkit tenaga listrik di Filipina.

Uskup Deogracias IƱiguez, ketua Komisi Humas dari Konferensi Waligereja Filipina (CBCP, Catholic Bishops Conference of the Philippines), mengatakan: Gereja terbukti benar dengan terus menentang penggunaan kembali fasilitas nuklir.

“Saya kira pemerintah perlu mengikuti apa yang sedang terjadi di Jepang. … Kita telah lama menentang ha itu karena dampak negatif yang mungkin terjadi di negeri ini,” katanya dalam CBCP News.

Pada Senin 14 Maret, Jepang mengucapkan terima kasih kepada berbagai kelompok dan lembaga Filipina atas pesan simpati mereka dan tawaran bantuan pasca-gempa.

Jepang meminta mereka yang ingin memberikan sumbangan agar bantuan itu diberikan melalui Philippines Red Cross, karena saat ini Jepang tidak memiliki sistem terpadu untuk menerima sumbangan.

Sumber: CathnewsIndonesia