Monday 28 March 2011

Monday, March 28, 2011
2
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Segel Gereja, Segel Kebebasan Beragama. JAKARTA - Di beberapa tempat banyak gereja disegel karena dianggap meresahkan masyarakat. Berbagai syarat administrasi pembangunan rumah ibadah sudah dipenuhi. Izin mendirikan bangunan (IMB) telah dikantongi. Tapi tak jarang para jemaat tak bisa beribadah di tempat peribadatannya sendiri.

Dua di antaranya adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) di sektor perumahan Taman Yasmin, Bogor, dan Gereja GPDI Pangukan, Sleman, Yogyakarta. Dua rumah ibadah umat kristiani ini hingga kini masih disegel.

Di GKI Taman Yasmin, jemaat harus rela beribadah di trotoar depan gerejanya sendiri. Bahkan sempat dibubarkan aparat kepolisian. Di GPDI Pungukan, Pendeta Nico dipaksa untuk menandatangani pernyataan menutup seluruh aktivitas gereja di bawah tekanan ratusan massa, yang disaksikan dan disetujui Anggota Komisi D DPRD Sleman.

Dua kasus ini adalah contoh betapa para aparat pemerintah juga para penegak hukum tak kuasa berhadapan dengan massa kendati mereka menyalahi hukum dan konstitusi. Ya, ini adalah wujud nyata dari tirani mayoritas.

Putusan MA Diabaikan

Demonstrasi menolak keberadaan GKI Taman Yasmin oleh kelompok yang tergabung dalam berbagai organisasi massa Islam hingga Minggu kemarin (13 Maret 2011) masih terus berlangsung. Polisi juga mengamankan sejumlah jemaat yang hendak beribadah di gereja itu, meski rumah ibadah itu masih disegel polisi.

Sekurang-kurangnya, sekitar 500 polisi dari Kepolisian Resor Kota Bogor sejak pagi sudah memblokade jalan menuju gereja dari dua arah. Dua kompi Brigade Mobil pun ikut menjaga gereja tersebut. (Tempo Interaktif, 14 Maret 2011).

Sehari sebelumnya, sekitar pukul 23.00, Pemerintah Kota Bogor menggembok pintu gerbang gereja. Ini bukan terjadi kali ini saja, tapi telah berkali-kali gereja ini disegel. Menanggapi hal ini juru bicara yang juga kuasa hukum jemaat GKI Taman Yasmin, Bona Sigalingging, menegaskan bahwa Pemerintah Kota Bogor telah melakukan pembangkangan terhadap hukum nasional. Demi alasan menjaga situasi kondusif Kota Bogor pemerintah kota itu menggembok gerbang gereja seraya tidak membolehkan jemaat masuk.

“Seharusnya yang mau mengacau yang ditangkap, bukan mengusir kami,” katanya, seperti dikutip Tempo Interaktif.

Proses pembangunan GKI Taman Yasmin dimulai pada tahun 2001. Prosedur pengurusan administrasi pembangunan rumah ibadah mulai dilakukan. Tahun 2006 syarat administrasi telah lengkap. Dua tahun kemudian (2008), GKI Taman Yasmin diresmikan oleh Pemkot Bogor.

Menurut Sarah Simanjuntak, GKI diresmikan dalam arti yang sesungguhnya. IMB dikeluarkan. Wakil Walikota Bogor pun datang untuk mewakili Walikota yang sedang tidak berada di tempat. “Bahkan, dalam pesan tertulisnya Walikota Bogor menyatakan, GKI Taman Yasmin merupakan contoh pendirian tempat ibadah yang baik,” tulis salah satu jemaat GKI Taman Yasmin di mailing list aliansi-kebebasan@yahoogroups.com ini.

Selang beberapa bulan kemudian, lanjutnya, ada pihak-pihak tertentu yang menyatakan tidak setuju dengan berdirinya gereja. Gayung pun bersambut. Walikota Bogor, Diani Budiarto, dengan segera meresponnya. Orang nomor satu di Bogor itu mengirimkan surat yang isinya agar lokasi gereja dipindahkan. Tak cuma itu, Oktober 2008, IMB yang telah dimiliki GKI pun dicabut.

Jemaat GKI tak tinggal diam. Mereka menempuh proses hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Putusan akhirnya mereka dinyatakan menang. Pihak tergugat, Pemkot Bogor mengajukan banding ke PTUN Jakarta. Hasilnya tetap menguatkan keputusan sebelumnya.

Di tingkat Mahkamah Agung (MA) pun tak jauh beda. Pada 9 Desember 2010 lalu, MA memutuskan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemerintah Kota Bogor.

Terkait hal ini, Bona menegaskan bahwa pihaknya hanya akan berpegang pada putusan MA yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Menurut dia, putusan MA lebih tinggi daripada keputusan walikota. “Bogor kan bukan negara sendiri,” katanya.

Ya, Pemerintah Kota Bogor mestinya tak punya pilihan lagi selain menjalankan putusan MA. Tapi sebaliknya, Muspida Bogor telah melakukan rapat untuk menyikapi putusan MA tersebut, 4 Maret 2011. Menurut laporan M. Subhi Azhari di mailing list aliansi-kebebasan@yahoogroups.com, salah seorang yang mendampingi tim kuasa hukum GKI Taman Yasmin yang bertemu dengan Asisten I Pemkot Bogor, 7 Maret lalu, hasil dari Muspida itu adalah Pemkot Bogor akan mencabut Surat Keputusan (SK) Pembekuan IMB GKI Taman Yasmin, dan akan menerbitkan SK baru Pencabutan IMB GKI Taman Yasmin secara permanen.

Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan untuk memelihara keamanan dan ketertiban Kota Bogor. Sekretaris Daerah Kota Bogor, Bambang Gunawan, seperti dikutip Tempo Interaktif, membenarkan bahwa gedung GKI Yasmin terlanjur dianggap meresahkan warga sekitar.

Dengan alasan itu, Pemkot Bogor akan membeli tanah milik GKI Taman Yasmin yang kini mereka segel dan juga menjanjikan akan mengganti biaya pengurusan IMB.

SK Pencabutan IMB tersebut memang baru dalam rencana, tapi nampaknya Pemkot Bogor tidak main-main. Ini adalah alarm bagi para jemaat GKI untuk bersiap diri lebih keras untuk memperjuangkan hak mereka untuk dapat beribadah, yang sejak 10 tahun terakhir terrenggut.

Ini berarti bahwa Pemkot Bogor secara resmi akan mengusir GKI Taman Yasmin dari tempatnya sekarang, dan meminta mereka mencari lokasi lain untuk membangun gereja dari awal lagi. Hal ini, tentu saja, pengusiran yang tak bisa dibenarkan.

Dalil ampuh kristenisasi
Menurut Indro Suprobo di mailing list jejaringantariman-indonesia@yahoogroups.com, ada empat alasan kenapa aktivitas Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Pangukan, Sleman, Yogyakarta, ditutup massa: bangunan gereja tidak memiliki izin; Pendeta Nico dianggap mengganggu keberadaan rumah keranda (bandosa); talut yang dibangun gereja dianggap menyebabkan banjir; dan apa yang dilakukan Pendeta Nico dengan membiayai pendidikan anak-anak muslim dianggap sebagai upaya kristenisasi.

Aktivitas jemaat gereja setempat sudah dimulai sejak tahun 1990. Setelah melengkapi seluruh persyaratan pembangunan rumah ibadah, termasuk tanda tangan dari masyarakat sekitar, bangunan gereja dapat dibangun pada tahun 1995. Sejak saat itu pula, para jemaatnya beraktivitas secara damai tanpa mendapatkan halangan apapun dari warga sekitar. Bahkan, sebagian tanah milik gereja dengan sertifikat atas nama Pendeta Nico dihibahkan untuk bangunan tempat menyimpan keranda milik kampung.

Pendeta Nico juga ikut membiayai pendidikan 11 orang anak yang tidak mampu. Lima orang di antaranya adalah anak-anak muslim. Semua anak muslim yang pendidikannya dibiayai itu hingga hari ini masih tetap muslim, dan tidak pernah mendapatkan pengajaran Kristen sama sekali.

Talut (tempat landai/lereng buatan), pun tak seenaknya dibangun begitu saja di kawasan itu. Pembuatannya berkoordinasi dengan Kepala Dusun setempat.

Ketika gereja itu selesai direnovasi pada Desember 2010, mulai ada protes dari warga. Puncaknya, 16 Februari 2011 lalu, sekelompok massa yang dipimpin oleh seorang ustaz setempat mendatangi kediaman Pendeta Nico. Mereka menuntut agar gereja segera menutup dan menghentikan segala aktivitasnya.

Keesokan harinya, 17 Februari 2011, Pendeta Nico dipanggil Komisi D DPRD Sleman untuk berdialog dengan massa. Namun Pendeta Nico hanya boleh hadir sendirian. Sementara kelompok massa yang berjumlah 200-an itu dihadirkan di kantor DPRD. Ketua Komisi D DPRD Sleman memang yang memimpin pertemuan, tapi seluruh pembicaraan didominasi oleh Ustaz Turmudi. Dialah orang yang mendatangkan massa yang banyak itu.

Dalam kesempatan itu, bukan dialog yang terjadi. Pendeta Nico malah dipaksa untuk menandatangani pernyataan menutup seluruh aktivitas gereja. Jika tidak dituruti, mereka mengancam akan merusak rumah ibadah itu. Bahkan sang pendeta diancam akan mengalami nasib yang sama seperti di Temanggung.

Karena berada dalam tekanan, baik itu dari kelompok massa maupun pihak Komisi D yang berdalih demi keselamatan, maka ia dengan terpaksa menandatangani pernyataan yang tak pernah ia setujui itu.

Terhitung sejak 18 Februari 2011, seluruh aktivitas gereja dihentikan. Bangunan gereja disegel. Papan namanya diturunkan. Hingga hari ini gereja masih dijaga intel.

Dua kasus di atas ini adalah contoh bahwa kaum minoritas harus terus berjuang untuk memperoleh haknya dalam beragama dan beribadah. Hukum dan konstitusi ternyata tak cukup jadi payung dan jaminan kebebasan beragama di negeri yang katanya menjamin dan melindungi kemerdekaan setiap warganya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing penduduknya.

Sungguh ironis di negeri yang secara terang-terangan mendeklarasikan dan menjamin kebebasan beragama dalam Undang-undang Dasar-nya, sebagian besar masyarakatnya, bahkan aparat pemerintah dan para penegak hukumnya, malah merayakan pengekangan, pemaksaan, dan penyelewengan hukum serta konstitusi.

Aparat pemerintah juga para penegak hukum sepertinya hanya peduli pada menjaga stabilitas dan di saat yang sama menyegel dan mempersempit ruang kebebasan beragama dan beribadah. Mereka seharusnya melindungi korban yang terampas haknya untuk beragama dan beribadah. Tapi malah sebaliknya malah melindungi para pelaku dan pelanggar hak kebebasan beragama dan beribadah yang dijamin konstitusi itu.

Ya, inilah nasib minoritas di negeri kita. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah menjadi korban malah disalahkan, dicaci-maki, dan diburu pula. Di sisi lain, para pelaku dan pelanggar hak asasi manusia masih berkeliaran dan akan terus menyiapkan diri untuk kembali menyerang kelompok yang dianggap berbeda. Kita tinggal menunggu daerah mana lagi yang akan bernasib sama seperti di Bogor dan Sleman. (Madina Online)