Monday 11 April 2011

Monday, April 11, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Belajar Toleransi Antar Umat Beragama dari Warga Desa Girikerto di Lereng Merapi.
YOGYAKARTA - Bencana menyatukan manusia dan meniadakan batas. Toleransi yang sudah mengakar bertahun-tahun di Desa Girikerto, lereng Gunung Merapi, membuktikan ketangguhannya saat Gunung Merapi meletus. Agama dan keyakinan tak jadi pembatas, di saat senang maupun susah. Kontributor KBR68H Mustakim belajar banyak soal toleransi dari mereka. Apa saja yang bisa dipelajari di sana?

Posko lintas agama
Posko di kompleks Paroki Somohitan ini adalah satu-satunya posko penanganan bencana Merapi, yang didirikan oleh warga lereng Merapi di Desa Girikerto, Sleman. Posko ini dibangun dan dikelola bersama oleh warga setempat, yang terdiri dari umat Islam dan Katolik.

Nurhuda mengatakan, posko tengah membantu pasokan air bersih bagi mesjid di desanya.

“Tanggap darurat bencana kemarin tiap masjid di kampung saya diberi satu bak air ukuran seribu liter itu memang dikhususkan untuk masjid. Ada beberapa dan setelah kami bicarakan bak air yang membutuhkan siapa kalau memang ada. Terus ada masukan kalau bak ini diberikan ke masjid sekitar sini sampai daerah Ngandong, Turgo, Tritis dikasih semua,” kata Nurhuda.

Bantuan tak hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk umat Katolik. Warga tak ragu menyingsingkan lengan membangun kembali gereja di Desa Girikerto. “Gereja sedang membangun pas kita perbaiki jalan, kita kerjasama. Kita bikin jalan dari gereja juga membantu di gereja juga ada proses renovasi kita juga membantu. Untuk pembukaan renovasi yang lucu yang mendoakan umat Muslim. Kemudian pas gereja ngecor lantai dari ibu-ibu dari kalangan muslim bersama-sama di situ di dalam gereja.”

Agama bukan penghalang bagi warga untuk saling tolong menolong. Adi Kiswanto tampak sedang memperbaiki pipa air yang rusak akibat erupsi Merapi. Menurut Adi, posko ini untuk semua agama. “Warga di sini ada dua kepercayaan, Katolik dan Muslim. Itu selalu kerjasama terus. Rukun.”

Mereka tak hanya rukun hanya karena ada bencana. Dalam kehidupan sehari-hari, keakraban antar agama begitu terasa.

Rukun
Pada suatu malam, warga tampak berdatangan ke sebuah rumah. Di dalamnya terdengar suara orang membacakan ayat-ayat Al Quran. Johannes Pembaptis Soewardi meninggal malam itu karena kecelakaan lalu lintas. Warga tampak memadati rumah almarhum di Desa Girikerto. Sebagian besar warga yang melayat adalah umat Muslim. Di rumah duka, minuman dibagikan oleh tetangga, para ibu yang mengenakan jilbab.

Ketua RW Suharyanto mengatakan, ini hal biasa di desanya, saling membantu antar agama. “Agama saya agama saya, agama situ agama situ. Tetapi dalam kehidupan tetap saling toleran berkeluarga. Pada umumnya kalau di sini kalau yang meninggal non Muslim mungkin yang banyak bergerak itu yang Muslim. Sebaliknya kalau ada warga Muslim meninggal ada urusan kasih berita lelayu dan lainnya itu yang non Muslim.”

Adi Kiswanto, yang beragama Katolik mengatakan, kerukunan tak hanya ditunjukkan dengan saling melayat. Tapi juga saling mendoakan. “Kalau dari Muslim yang mengadakan keperluan entah itu nyewu atau mitung dino satus dino orang Katolik ikut andil tahlilan. Seperti saya juga tiap ada kematian tiap 7 hari tahlilan mesti saya ikut.”

Desa Girikerto memang terkenal dengan sikap toleransi yang kental. Romo Suyatno Hadiatmojo, pastur yang mengepalai Paroki Somohitan mengatakan, umat Islam dan Katolik selalu hidup rukun. “Masyarakat Indonesia itu ga usah mikir yang sulit-sulit lah. Kamu aliran apa aku aliran apa. Kami di sini bedanya umat Katolik sama Islam cuma kalau Islam Jumah ke Masjid kalau katolik Minggu ke gereja selain itu ya hidup bareng. Maka kalau ada orang tanya romo itu paralon untuk orang Katolik saya bilang ga ada paralon Katolik. Nah model kami seperti itu malah menjadi enak bergaul.”

Kerukunan ini sudah mengakar, meski bukan tanpa tantangan. Beberapa kelompok agama pernah mencoba membuyarkan kerukunan mereka. Bagaimana mereka melawan upaya tersebut?

Menjaga kerukunan
Seluruh warga Desa Girikerto bangga dengan kerukunan yang ada di desa mereka. Tetua desa Adi Kiswanto, 70 tahun, mengatakan, selama ia tinggal di sini, tak pernah sekalipun terjadi konflik atas nama agama. “Sejak dulu mas. Karena di sini dulu kan mayoritas Islam sekarang banyak Katolik tapi sama saja. Terus ada lagi adik saya itu dari Budha eh Saptodarmo. Jadi di sini sebagian besar Islam terus katolik, Budha terus ada Saptodarmo.”

Namun bukan berarti desa ini bersih dari upaya-upaya intoleransi. Salah seorang warga Nurhuda menjelaskan, desanya sering didatangi sekelompok orang yang mencoba mempengaruhi warga agar membenci kelompok lain. Orang-orang tersebut berasal dari berbagai daerah, salah satunya dari Kabupaten Magelang. Mereka biasanya datang berkelompok dan mengajarkan kepada warga agar menjaga jarak dengan warga beragama lain karena dianggap mengancam aqidah. Selain itu para pendatang ini juga mengajarkan agar warga meninggalkan tradisi yang selama ini menjadi budaya dan perekat antar warga.

“Di sini memang sering ada orang-orang baru atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama terus yang mau tinggal di rumah warga terus akhirnya tinggal di Masjid. Kita koordinasi dengan perangkat desa dan pedukuhan serta RT. Kita memberi masukan kalau bener-bener mau berdakwah atau mengajak kepada hal-hal yang akan menimbulkan gesekan kita pesen sama pak lurah dan pak dukuh mohon tamu tersebut untuk ditolak.”

Gesekan dari pendatang
Kepala Desa Girikerto, Suharto mengatakan, dia tidak hanya mewaspadai para pendatang yang bermaksud mempengaruhi warga. Dia juga menyeleksi para dai yang hendak mengisi pengajian di desanya. Mereka memastikan dai yang akan ceramah di desanya merupakan dai yang moderat dan tidak mengajarkan permusuhan. Seleksi yang ketat membuat desa ini tidak pernah didatangi dai yang menyuarakan pemusuhan dan membenci kelompok agama lain.

“Kita itu dari temen-temen kalau mau pengajian kan ngomong dulu. Kalau mau cari pembicara kadang saya juga mengarahkan kalau yang kira-kira keras saya kasih masukan jangan sampai dipakai di sini. Intinya kalau pengajian itu kan mencari ketenangan bukan permusuhan.”

Romo Yatno mengatakan gesekan memang seringkali dipicu oleh para pendatang. “Tapi masyarakat menjadi peka sekarang. Kalau ada orang mulai membawa dari luar ke sini, ini begini begini. Sudah Anda pindah saja. Di Garongan misalnya ada seperti itu masjidnya diurus orang sini aja njenengan pindah saja ga usah di sini, di sini sudah baik.”

Kebersamaan
Kebersamaan dan komunikasi yang baik bisa mencegah pengaruh dari luar tersebut. Kembali Romo Yatno. “Ketika warga komunikasi sudah baik kerja bareng sudah baik. Kemudian sudah licin dalam pergaulan sudah tidak mudah tersinggung sudah hapal otomatis ketika ada orang-orang atau kelompok atau isu paling-paling untuk membuat kisruh.”

Salah seorang warga Nurhuda mengatakan, awalnya banyak umat Islam di desanya yang mengkritik aktivitasnya bersama Romo Yatno, yang beragama Katolik. Sebagian warga menganggap kerja sama mereka membantu warga sebagai suatu dosa. Namun setelah dijelaskan kalau ini demi membantu warga, dukungan pun mengalir.

“Terakhir kemarin ada kegiatan bazar di sini menyambut Idul Fitri. Bazar dilaksanakan di Paroki ini. Kebetulan yang terlibat bukan hanya umat Katolik saya sendiri masuk temen saya yang dari Bangunmulyo juga masuk orang Muslim dari Jambusari juga Muslim. Tujuannya bukan untuk umat Katolik tapi untuk semua lapisan masyarakat. Orang yang kemarin keras dan menganggap seperti ini dosa malah sedikit demi sedikit mereka masuk dan mau beli di situ.”

Kunci toleransi
Kepala Desa Girikerto Suharto meyakini, kunci toleransi di desanya adalah mempertahankan adat dan tradisi. “Perbedaan itu tidak ada. Dari dulu masyarakat sudah hidup rukun. Medianya cuma tradisi. Di sini saya istilahnya nguri nguri menghidupkan kembali tradisi yang ada. Kalau di sini ada tradisi saparan. Tradisi saparan semua masyarakat tidak pandang bulu bersama-sama mengucapkan syukur kepada Tuhan yang maha kuasa. Cuma caranya berbeda-beda ada yang kenduri, doa bersama.”

Saparan adalah perayaan tahunan yang diselenggarakan warga desa. Perayaan ini biasanya dilaksanakan pada bulan Sapar menurut kalender Jawa.

Kerukunan yang sudah tumbuh bibitnya, harus terus dipertahankan. Salah satunya dengan menjaga dialog antar warga yang berbeda agama. Di sini, disebut sebagai ‘dialog karya’, kata Romo Suyatno Hadiatmojo. Dialog karya yang dimaksud adalah interaksi antar warga dalam persoalon keseharian mereka misalnya soal pertanian.

“Ketika menanam lombok, komunikasi menjadi lancar. Kita ga ngomomg soal akidah kita ngomong, piye lombokmu. Kami komunikasi di derah ini kan pakai HT kalau harus selalu kumpul kan jaraknya jauh kemudian kendaraan ga ada. Kemudian signalnya juga ikut ngungsi jadi ga pulang. Daripada itu kita pakai HT sore malam kita kontak-kontankan ngomong soal bagaimana mengatasi hama cara merabuk ini ada penyakit ada macam-macam, lalu kita coba praktekkan. Itu malah tidak ada sekat-sekat yang namanya keyakinan agama. Tapi menjadi gerakan bersama maka disitulah namanya dialog karya.”

Mereka pun punya berbagai aktivitas yang dilakoni bersama. Misalnya, menanam pohon saat perayaan desa atau Merti Bumi. Merti Bumi atau selamatan desa merupakan perayaan tahunan yang dilaksanakan warga desa. Tak heran desa ini sangat rimbun dan hijau. Selain di lahan desa warga juga biasa menanam pohon di lereng Merapi untuk merawat sumber mata air.

“Penanaman pohon koyo semut. Tidak ada pohon Katolik tidak ada pohon Islam, tidak ada pohon Budha pokoknya menanam bersama. Ada pohon Mahoni,lalu Manggis, Pala. Terus dari tahun ke tahun sampai sekarang kesempatan-kesempatan Mirunggan. Di daerah sini kan ada perayaan Merti Bumi tiap bulan Safar biasanya Februari. Pertama gerakannya harus penananam pohon, bersih kampung lalu acara dialog budaya pasar malam ada pasar murah.”

Bersih Kampung dan gotong royong menjadi salah satu cara warga untuk merawat kemajemukan dan perbedaan agama diantara mereka. Juga penggalangan dana untuk membenahi saluran air yang rusak pasca erupsi.

“Yuk dalam rangka 10 tahun bencana Merapi wedus gembel kita adakan acara 4 level. Satu ada itu kenduren. Kedua pengajian akbar. Lalu saya mengatakan semua umat muslim harus ikut pengajian, yang urus konsumsi dan tetek bengek orang kristen dan kebatinan. Hari kedua nanti ada misa akbar yang orang kristen harus ikut misa, bagian yang lain temen-temen dari muslim, dan kebatinan. Waktu kenduri yang kebatinan harus ikut semua. Nah infak dan kolekte itu dikumpulkan jadi satu untuk beli paralon.”

Kebersamaan itu juga terus dipupuk dengan barpartisipasi sesama warga dalam perayaan agama. Warga desa Kiswanto menceritakan kebiasaan warga menjelang Lebaran, bisa ikut menjaga kerukunan warga. “Kalau hari Idul Fitri itu kan ada zakat fitrah ada uang dari Muslim itu orang Katolik diberi untuk kas 200 atau berapa untuk orang-orang Katolik. Terus kalau bulan Idul Adha kan ada korban itu orang Katolik andil berapa 25 ribu dikumpulkan untuk beli hewan. Nanti kalau sudah disembelih dagingnya dibagikan.”

Sumber : KBR68H