Sunday, 3 April 2011

Sunday, April 03, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Kristen Malta Bertekad Terus Membantu Pengungsi Libya. VALLETTA (MALTA) - Krisis Libya yang berlangsung saat ini juga dirasakan oleh negara-negara Eropa di sekita Mediterania karena ribuan pengungsi yang juga melarikan diri dari peperangan di Afrika Utara.

Negara di sebuah pulau kecil Malta termasuk yang sedang berjuang menghadapi gelombang manusia yang mencari suaka.

“Saya harus melewati empat hari empat malam di lautan dan beberapa teman saya sedang sekarat di sana,” ujar Muhammad Hussein kepada CBN News.

Hussein meninggalkan istri dan lima anaknya di Somalia dan pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan juga keluarganya. Perjalanan penuh luka itu harus melalui Uganda, Sudan, dan melewati Gurun Sahara sebelum mencapai pantai Libya.

“Terkadang jika saya mengingat perjalanan yang telah saya lalui, sangatlah berbahaya. Saya melihat banyak orang yang mati di Sahara. Saya melihat diri saya,” kenangnya.

Kemudian ia harus melalui perjalanan panjang dengan menaiki perahu ke Malta dan berharap akan kebebasan.

Malta memiliki tradisi panjang sebagai rumah singgah pengungsi. Salah satu yang paling terkenal adalah Rasul Paulus yang terdampar di lepas pantai pada tahun 60 Masehi.

Bedanya, saat ini Malta telah menjadi salah satu negara yang paling padat penduduknya di Eropa. Hal itu berarti ada sedikit sumber daya berharga yang dimilikinya saat ini dibandingkan dulu.

“Anda tidak akan pernah bisa membiarkan seseorang menjadi tunawisma meskipun kami tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menyediakan rumah bagi mereka,” ujar Father Joseph Cassar.

Cassar memimpin pelayanan pengungsi Jesuit di Malta. Ia mengatakan kawanan domba pengungsi saat ini hanya merupakan setetes air dalam ember dibandingkan mereka yang sudah berada di dalam sistem.

“Antara tahun 2002 dan 2009, sekitar 30.000 pencari suaka mencapai Malta dengan perahu kecil, dan sebagian besar dari mereka berangkat dari pantai Libya,” jelasnya.

“Setelah mereka tiba di pulau ini, para pencari suaka akan ditempatkan di dalam tahanan. Dan setelah waktu yang diperlukan untuk prosedur suaka mereka disimpulkan apakah mereka bisa tinggal atau tidak, mereka akan tetap tinggal di tahanan,” tambahnya.

Jika suaka diberikan, mereka diizinkan untuk meninggalkan tahanan, namun tantangan bagi kehidupan baru mereka baru saja dimulai.

Hussein tinggal di sebuah tenda dan bebas untuk pergi mencari pekerjaan. Namun kondisi ini bukanlah apa yang ada di dalam pikirannya ketika ia meninggalkan Somalia.

“Sangat jelas bahwa kehidupan di sini sangat sulit. Di tenda ini saya tinggal dengan lebih dari 20 orang. Sedikitnya empat atau lima di antara mereka menderita TBC,” ujarnya.

“Meskipun mereka dibebaskan dari tahanan dengan perlindungan, memiliki perlindungan internasional di Malta, dan diizinkan mencari pekerjaan, namun dengan SDM yang mereka miliki, seringkali mereka berakhir dengan tidak memiliki pekerjaan dan karena itu tidak mampu hidup mandiri tanpa harus bergantung pada fasilitas,” jelas Cassar.

Amerika telah menyetujui untuk memberikan perlindungan sekurang-kurangnya pada 500 pencari suaka dalam beberapa bulan mendatang, meskipun bagi Malta, angka tersebut dapat memadati negara ini dengan mudahnya setiap kali ada pengungsi yang datang.

Namun orang-orang Kristen di Malta seperti Cassar berkomitmen untuk terus membantu sebanyak mungkin pengungsi yang mereka bisa.

Sumber : CBN