Saturday, 16 April 2011

Saturday, April 16, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Seminar tentang Kekristenan dan Agama-Agama dalam Mensejahterakan Indonesia. JAKARTA - Mensejahterakan bangsa merupakan tugas semua pihak, tanpa terkecuali termasuk gereja Tuhan di Indonesia. Seminar dengan tema "Kekristenan dan Agama-Agama dalam Mensejahterakan Indonesia, Khususnya Maluku", digelar di Graha Bethel, Jakarta (28/3).

Membuka acara, Ketua Umum PGLII Pdt. Dr. Nus Reimas menyampaikan sebuah refleksi Theologis. Ia membahas bagaimana membangun Maluku yang kaya dengan keindahan alam dan lain-lain, sembari mengutip nats Kejadian 1:1, Yohanes 5:17.

Dari nats tersebut, Ketum PGLII ini menjelaskan, Allah memerintahkan semua manusia untuk bekerja (Kejadian 3:17-19). Mandat ini dikenal dengan mandat ilahi untuk membangun (mandat kultural), tanpa melihat apa agama seseorang. "Persaingan semakin ketat, jika seseorang tidak bekerja maka ia bisa tertinggal," ujarnya.

Menjelaskan tentang posisi orang percaya, Pdt. Nus mengatakan bahwa mereka menerima mandat pembaharuan (mandat spiritual). Setelah itu, mereka dan gereja harus terpanggil secara pro aktif untuk melakukan pembaharuan.

Ia menggambarkan secara ringkas, bagaimana Allah memerintahkan bangsa Israel agar tetap mengusahakan kesejahteraan dimana mereka tinggal sebagai orang tawanan (Yeremia 29:7).

Kondisi bangsa Israel menurutnya, pada saat pembuangan I (597 SM) tidak ada Bait Allah, korban bakaran, tetapi Tuhan tetap berbicara kepada mereka (Yeremia 29:4-6). "Jadilah pembawa damai sejahtera (peace shooters) bukan sebaliknya (trouble shooters),"ujarnya.

Khusus mencermati seputar peristiwa yang terjadi di Indonesia, Ketum PGLII ini mengatakan, persoalan bangsa Indonesia tidak bisa diselesaikan secara politis. "Lakukanlah doa syafaat bagi bangsa ini," katanya. Ia prihatin dengan kondisi penurunan jumlah jemaat di negara maju seperti Eropa, Amerika dan Korea Selatan.

Bicara dalam konteks Maluku kini, Pdt. Nus mengajak peserta seminar untuk mengusahakan kesra di sana dengan langkah-langkah : Pertama, menggali potensi yang ada seperti wisata alam, laut dan rempah-rempah yang kini menghilang.

Kedua, selain menggali potensi, Pdt. Nus mengingatkan bahwa membangun bangsa tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. "Lakukan jejaring dengan pemerintah, lintas agama, pengusaha, birokrat dan lain-lain.

Ketiga, kredibilitas (dapat dipercaya). Ia prihatin, saat ini banyak pemimpin negara dan gereja yang kehilangan kredibilitas. Integritas harus dibangun atas dasar kebenaran Firman Tuhan. "Banyak orang pintar tetapi mereka tidak mempunyai integritas, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Keempat, kreatifitas harus ditingkatkan karena saat ini era globalisasi. Info dan teknologi berkembang dengan cepat. Kelima, Go beyond the border. Aplikasi dari paparanannya, untuk membangun bangsa, lakukanlah perencanaan dengan tujuan yang benar, persiapkan segalan sesuatu dengan doa, lakukan kerja dengan pemikiran positif.

Pembicara berikutnya ialah Prof. Dr. Hendrik E. Niemeijer, seorang peneliti asal Belanda memaparkan hasil risetnya dengan judul "Malukan Indentity and Protetestantization in the 17 th Century" (Identitas Maluku dan Proses Protestanisasi pada Abad ke 17).

Mengawali paparannya, Hendrik menceritakan kronologis secara ringkas perihal masuknya Kekristenan ke Maluku. "Belanda masuk ke Nusantara untuk berdagang dan perang melawan Portugis. Mereka tiba di Ambon pada tahun 1605," ujarnya.

Keterlibatan tentara Belanda yang ada di kapal untuk berperang melawan Portugis (Porto) , menurut sejarah hal itu dipicu oleh permohonan Raja setempat (Hitu). "Pasukan Belanda akhirnya merebut benteng Porto dengan mudah. Mereka (Porto)semuanya beragama Roma Katolik," katanya.

23 Februari 1605, merupakan hari bersejarah, pasalnya, dua orang yang bukan Pendeta tetapi mereka tertarik untuk melayani, memimpin ibadah di benteng tersebut. "Hari itu merupakan hari pertama pelayanan ibadah gereja Protestan di Maluku," tegasnya.

Dr. Hendrik menceritakan ulang, satu hari setelah ibadah tersebut, 23 Raja-raja setempat menghadap Admiral (Jenderal) Angkatan Laut di armada kapal perang Belanda. Mereka menyatakan diri tunduk kepada Kerajaan Belanda. Mereka kuatir kalau kekuatan Porto di Malaka (Malaysia sekarang) akan datang ke Maluku untuk menyerang balik Kerajaan Hitu dan kerajaan setempat. Hamba Tuhan pertama kali yang ditempatkan di Maluku waktu itu dikirim dari pulau Labuhan Bacan.

"Fakta menunjukkan, ketika Raja-raja Hitu masuk menjadi pengikut Protestan, maka rakyat mereka mengikuti langkah sang pemimpin", ujarnya. Meskipun demikian, dalam kurun waktu kira-kira 200 tahun, hanya ada 200 Pendeta di Ambon dan Kepulauan Banda. Dr. Hendrik menilai, secara angka, jumlah itu sangat sedikit.

Dari sisi hostoris, peneliti asal Belanda ini menayangkan foto-foto "Tempo Doeloe" tata letak gereja (interior) pada tahun 1600-an. Selain itu, ia menayangkan surat-surat kuno yang ditulis oleh para majelis dan hamba Tuhan pada masa itu.

Peristiwa bersejarah lainnya, yakni Daniel Brouweris di Pulau Banda menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke bahasa Melayu Ambon pada tahun 1668. Kesimpulan Dr. Hendrik, Raja dan rakyat pada waktu itu masuk Protestan karena faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik, bukan berkaitan dengan keyakinan (iman).

Sosiolog dan guru besar UI (Universitas Indonesia), Tamrin Amal Tamagola memyampaikan presentasinya dengan judul "Kebangsaan dan Kemanusiaan dalam Hempasan Badai Komunalisme". Tamrin mengatakan, Indonesia kini dalam kondisi genting dan kritis. Negara ini tidak jelas, apakah negara sekuler atau negara agama.

Dari hasil penelitiannya, agama apapun di tanah air memberikan dampak positif bagi bidang pendidikan dan kesehatan. Artinya, lokasi-lokasi misi (penyiaran) aktif agama apapun, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat siknifikan (bagus).

Tentang sejarah pendidikan di Maluku, Tamrin menginfokan, atas dasar risetnya di Australia, sistem pendidikan Barat pertama kali masuk ke Maluku Tenggara pada tahun 1215 dibawa oleh Misionaris asal Porto yaitu Franciscus Xaverius.

Selanjutnya, ia membahas tentang makna kata "bangsa". Kata itu ia definisikan sebagai masyarakat yang memiliki pengalaman sejarah yang sama. "Rasa keasatuan, kebangsaan harus dipelihara (dirawat) dari waktu ke waktu," ujarnya. Ia menyayangkan aktifitas sekelompok orang tertentu yang menafsirkan agama tertentu secara sempit. Hal ini berakibat menghasilkan dogma yang sempit juga.

"Ancaman" serius RI saat ini menurutnya ialah agama dijadikan ideologi politik. Tentang tema, komunalisme berkaitan dengan adat dan agama. Dalam hal ini, menurutnya, keputusan dibuat oleh pemimpin atau tokoh adat (agama). Hal ini berkaitan dengan komunalisme yang berbasis suku atau agama.

Guru besar UI ini menceritakan, pengalaman uniknya ketika ia mengunjungi satu desa di luar pulau Jawa. "Ada pohon besar sebagai perbatasan antara agama A dan agama B. Keduabelah pihak tidak diperkenankan untuk melintas wilayah masing-masing. Di tempat lain, ia menemukan sebuah jembatan kecil, sejauh satu kali kaki mendayung sepeda, menjadi perbatasan antara agama A dan B. Acara ini juga dihadiri Drs. Andre Manusiwa dari GPM (Gereja Protestan Maluku) dan sejumlah tokoh dan undangan.

Sumber: GBI Kapernaum