Monday 4 April 2011

Monday, April 04, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Umat Kristiani di Sei Rumbai Belum Diijinkan Beribadah.
DHARMASRAYA (SUMBAR) – Pada tahun 2002, kapel Stasi Sungai (Sei) Rumbai dari Paroki Santa Barbara Sawahlunto dibakar massa yang menolak ada kegiatan rohani umat Katolik, bahkan Wali Nagari (kepala desa) mengeluarkan surat yang isinya melarang umat non-Muslim yakni Katolik dan Protestan untuk melakukan ibadah di sana.

Keadaan itu masih bertahan hingga saat ini. Seorang dari Sei Rumbai di Kabupaten Dharmasraya, Propinsi Sumatera Barat, menyatakan: ”Untuk hidup bersosial dengan non-Muslim, Yes!” Namun, lanjutnya, mereka belum bisa menerima masyarakat non-Muslim (Kristen) mengadakan ibadah di daerahnya.

Pernyataan itu diungkapkan oleh seorang peserta menanggapi pokok pikiran yang disampaikan dalam acara Kunjungan dan Silaturahmi Tim Fasilitasi Kerukunan Umat Beragama (KUB) Propinsi Sumatera Barat dengan jajaran pemerintahan Nagari dan seluruh kecamatan serta tokoh-tokoh agama di Kabupaten Dharmasraya.

Keuskupan Padang adalah salah satu anggota Tim Fasilitasi KUB Propinsi Sumatera Selatan. Anggota tim itu adalah Bina Sosial Kantor Gubernur, Kesbanglinmaspol, Kejaksaan, Kementrian Agama, Polda Sumatera Barat, FKUB Propinsi dan ormas keagamaan seperti MUI Sumatera Barat, Keuskupan Padang, dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Sumatera Barat.

Dialog di ruang rapat Kantor Bupati Dharmasraya di Pulau Punjung, 22 Maret, yang dibuka dan dihadiri Sekda Kabupaten Dharmasraya, Busra, juga mendorong agar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Dharmasraya segera dibentuk. Lebih dari 75 peserta menghadiri pertemuan itu, namun hanya seorang dari mereka beragama Katolik, yakni seorang guru dari Sawahlunto

Jumlah umat Katolik di kabupaten perbatasan antara Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Jambi ini lebih kurang 150 jiwa. Mereka tersebar di tiga tempat. Sei Rumbai memiliki sekitar 100 umat, Sikabau 20 umat, dan Sitiung, wilayah transmigrasi (bedol deso) dari Wonogiri yang terkena proyek Waduk Gajah Mungkur, sekitar 30 umat.

Sei Rumbai dan Sikabau masuk dalam wilayah Stasi Sei Rumbai, Paroki Santa Barbara Sawahlunto, Keuskupan Padang, sedangkan Sitiung dilayani oleh Paroki Santo Paulus Muara Bungo, Keuskupan Agung Palembang.

Setelah pembakaran kapel Stasi Sei Rumbai di tahun 2002, umat Katolik beribadah “sembunyi-sembunyi.” Beberapa keluarga setiap Minggu berkumpul untuk beribadah, karena untuk pergi ke gereja paroki di kota Sawahlunto mereka harus menempuh perjalanan puluhan kilometer.

Menanggapi pelarangan itu, Windy Subanto, utusan Keuskupan Padang dalam tim itu mengatakan dalam pertemuan itu bahwa kebutuhan beribadah dan tempat ibadah menjadi kebutuhan dasar setiap umat beragama.

”Kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dijamin oleh konstitusi dan dokumen HAM internasional,” tegas aktivis interfaith dalam Komisi HAK Keuskupan Padang yang aktif sehari-hari dalam komisi komunikasi sosial di keuskupan itu.

Adalah wajar kalau umat beragama memiliki tempat ibadah dan menjalankan kewajiban agamanya, lanjut satu-satunya anggota bergama Katolik dalam tim yang berkunjung itu. ”Melarang umat Kristiani mendirikan tempat ibadah dan beribadah sesuai agamanya, bukan hanya menghilangkan hak mereka, tetapi telah terjadi pelanggaran atas hak asasi terhadap mereka.”

Dia percaya, kalau kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, pasti akan menimbulkan masalah. ”Sudah sewajarnya ada tempat ibadah bagi umat non-Muslim, yaitu Katolik dan Protestan, karena mereka bagian dari warga bangsa ini,” katanya.

Dia meminta agar pengalaman buruk pembakaran tempat ibadah umat Katolik oleh massa di masa lalu dijadikan pelajaran berharga, dan jangan sampai terjadi di masa kini dan mendatang. ”Kalau ada rumah ibadah bagi umat Katolik, umat akan berkumpul dan masyarakat serta pemerintah akan lebih mudah melakukan pembinaan dan pengawasan,” jelasnya.

Pendeta Afollo Waruwu menambahkan, kalau umat beragama, termasuk umat Kristiani tidak dibina “bisa liar.” Tempat ibadah, katanya, menjadi salah satu tempat untuk melakukan pembinaan umat beragama.
Kondisi saat ini, di tengah kehidupan yang makin sulit, meski pembinaan dilakukan, selalu ada umat yang tidak hidup sesuai dengan ajaran agama. “Apalagi, kalau umat beragama tidak dibina, karena tidak ada tempat untuk pembinaan itu,” katanya.

Pertemuan sehari itu tidak menghasilkan titik temu dan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi umat Katolik. Menanggapi hal ini, Ketua Tim KUB Syamsuir MM mengatakan siap memfasilitasi masyarakat untuk duduk bersama, karena ”bagaimana pun, tidak ada satu tempat pun di republik ini yang tidak bisa menerima kehadiran masyarakat lain di tempatnya.”

Bila perlu, katanya, duduk bersama itu dilaksanakan di malam hari, karena di siang hari masyarakat sibuk bekerja untuk mencari nafkah. “Kita rencanakan dengan lebih matang kegiatan tersebut untuk menemukan jalan keluar terbaik,” katanya.

Sumber: Pena Indonesia