Tuesday, 19 July 2011

Tuesday, July 19, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pemerintah Tolak Permintaan Pembangunan Gereja di Keuskupan Kurunegala. COLOMBO (SRI LANKA) - Pemerintah Sri Lanka telah menolak permintaan seorang uskup untuk membangun gereja baru di keuskupannya, dengan alasan tidak mendapat restu dari umat Budha setempat.

Kemarin Menteri Agama menulis surat kepada Uskup Kurunegala Mgr. Harold Anthony Perera, memberitahukan kepadanya bahwa pemerintah tidak bisa memberikan ijin karena hal itu akan merusak hubungan antara umat Buddha dan Katolik di Hendiyagala dekat Pannala.

“Mereka mengatakan mereka tak bisa memberi ijin karena umat Buddha berkeberatan,” kata Uskup Perera.

Ia mengatakan akan mengajukan banding kepada pemerintahan pusat setelah otoritas setempat di Pannala sebelumnya telah menolak permintaan serupa.

Menurut uskup Parera, gereja itu untuk menggantikan sebuah bangunan sementara yang dibangun tahun 1997 untuk lebih dari 100 keluarga Katolik, dan sudah terbakar pada 13 Mei.

Umat Katolik menduga kaum ekstremis Buddha bertanggungjawab atas pembakaran gereja dan pelemparan Patung St. Maria ke sungai. Patung itu ditemukan kembali pada 3 Juli.

Keputusan pemerintah itu dikeluarkan menyusul pembahasan alot antara umat Buddha dan Katolik di kantor kementrian itu pada Selasa, termasuk sejumlah biksu dan pastor, untuk mencoba menyelesaikan masalah itu.

Pertemuan itu diadakan setelah kementrian itu menerima laporan dua pemerintahan setempat yang menjelaskan mengapa mereka menolak rencana uskup itu.

Menurut M. S. Kapukotuwa, pejabat kementrian itu, dalam pertemuan itu umat Buddha kembali menegaskan penolakan mereka atas rencana pembangunan gereja di sebuah desa yang mayoritas beragama Buddha.

Penolakan keras itu membuat para biksu beradu argumen sengit dengan para imam dan pejabat, kata pembantu sekretaris senior dari Bimas Buddha itu.

Alasan utama penolakan mereka adalah kecurigaan bahwa Katolik akan melakukan Kristenisasi terhadap umat Buddha, tambah wanita itu.

Pastor Linus Mcleod, dari paroki setempat, membantah hal itu kemarin, dan mengatakan bahwa 100 keluarga Katolik yang tinggal di wilayah itu membutuhkan bangunan yang permanen.

“Jika mereka tidak memiliki sebuah gereja mereka harus berjalan ke Nalawalana yang berjarak lebih dari empat kilometer. Beberapa dari umat sudah lanjut usia dan tidak bisa berjalan kaki ke sana,” katanya.(Cathnews Indonesia)