Friday 29 July 2011

Friday, July 29, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Status Tokoh Gereja di Pegawai Pembantu Pencatat Perkawinan (P4) di Surabaya, Memprihatinkan.
SURABAYA (JATIM) - Problematika keberadaan dan kejelasan status tokoh agama sebagai Pegawai Pembantu Pencatat Perkawinan (P4) di Surabaya, mengundang keprihatinan tersendiri bagi Stefanus Malole, 72 tahun, salah satu warga gereja yang lama mengabdikan dirinya sebagai P4.

Ditemui reporter pustakalewi.net di rumah kediamannya di kawasan Pucang, Surabaya, Jumat siang (22/07/2011), Malole mengungkapkan awal pembentukan P4, bagaimana perjalanannya sebagai pembantu pencatat perkawinan, sampai keprihatinannya terhadap status P4 di Surabaya.

"Jadi pemuka-pemuka agama diminta waktu itu, menyiapkan pemuka agama untuk mencatatkan perkawinan. Kepada gereja diminta,lalu gereja mengusulkan orang-orang yang bisa ditunjuk. Kalau waktu itu saya masih di tes P4, UU, bikin pernyataan harus mengerti UU Perkawinan.", begitu pria bernama lengkap Stefanus Origenes Albertus Malole ini memulai perbincangannya.

Lebih lanjut, Malole menuturkan proses berikutnya adalah gereja mengusulkan kepada kantor agama kabupaten/kotamadya, untuk kemudian naik ke tingkat kanwil agama Jawa Timur. Sebelum nanti muncul surat keputusan dari Gubernur ada pertimbangan dari Dispenduk atau kantor catatan sipil.

Proses yang panjang ini untuk menjamin bahwa tujuan utama pembentukan P4 dalam memperlancar dan meningkatkan kualitas pelayanan perkawinan, terutama bagi umat non-Muslim, bisa tercapai secara maksimal. Selain umat Kristen yang ada petugas P4,juga ada yang dari umat Hindu.

Setelah memperlihatkan berkas-berkas pencatatan perkawinan yang telah dilayaninya dan telah menembus angka 1100, pria kelahiran Ruteng Flores ini, mengungkapkan keprihatinan tersendiri terhadap kejelasan status P4 di Kota Surabaya.

"Saya memulai 1993, sampai sekarang, dan terakhir sampai Februari 2012. Tapi mulai bulan bulan Juli 2009, setelah diangkatnya kepala yang baru (Drs. Kartika,ed.) dia itu berpedoman pada undang-undang catatan sipil (UU Adminduk 23/2006) yang mulai berlaku penuh 2008. Dianggap semua dengan diberlakukannya UU ini, maka UU/peraturan yang berlaku sebelumnya tidak berlaku, termasuk kita. Tapi caranya kurang benar, tidak boleh masuk, hanya sampai satpam", begitu keluh panjang warga jemaat GPIB ini.

Malole melanjutkan,"Ketika menghadap dia, dia berkata you harus menghadap gubernur. Tiga bulan kemudian kita boleh mengurus tapi tidak boleh masuk. Kemudian meningkat, tidak boleh ngurus dan tidak boleh masuk. Sampai terakhir 15 Desember 2010, tidak boleh bersidang".

Ketidakjelasan status dan kurang lancarnya komunikasi ini membuat tokoh agama baik itu majelis maupun pendeta yang sudah ditunjuk menjadi P4 berdasarkan SK Gubernur tidak dapat melaksanakan tugasnya. Keterangan yang sudah didapat dari Gubernur memang urusan pencatatan perkawinan, sesuai UU Adminduk menjadi kewenangan kota/kabupaten. Tapi petugas yang sudah diangkat jadi P4 sampai batas waktu 2012, seperti dalam kasus Surabaya, bisa terus melaksanakan tugasnya sampainya SK-nya berakhir.

Berdasar keterangan Malole juga, keberadaan petugas P4 di daerah lain Jawa Timur masih bisa melaksanakan tugasnya secara lancar, bahkan pihak dispenduk capil setempat juga merasa terbantu karena terbatasnya tenaga pencatat perkawinan.

"Banyak selain di luar Surabaya. Seperti saya diangkat bersama Mojokerto. Yang banyak di Kediri, Blitar, dan Madiun. Bahkan di Blitar, hampir setiap gereja punya petugas P4", ujarnya. (Pustakalewi)