Tuesday 5 July 2011

Tuesday, July 05, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Tokoh Gereja di Tanah Papua Tekankan Dialog Jadi Sarana Mendamaikan Masalah Papua. JAYAPURA (PAPUA) – Gereja-gereja di Papua memiliki peranan yang besar dalam perjalanan kehidupan dan sejarah masyarakat Papua, baik gereja Baptis, gereja Injili, gereja Reformasi, gereja Pentakosta, gereja Katolik maupun gereja Advent yang kesemuanya ini merupakan kesatuan dari umat Kristen baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat.

Pengaruh itu pula yang terlihat nyata saat pembukaan Konferensi Perdamaian Tanah Papua yang digelar di Auditorium Uncen yang diseleggarakan oleh Jaringan Damai Papua, pada Selasa (05/07/2011) dan akan berakhir pada Kamis (07/07/2011) mendatang. Dihadiri oleh 500an perwakilan warga asli dan masyarakat sipil Papua dari kabupaten dan kota se Tanah Papua yang kebanyakan berasal dari kalangan adat dan gereja.

Sepanjang pembukaan dan hari pertama Konferensi,intrupsi dan debat banyak berasal dari kalangan adat dan gereja yang menekankan agar konferensi ini dapat menghasilkan sebuah kepastian dikalangan masyarakat Papua dan pihak-pihak yang peduli dengan permasalahan Papua. Terasa pula begitu eratnya pernyataan dan sikap tokoh gereja yang sejalan dengan keinginan mayoritas umat yang menginginkan kebenaran dan kejujuran dalam menciptakan kedamaian di tanah Papua.

Uskup Jayapura, Mgr Leo Laba Ladjar,OFM saat memberikan ceramah sesi kedua mewakili Tokoh Agama menyatakan bahwa umat dan pemimpin gereja beserta umat beragama yang lainnya sangat mengimpikan slogan ‘Papua Tanah Damai’ yang walaupun masih jauh dari kenyataan, diharapkan dapat diterapkan ditanah Papua secara menyeluruh dan disegala aspek

Walaupun perspektif tentang ‘damai’ bagi antarumat beragama beragam, namun pada umumnya kedamaian itu mengarah kepada hubungan antara manusia dan Tuhan yang adalah penyelamat dan pembawa kedamaian bagi manusia. “Allah yang Maha Tinggi adalah juga Allah penyelamat umat manusia, Ia turun kebumi sebab Ia peduli dengan umat manusia. Kekuasaan Allah bagi umat Kristen dapat terlihat nyata lewat Inkarnasi Yesus Kristus yang turun kebumi, yang bertujuan mengangkat harkat manusia yang jatuh dalam dosa, yang rapuh dan tertindas kepada semangat kebangkitan diri dan maju dengan penuh pengharapan” ujarnya.

Ia juga menekankan agar warga Papua dapat memandang kedamaian dan menyelesaikan masalah Papua dalam berdialog dengan bertumpu pada Tuhan, sebab tanpa itu warga Papua dapat dengan mudah tergerus dan mengarah ke sekulerisme yang menilai dirinya dapat mengurus dan menyelesaikan tiap permasalahan dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri tanpa berpaut pada Tuhan. “Cara hidup itu tertutup dan tidak bergantung pada Allah, dengan pencarian kesejahteraan sendiri dan mengarah ke hal duniawi berakibat pada tertutupnya hubungan antara manusia dan Allah, sehingga kedamaian holistik tidak tercapai ”katanya yang juga menjelaskan bahwa orang sekular sangat menolak agama dengan membenarkan diri berdasar alasan bahwa agamalah yang menjadi pemicu peperangan, pembunuhan ,kekerasan dan terorisme.

Pada akhir ceramahnya ia juga bertutur agar dana otonomi khusus yang selama ini masih dipakai sebagai sarana perebutan jabatan dan kekuasaan oleh oknum pejabat yang rakus harta dan nama dapat diberikan kepada orang-orang dan pihak-pihak yang sangat membutuhkannya, sambil juga meminta hadirin agar melaksanakan ajaran agama dengan tindakan yang kongkrit dan penuh dialogis. “agama adalah melakukan sesuatu yang kongkrit bukan formalism dan munafik!” tandasnya.

Selain Uskup, hadir pula Pendeta Socrates Sofyan Yoman dari Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP). Ia selama ini telah banyak bersuara meneriakan penderitaan warga dan jemaat yang digembalakannya.

Saat menyampaikan ceramah yang berjudul “Ketidakadilan dan Kepalsuan Sejarah Integrasi Papua ke dalam Wilayah Indonesia melalui Papera 1969”, dengan gamblang ia menyatakan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan Papua, semua pihak haruslah berkata benar, jujur dan tidak boleh munafik “jangan kibas asap, tapi padamkanlah api” katanya.

Ia juga memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis yang memberikan bahan perenungan atas akar permasalah Integrasi Papuake Indonesia dengan menyajikan uraian beberapa tulisan yang dikutip selama dan sesudan peristiwa Papera 1969 oleh media massa, perwakilan PBB, akademisi, data rahasia, serta dari hasil wawancara narasumber.

Pada kesimpulannya ia menyatakan agar dialog damai tanpa syarat antara pemerintah pusat dan masyarakat asli Papua dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral harus dilakukan. Pengertian tanpa syarat yang ia maksudkan adalah dialog yang tidak berbicara tentang Papua merdeka dan juga tidak dalam bingkai NKRI. “Dialog jujur dan setara harus dalam keranga baru yaitu diluar konstruksi Papua merdeka dan diluar kerangka Indonesia” ujarnya. Sebab dengan menggunakan kerangka baru itu masalah Papua dapat menemukan jalan penyelesaian yang menyeluruh dan bermartabat serta terhormat demi mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi permanen antara Papua dan Indonesia.

Sumber : Tim PPGI