Friday 19 August 2011

Friday, August 19, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Merayakan Kemerdekaan Beragama di Rasa Dharma, di Gang Pinggir Semarang.
SEMARANG (JATENG) - “Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada Aku, ia tidak akan mati…” Suara Romo Raymundus Sugihartono Pr memecah kesunyian gedung pertemuan Rasa Dharma, di Gang Pinggir Semarang, Rabu (17/08/2011).

Misa arwah yang diikuti belasan jemaat dari Gereja Katolik Kebondalem itu berlangsung di antara kepungan asap dupa hio yang memenuhi gedung. Lantunan lagu-lagu pujian ikut membumbung mengisi seluruh sudut ruang gedung. Usai misa arwah dari jemaat Katolik, sekelompok pemuda Muslim dari IAIN Walisongo Semarang segera mengambil tikar lalu menggelarnya di tengah-tengah ruangan.

Kelompok pemuda Muslim itu pun kembali menaikkan doa dan menyuarakan ayat-ayat suci Alquran. Selanjutnya, Made Sunaryo, pemuka agama Hindu menyambung doa umat Muslim yang baru saja selesai dengan serangkaian puja bakti dan bersembahyang bagi para arwah yang sudah meninggal.

“Bagi kami, ini momentum yang tepat untuk memperingati kemerdekaan Indonesia dengan mengirimkan doa-doa bagi para pahlawan yang telah gugur karena membela bangsa,” tutur Zainul Adzvar, pemimpin doa umat Islam, yang juga Dosen IAIN Walisongo.

Kegiatan doa bersama itu sebenarnya merupakan rangkaian acara King Hoo Ping, yakni sembahyang bagi para arwah yang dilakukan lintas agama. Selain Katolik, Islam, dan Hindu, turut hadir dalam acara itu umat Buddha, Tao, Kristen, dan tentu saja Kong Hu Cu sebagai penyelenggaranya.

“Sembahyang King Hoo Ping ini rutin kami lakukan setiap akhir bulan ke tujuh Imlek dengan tujuan penghormatan kepada arwah leluhur, juga merupakan perwujudan dari perilaku berbakti,” kata Indriani, Sekretaris Perkumpulan Rasa Dharma.

Perilaku berbakti kepada leluhur inilah yang kemudian bebas diterjemahkan para pelaku doa lintas agama. “Menurut keyakinan kami, bukan untuk arwah yang telah meninggal, namun lebih kepada keluarga yang ditinggalkan, bagi penerus bangsa ini,” jelas Pendeta Djoko Poernomo, Gembala Sidang Gereja Isa Almasih Semarang.

Karena momentumnya yang bertepatan dengan perayaan kemerdekaan RI ke-66 ini, sebagian besar para pemuka agama yang hadir sepakat untuk berdoa bagi kelangsungan bangsa.

Sama Indah
“Saya kira tidak ada yang salah dengan doa lintas agama ini, karena mendengarkan doa agama lain itu sama indahnya dengan doa yang kita tujukan pada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Harjanto Halim, Ketua Perkumpulan Rasa Dharma.

Lebih lanjut Harjanto menyatakan, makna berbakti bisa dijabarkan pada pengertian bakti kepada negara. Penghormatan kepada leluhur dan kepada siapa pun yang dianggap berjasa dinilai perlu dikenang dan dilestarikan lewat perilaku anak bangsa yang penuh bakti pula.

“Zhong ie Qian Ciu, setia sampai seribu musim yang diwujudkan lewat bekerja, hormat kepada orang tua, leluhur, pahlawan, dan memelihara nilai-nilai kebersamaan bahwa kita dilahirkan dari bumi pertiwi yang sama,” lanjutnya. Meski King Hoo Ping diadakan oleh kalangan Kong Hu Cu, dalam bingkai rasa kebangsaan yang sama ternyata dimaknai sebagai proses belajar tenggang rasa dalam praktik sesungguhnya.

Errika, gadis Jawa tulen, mahasiswa pascasarjana ilmu komunikasi, sengaja datang membuktikan undangan dari salah seorang rekannya. ”Bagi saya ini sangat positif, terutama bagi orang yang mau belajar mengenal dan bertoleransi terhadap agama lain,” tuturnya.

Sebagai pemeluk agama Katolik, Errika bahkan secara spontan mengambil bagian dalam misa arwah yang digelar di acara itu. Demikian pula dengan Mohammad, mahasiswa IAIN yang ikut datang. Ia menilai cara ini tepat untuk proses pembelajaran, terutama untuk menanggulangi radikalisme yang banyak terjadi.

”Di kampus juga sering diadakan kegiatan live in dan diskusi lintas agama namun format acara seperti ini bagi saya penting untuk memahami titik temu spiritual agama dan bersama-sama menuju kedamaian bangsa,” terangnya.

Saat acara diakhiri, makanan mengalir dari dapur untuk seluruh orang yang ada di gedung itu, dan Indriani pun meminta maaf kepada kalangan Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. ”Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran seluruh sahabat yang ikhlas melayani hari ini, semoga Allah swt menerima amal baik kita,” tutur Indriani mengemas ucapannya dengan gaya bahasa Islami.

King Hoo Ping yang bertepatan dengan 17 Agustus setidaknya mampu menjadi momentum pembelajaran bagi seluruh warga negara ini, untuk terus-menerus mampu mempraktikkan nilai-nilai persatuan Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri bangsa ini.(Sinar Harapan)