Tuesday, 23 August 2011

Tuesday, August 23, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Papua Semakin Tidak Kondusif Pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) International Lawyer for West Papua (ILWP) di London.
JAKARTA - Para tokoh Papua dan akitivis mengatakan situasi di Papua semakin tidak kondusif pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) International Lawyer for West Papua (ILWP) di London, Inggris, awal Agustus ini.

Namun mereka juga mengingatkan agar orang Papua, terutama generasi muda agar bersikap bijak dan tidak terpancing oleh hasil KTT, yang antara lain merekomendasikan agar diadakan referendum bagi Papua.

“Ketika media di Indonesia mem-blow up KTT ILWP di London situasi di Papua tidak kondusif,” kata seorang tokoh Papua, Yonas Nussy, dalam diskusi publik “Situasi Politik Papua Pasca ILWP” yang diadakan pada 22 Agustus 2011 di TIM, Jakarta Pusat, dan dihadiri oleh 100 peserta.

KTT dengan tema West Papua: the Road to Freedom itu digelar oleh dua lembaga solidaritas Papua – Free West Papua Campaign dan International Lawyers for West Papua – di Oxford, Inggris, pada 2 Agustus, dan dihadiri 15 warga Papua yang tinggal di luar negeri.

“Maka kami menghimbau orang Papua terutama generasi muda untuk bersikap bijak agar jangan sampai kita menjadi korban,” kata Nussy.

“Istilah KTT memicu pergolakan di Papua meningkat,” kata Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamaian.

Orang Papua harus hati-hati karena di Papua adalah wilayah yang dijadikan proyek militer setelah Timor Leste memilih berpisah dari Indonesia dan Propinsi Aceh Darusalam sudah damai, katanya.

Menurut Nicolas Simion Messet, tokoh Papua dan mantan anggota OPM, yang dibahas dalam KTT di London adalah terkait proses integrasi tahun 1969 yang bermasalah secara hukum dan politik.

Agus Kosay, peserta, mengatakan, pasukan TNI semakin banyak di Papua pasca KTT itu. “Papua sekarang mengalami krisis kepemimpinan sehingga masalah yang dihadapi di Papua sulit untuk diatasi,” kata ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua itu.

Pendeta Karl Philip Erari, salah seorang ketua Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI), membenarkan bahwa situasi di Papua pasca KTT itu semakin tidak kondusif. Maka PGI sedang mendorong pemerintah dan warga Papua untuk dialog agar situasi di Papua tidak memburuk.

Ia mengatakan setiap hari ia menerima laporan dari Papua terjadi pelanggaran HAM seperti penembakan, penculikan, penahanan, penganiayaan dan pembunuhan.

“Ini sengaja diciptakan oleh pemerintah dan militer untuk menunjukan situasi di Papua tidak aman dan operasi militer diterapkan,” katanya tadi pagi.

Ia juga mengatakan agar hasil KTT itu disikapi dan dikaji dengan baik oleh pemerintah dan jangan member reaksi yang berlebihan karena yang menjadi korban adalah warga sipil. (Cathnews Indonesia)