Organisasi Anggota ACT Alliance |
Perwakilan negara yang datang adalah dari Kolumbia, Tongan, Fiji, Kanada, Indonesia, Nepal, Mozambik, Filipina, Pakistan, India, Bangladesh, Vietnam, Bolivia, Honduras, Kuba, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.
"Tiap peserta memiliki latar belakang kearifan lokal dan kondisi alam yang berbeda-beda. Kita bisa belajar banyak dari mereka," ujar koordinator shelter YAKKUM Emergency Unit, Setyo Darmojo.
Rencananya, semua anggota workshop akan pergi ke beberapa daerah sekitar Yogyakarta. Di sana, setiap anggota workshop akan mengenal dan mempelajari secara langsung penanganan bencana akibat perubahan iklim pada Selasa (06/09/2011) dan Rabu (07/09/2011). Anggota workshop akan kembali pada Kamis (08/09/2011) dan Jumat untuk membahas penemuan di lapangan.
"Nantinya akan ada saran yang mereka berikan kepada masyarakat," lanjutnya. Rekomendasi langsung mereka berikan lewat kelompok masyarakat, dusun, atau kelurahan. Tujuannya adalah supaya masyarakat bisa bertahan meski tidak mendapatkan bantuan.
Tim pertama akan berkunjung ke Pangandaran, Jawa Barat. "Di sana ada varietas padi yang tahan terhadap air asin," jelas Robby.
Tim kedua akan berangkat ke Solo dan Sragen. Di Solo, tim akan mempelajari kesiapan masyarakat untuk bertahan di daerah banjir. "Sedangkan di Sragen, tim akan mempelajari koperasi yang pemerintah Sragen buat dalam rangka pengurangan resiko bencana dan pemberdayaan ekonomi," imbuh Robby.
Dalam bencana banjir di Solo, Setyo mengatakan, hal itu bukan terjadi akibat kesalahan pemerintah. "Itu terjadi akibat adanya perubahan iklim yang jelas," kata dia.
Kontribusi ACT Alliance sebagai organisasi antar gereja dunia yang membantu pengembangan sebuah negara, pemantau dan pengerak bantuan kemanusiaan kepada negara-negara yang terkena bencana alam, memiliki 100 organisasi dengan pekerja hampir 300.000 orang yang melayani pada 140 negara. (Tribunjogja/Tim PPGI)