Sunday 4 September 2011

Sunday, September 04, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Peraturan Syariah Islam di Indonesia, Keuntungan dan Kerugiannya.
JAKARTA - Tak terpungkiri jika banyak orang, terutama umat non-muslim yang merasa khawatir jika syariah Islam diberlakukan di negeri ini. Dalam benak mereka, bila UU syariah itu diberlakukan, maka akan banyak peraturan yang memberangus kebebasan dalam beraktivitas yang selama ini sudah merupakan kelaziman dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, tempat-tempat hiburan akan dibatasi ruang geraknya, atau bahkan mungkin akan ditutup sama sekali, sebab ada yang berpendapat bahwa tempat hiburan itu rawan maksiat.

Di atas semua itu, yang paling ditakutkan umat minoritas, terutama Kristen adalah semakin terbatasnya ruang untuk mengekspresikan imannya. Semakin sulit mendirikan gereja, bahkan bukan tidak mungkin gereja yang sudah punya ijin pun akan ditutup dengan berbagai alasan. Dan hal ini sudah kerap terjadi di masa kini, di mana syariah belum dilaksanakan.

Kekhawatiran itu semakin menguat melihat makin intensnya ormas-ormas yang secara terang-terangan mengusung agenda men-syariah-kan Indonesia.

Menanggapi perasaan khawatir ini, Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir, salah satu ormas yang giat memperjuangkan diterapkannya syariah Islam di Indonesia mengatakan kalau semua kekhawatiran itu berlebihan dan tidak berdasar sama sekali. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai Islam dan syariah Islam,” kata pria yang lahir 49 tahun silam ini.

Ditegaskan, Islam membawa rahmat bagi sekalian alam. Dan kerahmatan itu diwujudkan, bila segenap hal yang menyangkut keyakinan itu dilakukan sepenuh hati, dan yang menyangkut aturan itu dilakukan dengan sebaiknya. “Ini yang kita yakini membawa kebaikan,” tandasnya. Rahmat di situ maknanya adalah seluruh kebaikan yang bisa dipikirkan manusia: keadilan, kedamaian, ketentreraman, kesejahteraan. Dan kita berupaya bagaimana rahmatan itu bisa dirasakan., dinikmati masyarakat, yang pada faktanya itu terdiri dari banyak agama.

“Beragamnya agama, itu fakta yang tidak bisa dipungkiri,” kata Ismail seraya menegaskan bahwa Islam tidak memaksakan orang masuk Islam. “Jadi jika syariah diterapkan, tidak berarti semua orang diharuskan masuk Islam,” jelasnya.

Menurutnya, apa yang dimaksud dengan penerapan syariah itu adalah yang di depan publik yang mengakut sosial, politik, ekonomi, budaya,. Misalnya ekonomi yang bisa memberikan kebaikan. Dan menurut Ismail, ekonomi berdasarkan syariah itu memberikan kebaikan pada semua pihak. Sebab ekonomi kap italis sekarang ini mudarat, atau memberikan kerugian pada semua pihak. Bila terjadi krisis semua kena.

“Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan pihak non-muslim terhadap syariah. Sebab syariah tidak akan pernah mengganggu keyakinan kaum Nasrani,” tandasnya.

Untuk itulah, Hizbut Tahrir memperjuangkan penerapan syariah ini dengan cara, menjelaskan pada masyarakat tentang syariah. “Kalau orang sudah paham tentu akan terhindar dari salah paham,” tutur warga Cimanggu. Bogor , Jawa Barat ini. Apa lagi, penerapan syariah Islam pernah berjalan ratusan tahun di mana di sana hidup non-muslim juga. Ini fakta sejarah bawah Islam itu memiliki kemampuan mengatur masyarakat plural. Langkah kedua, melakukan usaha perubahan melalui politik, tetapi perubahan politik di sini adalah yang memang diudukung masyarakat, karena paham.

Tujuh kata
Tentang tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan UUD 1945, Ismail mengatakan bahwa itu rumusan yang dibuat oleh Sukarno, karena melihat ada pertentangan antara tokoh Islam yang mengingkinkan syariah dengan tokoh yang tidak menginginkan. Lalu dibuatlah rumusan yang disebut gentlemen agreement, tujuh kata tadi. Syariat Islam itu hanya bagi pemeluknya.

Menurut Ismail, rumusan itu sebenarnya justru ditentang tokoh Islam saat itu, karena rumusan ini tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Justru ajaran Islam, syariat Islam kan berlaku untuk semua dalam kehidupan publik. Kalau hanya untuk pemeluknya maka ekonomi tidak akan bisa jalan, karena ekonomi tida bisa dipisah. Tidak bisa ekonomi untuk Islam saja. Jadi, ketika akhirnya rumusan itu dihapus, tidak berpengaruh apa-apa, dalam arti memang bukan rumusan seperti itu yang dikehendaki tokoh Islam waktu itu, termasuk juga Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, persoalannya bukan ada-tidaknya tujuh kata itu. Tetapi karena kalau ada pun belum sesuai dengan ajran Islam. Kalau dikembalikan pun bukan berarti masalah selesai.

Ismail menegaskan, dalam memperjuangkan cita-citanya, Hizbut Tahrir tidak menggunakan kekerasan, karena memang dakwah itu tidak boleh dengan kekerasan. Sampai kapan pun tidak boleh ada kekerasan dalam dakwah. Karena dakwah itu bertujuan untuk mengubah pikiran. Kalau mengubah pikiran dengan pikiran baru, tidak mungkin dengan mengetok kepalanya. Kepala benjol tetapi pikiran tidak berubah. Jadi pikiran diubah dengan pikiran itu dakwah.
Dan menurutnya, sesungguhnya syariat Islam itu adalah cita-cita seluruh ormas Islam. Memang ada yang menolak, seperti NU, Muhammadiyah. Bedanya Hizbut Tahrir itu speak out. Dan itu perlu disampaikan secara terbuka, supaya orang paham. “Sesungguhnya semua ormas Islam setuju. Cuma artikulasinya yang beda. Bagaimana tidak setuju dengan syariah, yang adalah ajaran Islam?” tanyanya.

Bagimana posisi minoritas jika syariah Islam?, menurutnya akan aman damai. Dalam sejarah, umat Yahudi dan Nasrani hidup damai di bawah Islam. Kasus penutupan gereja bukan karena alasan teologis, sebab bila alasannya teologis, semua gereja akan ditutup. Ini karena faktor teknis administratif. “Contoh GKI Yasmin, karena belakangan terungkap ada manipulasi tanda tangan, maka gereja itu dicabut IMB-nya,” tutup Ismail.

Bukan Pemecahan Persoalan

Sayangnya pernyataan dari Hisbut Tahrir ini ditanggapi berbeda oleh beberapa intelektual muslim dan gereja, menurut mereka penetapan peraturan syariah Islam yang kian gencar dilakukan beberapa daerah melalui pembuatan perda-perda bernuansa syariah di berbagai daerah di Indonesia sama sekali tidak dilatari oleh motivasi atau pergulatan intelektual mendalam guna memecahkan persoalan sosial di masyarakat.

Pihak-pihak yang mengusung perda syariah, pada satu pihak mereka dimotivasi agama, tapi di pihak lain tidak ada keinginan untuk memecahkan persoalan di masyarakat. Demikian dikemukakan Achmad Ubaidillah, S.Hum dari Pusat Studi Pesantren dalam diskusi tentang perda-perda bernuansa syariah di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jl Salemba, Jakarta, pertengahan bulan lalu.

Pengurus Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda Anshor ini berpendapat, selain menimbulkan kontroversi yang memicu ketegangan dan konflik sosial perda syariah juga dikhawatirkan dapat menjadi alat politisasi agama. Jika sudah begini, maka perda dapat kehilangan otoritas relijiusnya dan hanya menjadi kebijakan publik biasa dari pemerintah daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya Ubaidillah menegaskan bahwa gejala “politik syariah” ini juga paradoks karena mengajarkan kepalsuan dalam keberagamaan, padahal inti keberagamaan adalah ketulusan dan keikhlasan.

Ubaidillah mengingatkan, di daerah di mana perda syariah diterapkan, masyarakat bisa jadi tampak lebih taat beragama, namun diragukan bahwa ketaatan itu sebagai refleksi ketulusan, kesadaran dan kedewasaan. Sangat mungkin ketaatan itu lahir karena rasa takut pada aparat negara. “Bila benar, maka ini pertanda terjadinya reduksi mendasar terhadap prinsip-prinsip syariah, sebab bila dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya prinsip syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara,” tandasnya.

Mengutip cendikiawan muslim Azyumardi Azra, Ubaidillah menyatakan bahwa syariah yang ditetapkan dalam perda itu bukan syariah tetapi regulasi lokal. Perda yang dipaksakan ini tentu tidak sesuai dengan nilai syariat itu sendiri. Meski berdasarkan survei mayoritas masyarakat mendukung syariat, namun syariat seharusnya tidak diterapkan sebagai hukum positif oleh negara, namun nilai-nilai syariah diperkenalkan kepada negara.

Karena syariah tidak bisa dipaksakan oleh negara, maka syariah harus dilaksanakan setiap umat Islam secara sukarela. Negara perlu memisahkan diri dan netral terhadap agama, namun harus tetap menghargai kelompok agama. Maka sebetulnya syariah tidak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup diamalkan oleh orang Islam, karena dalam negara bangsa majemuk seperti Indonesia, pemaksaan penerapan syariah Islam justru akan menimbulkan persoalan yang bisa memecah keutuhan negara. “Gerakan yang mengupayakan penerapan syariah Islam di tingkat negara, merupakan penyakit lama yang timbul kembali,” kata Ubaidillah mengutip KH Ma’ruf Amin, salah seorang tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sementara itu Pdt DR Einar M Sitompul dari HKBP Menteng Jakarta Pusat mengatakan bahwa perda-perda syariah bukanlah persoalan di antara kekristenan dan muslim melainkan masalah politik. Eksekutif ingin menjamin kelangsungan kekuasaannya, dan legislatif lebih memikirkan kelompok dan perolehan suara pemilih.

Perda-perda bernuansa agama adalah salah satu contoh mental fundamentalistik, sesuatu yang sering mencuat kalau suatu kelompok bertemu kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman.

Oleh karena itu, menurut Einar, yang kita butuhkan, pertama, adalah menyadarkan umat tentang duduk persoalan. “Jika ada kelompok berjuang agar kelompoknya lebih diutamakan, itu hal yang wajar. Tetapi sebagai negara nasional, yang terdiri atas beragam suku, agama dan golongan, seharusnya rujukan politik adalah Pancasila dan UUD 1945,” tandas Einar.

Selanjutnya Einar mencontohkan UU Perkawinan 1974 sebagai salah satu UU yang fundamentalis agama. Menurutnya, seharusnya perkawinan dihormati sebagai kesepakatan dua orang dan disahkan secara hukum, bukan harus seagama! Orang dipaksa seagama untuk bisa menikah sebenarnya pelanggaran HAM.

Dalam hal ini agama diagungkan tetapi dengan cara memaksakan melalui perundangan, sehingga implikasinya penindasan: menindas hati nurani dan akal sehat.

Perda Injil rugikan gereja
Pada sesi lain, Binsar A. Hutabarat, MCS (peneliti pada Reformed for Religion and Society) menyoroti perda Injil di Manokwari, Papua. Menurut Binsar, perda Injil ini dimunculkan sebagai reaksi atas rencana pembangunan mesjid raya di Manokwari, yang selama ini dikenal sebagai “pintu gerbang” masuknya Injil ke Papua.

Tokoh-tokoh Kristen di Papua umumnya sepakat bahwa kehadiran masjid raya di Manokwari telah melukai perasaan umat Kristen, dan menimbulkan perasaan terdiskriminasi.

Binsar berpendapat, kehadiran Perda Manokwari Kota Injil ternyata memosisikan gereja ketika menjadi mayoritas jadi cenderung mendiskriminasikan agama lain. Hal ini terbukti dari pasal-pasal diskriminatif dalam Perda Injil, semisal melarang agama lain melakukan kegiatan publik pada hari Minggu, pelarangan jilbab, azan, dan keharusan memasang simbol-simbol Kristen di gedung-gedung pemerintah.

Menurut Binsar, apabila perda Manokwari Kota Injil dianggap sebagai strategi gereja membendung serbuan perda-perda syariah, maka strategi tersebut justru merugikan gereja sendiri. Sebab gereja terjebak dalam politisasi agama dan agamaisasi politik demi menuntut kekhususannya sebagai kelompok mayoritas. (Reformata)