Thursday 6 October 2011

Thursday, October 06, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Belajar Toleransi Sejak Dini di Sekolah Alternatif Pelangi Nusantara. JAKARTA - Di tengah banyaknya praktik intoleransi di negeri ini, sekelompok ibu di Jakarta melakukan perlawanan dengan cara berbeda. Mereka sukarela memberikan pelajaran tambahan di luar sekolah untuk menanamkan sikap toleran terhadap sesama. Seperti apa kegiatannya?

Sore itu, di sudut Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta Timur, sejumlah anak duduk berkumpul dengan tertib dan rapi layaknya ada dalam sebuah kelas di sekolah. Mereka didampingi orang tua masing-masing. Anak-anak itu tinggal di sekitar Matraman, dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda. Mereka tengah mengikuti kelas alternatif untuk melengkapi pendidikan di sekolah.

Kegiatan sekolah alternatif itu bernama Sekolah Alternatif Pelangi Nusantara. Salah seorang pendiri dan relawan pengajar di Sekolah Alternatif Pelangi Nusantara adalah Muayati, orang tua murid yang juga pegiat perdamaian lintas agama di Indonesia. Namanya masuk salah satu anggota Konferensi Indonesia untuk Agama dan Perdamaian, ICRP.

“Pengin mengenalkan sejak dini kepada anak-anak supaya mereka mengenal lebih dekat apa itu toleransi apa itu keberagaman, kebhinekaan, yang ada di Indonesia. Supaya nanti mereka besarnya tidak melakukan kekerasan, misalnya atas nama agama, seperti yang sekarang banyak terjadi.”

Kelahiran Sekolah Alternatif Pelangi Nusantara juga dibidani oleh delapan orangtua siswa. Para orangtua ini merasa prihatin terhadap kondisi di sekolah anak-anaknya yang mengabaikan perilaku toleransi. Bahkan kerap kali sekolah mengelompokkan murid serta orangtuanya menurut golongan ekonomi maupun agama. Seperti penuturan orang tua murid, Cut Linda.

“Kita sudah bilang ini anak hobinya menari lho, baca-baca do’a sudah biasa, tapi mungkin karena mamanya begini, mereka tidak percaya, masa mamanya begitu anaknya bisa baca do’a nanti naik ke panggung, kan begitu salah Mba.

Perempuan asal Aceh itu mengaku anaknya di sekolah kurang diberi kesempatan berekspresi lantaran ibu si anak tidak mengenakan jilbab.Linda tak sendirian. Ibu-ibu lain juga mengaku didiskriminasi oleh pihak sekolah. Termasuk Muayati.

“Ada juga murid saya yang bertanya kenapa ya, apa karena saya tidak memakai busana Muslim, tapi saya Muslim. Lalu saya diperlakukan tidak adil? Pernah suatu kali, kita masuk pengurusan POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) kita mencari dana untuk perbaikan mutu sekolah, komunitas saya dari semua agama ada, lalu mereka memberi sumbangannya untuk sekolah, itu ditolak mentah-mentah. Lalu saya dikatakan sebagai Islam Liberal. Oow ini mamanya Faris ini, Islam Liberal, hati-hati.

Lalu kita menawarkan Perhimpunan Indonesia Tionghoa memberi pelajaran Bahasa Mandarin juga ditolak, mereka tidak mau menerima bantuan selain Muslim. Tapi manajemen dan pendekatannya tidak elok, yang kaya didekati, anak-anaknya diperlakukan istimewa, saat pentas akhir tahun bisa pentas tiga kali. Kita sangat memperhatikan hal itu.

Perilaku diskriminasi membuat mereka tergerak melakukan tindakan. Bersama ibu-ibu senasib, Linda dan Muayati sepakat menanamkan sikap toleran saat anaknya berada di luar sekolah. Sekolah ini diklaim memiliki basis multikultur, toleransi dan humanisme. Sejumlah pengajar dan relawan dikumpulkan untuk memberikan materi soal toleransi dan hak asasi manusia. Sekolah ini juga memiliki relawan pengajar dari berbagai golongan dan agama. Di antaranya Lusia Wenehet, relawan gereja yang tergabung di sekolah itu.

“Kita mengajari sangat menyadari saat ini isu intoleransi sangat kental di masyarakat, kita punya harapan, semoga dari komunitas seperti ini, dari anak-anak, mengenal keberagaman, bagaimana harus menghargai mereka yang berbeda agama, suku dan level ekonomi. “

Sejumlah orang tua merasakan manfaat anaknya masuk sekolah alternatif itu. Seperti diakui Sumitri.

Enak buat saya, karena di sini menyatu, tidak membedakan agama. Karena di keluarga saya agamanya juga berbeda-beda. Saya Kristen, adik saya Islam. Tidak ada masalah, dalam keluarga kami semua pendapatnya masing-masing. (KBR68H)