Untuk mencapai Oepoli, harus melintasi 188 anak sungai dari Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan.
Katedral Kupang |
Oepoli memang nun jauh di sana, namun pada 25 Oktober 2011, semua mata akan tertuju ke daerah terpencil itu, karena umat Katolik setempat akan memperingati 100 tahun berdirinya Gereja Katolik di tapal batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersebut.
Menurut Romo Bento, demikian panggilan akrab Romo Beatus Ninu, umat Katolik di Oepoli yang saat ini berjumlah sekitar 3.200 jiwa (638 kepala keluarga), umumnya pendatang dari Oecusse ketika mereka eksodus secara besar-besaran dari tanah kelahirannya akibat sistem kerja paksa yang diterapkan koloni Portugis pada masa itu.
Sistem kerja paksa yang tak mengenal rasa kemanusiaan itu, membuat masyarakat Oecusse dan para pemimpinnya menunjukkan sikap tidak suka terhadap Portugis yang menjajah wilayah itu sejak 1512.
Raja Oekusi Joao da Crus bersama para panglima perang (Jintera) serta rakyat Oecusse mulai melancarkan pemberontakan kepada penjajah Portugis. Percikan bunga api pemberontakan mulai nampak di mana-mana di wilayah kantung Timor Leste itu.
Para penjajah tak sanggup menghadang perlawanan rakyat sehingga melaporkan kejadian itu ke Lisabon untuk mendapat bala bantuan dari negerinya.
Kapal-kapal perang Portugis pun mulai merapat di Pantai Oecusse. Para Jintera bersama anak buahnya mengepung Pantai Oecusse untuk menghadang masuk kapal-kapal perang milik Portugis itu dengan hanya bermodalkan senjata tumbuk.
Pasukan perang dari Portugis pun tidak tinggal diam. Mereka membalas serangan dengan senjata-senjata modern seperti meriam, sehingga membuat para Jintera bersama pasukannya mundur menuju Kota Oecusse.
Guna menghindari jatuh korban lebih banyak dari penduduk Oecusse, para Jintera memerintahkan rakyat Oecusse untuk meninggalkan kampung halamannya. Bersama Raja Joao da Crus, mereka pun berlarian menuju wilayah Timor lainnya milik Indonesia untuk menyelamatkan diri.
"Ketika itu, mereka membawa barang-barang seadanya. Yang lebih mereka utamakan adalah barang-barang sakral dan dianggap suci menurut ajaran Gereja Katolik seperti Patung Bunda Maria, Patung Kristus serta benda-benda suci lainnya seperti kitab suci dan buku-buku doa," kata Romo Bento melukiskan masuknya pendatang dari Oecusse itu sekitar 1911.
Berdasarkan beberapa sumber literatur gereja dan penuturan para tetua adat dan tokoh masyarakat, tambahnya, para pengungsi dari Oecusse itu bergerak menuju barat melewati Oepoli dan seterusnya ke Nano faot Ao--sekarang disebut Amfoang dan Naikliu di wilayah Kabupaten Kupang, NTT.
Para Jintera kemudian mengantar Raja Joao da Crus untuk menemui Raja Amfoang Willem Tafin Talnoni guna membicarakan sejumlah kesepakatan agar rakyat Oecusse dapat diterima dalam wilayah Kerajaan Amfoang.
Raja Amfoang pun memberikan sebuah rumah yang letaknya berhadapan dengan istananya untuk ditempati Joao da Crus beserta kerabat dan pelayananya, sedang para Jintera kembali ke Bilaos dan menetap di sana.
Sementara pengungsi lainnya ditempatkan di Poambaun sambil mendapat pembinaan agama dari seorang guru agama Katolik bernama Albino Parera.
"Para pengungsi dari Oecusse itu boleh meninggalkan kampung halamannya, namun tiap individu merupakan bagian dari gereja yang hidup dan terus bertahan untuk menghidupi imannya dengan tata cara Gereja Katolik," ujar Romo Bento.
Ia menambahkan Albino Parera yang dikisahkan bersuara merdu dan pandai memimpin doa dalam bahasa Latin dan Portugis adalah satu-satunya guru agama.
"Semua kegiatan keagamaan mulai dari ibadat sabda mingguan dan hari raya, doa Rosario dan ibadat-ibadat lainnya dipimpin oleh Albino Parera," kata Romo Bento mengenang penyebaran agama Katolik di wilayah Oepoli dan sekitarnya.
Para pendatang dari Oecusse itu, umumnya disebut Kasemetan. Andreas Sa’u SVD, seorang rohaniawan Katolik mengatakan secara etimologis Kasemetan berasal dari dua kata yakni Kase atau Kaes dan Metan. Kase berarti orang yang berpendidikan atau tinggal di kota, atau pegawai ataupun orang asing.
"Metan adalah kata sifat yang menerangkan kata benda Kase, yang mengandung arti hitam. Jadi Kasemetan berarti orang asing berkulit hitan atau orang hitam yang berpendidikan dan memiliki pandangan yang luas," katanya dalam sebuah karya tulis berjudul "Menghargai Tradisi Menghormati Karya Manusia".
Romo Bento mengatakan satu hal penting dalam sejarah religiositas warga Kasemetan adalah membuat kapela dimana tempat mereka tinggal. Di Oepoli, dibangun sebuah kapela sederhana untuk beribadat yang dipimpin guru agama Albino Parera.
Di belakang altar besar kapela itu, di pancangkan sebuah salib besar yang dibawa dari Oecusse saat mengungsi 1911. Di atas altar itu, diletakkan pula patung Bunda Maria dan patung- patung orang kudus lainnya seperti St Antonius Padua, Patung Santa Anna (senhor partum).
Ia menambahkan Albino Parera selalu memimpin doa dalam bahasa Latin dan Portugis sehingga diganti dengan seorang guru agama lainnya Philipus Moensaku untuk mengajar dalam bahasa Dawan setelah Pater Antonius Baun SVD bertugas di Oepoli sebagai imam pertama di Gereja Katolik Mater Dei Oepoli.
"Inilah perjalanan 100 tahun Gereja Katolik di Oepoli yang akan kami kenang kembali dalam sebuah misa syukur yang akan dipimpin langsung oleh Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang pada 25 Oktober 2011," demikian Romo Bento Ninu. (Kompas)