Tuesday 18 October 2011

Tuesday, October 18, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pdt. Dr. Sostenes Sumihe : Sunat Tidak Bertentangan dengan Alkitab. YOGYAKARTA - Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Theologia (STT) Is. Kijne Abepura – Jayapura, Provinsi Papua, Pdt. Dr. Sostenes Sumihe menegaskan bahwa berbicara HIV dan AIDS dari sudut pandang Gereja di Papua, adalah sebuah masalah yang dilihat dari dua aspek.

Aspek pertama yakni menyangkut masalah sosial dimana reaksi negatif masyarakat dengan berbagai stigma dan diskriminasi dan aspek theologi dimana ada kasus tertentu terkait dengan masalah spiritual.

Hal itu berbuntut pada respons Gereja di Papua dimana ada sebuah pekerjaan besar supaya manusia benar-benar menjaga dan memelihara kehidupannya dari berbagai macam hal, termasuk bahaya HIV dan AIDS yang kini mengancam Papua.

Itu sebabnya wacana tentang “Epidemi HIV dan AIDS, Sirkumsisi dan Gereja” yang dibicarakan di Pernas AIDS IV di Yogyakarta, karena dalam penelitian dan rekomendasi WHO, sunat dapat menekan 60 % penegahan HIV dan AIDS.

Menjadi soal adalah, Gereja-gereja di Papua tidak punya tradisi sunat. Karena itu Gereja harus kembali memberikan pemahaman tentang Sirkumsisi.

“Dalam keterangan Alkitab, sunat atau sirkumsisi adalah tanda lahiriah perjanjian Allah dengan umatNya yang berlaku turun-temurun seperti yang tertuang dalam kitab Kejadian 17 ayat 1 sampai 27,” ujar Sumihe yang berlangsung di ruang Nakula Sadewa Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, Rabu,(04/10/2011).

Namun kata dia, tradisi sunat di kalangan Kristen kususnya warga GKI Di Tanah Papua yang beraliran Calvinisme – Belanda, semakin hambar akibat beberapa fakta.

Diantaranya Baptisan yang semakin menonjol dan pada abad 16, gagasan Theologi, sunat membatalkan dan menggantikannya dengan Baptisan sesuai dengan ajaran Gereja yang menganut Calvinisme.

“Gereja-gereja yang berakar pada Kalvinisme Belanda, tidak memiliki tradisi sunat,” tegas Sumihe.

Itu sebabnya Sumihe berkesimpulan bahwa jika karena alasan budaya dan kesehatan (HIV dan AIDS), orang mau sunat, dapat dilakukan dan sudah banyak warga Gereja yang sunat.“Dan ini tidak bertentangan dengan Alkitab,” simpul Sumihe.

Ketua KPA Provinsi Papua, Drh. Constan Karma mengatakan, Sunat pada laki-laki harus menjadi bagian dari pendekatan dan pencegahan HIV dan AIDS di Tanah Papua. Bahwa gencarnya promosi Sirkumisi atau Sunat dalam pendekatan Alkitab, bukan merupakan bagian untuk “mengislamkan” orang Papua.

Beberapa fakta yang diungkapkan Karma bahwa terdapat 96 ayat dalam Alkitab yang berbicara tentang Sunat, dengan rincian, 42 ayat di Perjanjian Lama dan 49 ayat di Perjanjian Baru.

Pendekatan untuk pencegahan HIV dan AIDS melalui sunat, kata Karma adalah merupakan rekomendasi WHO tanggal 28 Maret 2007 hal mana 60 % dapat menghambat penyebaran HIV dan AIDS. Panjang lebar, Sekda Provinsi Papua ini mengakui sunat di dunia di terapkan berdasarkan konteks dan kepentingannya. Pada Perang Dunia I sunat dikenal untuk mencegah penyakit menular kesehatan. Pada tahun 1930, sunat untuk mencegah kanker Penis. Pada tahun 1950, Sunat dipromosikan untuk mencegah kanker Serviks dan pada tahun 1980, Sunat untuk mencegah HIV dan AIDS.

Beberapa peserta dari berbagai daerah yang hadir dalam seminar itu, mendukung upaya Pemerintah Provinsi Papua untuk mempromosikan Sunat sebagai salah satu rekomendasi jitu untuk mencegah penularan HIV dan AIDS. Zulkifli Amin dari LSM KrAIDS - Makasar misalnya mengusulkan Sunat sudah harus digelar, karena Papua sudah dalam keadaan bahaya. Bahwa adalah lebih baik, sunat dan kondom wajib diterapkan dan digunakan untuk pencegahan virus mematikan itu.

Kendati demikian, sebagian peserta ada yang pesimis dengan promosi sunat di Papua sebagai salah satu upaya pencegahan. Pasalnya sunat atau sirkumsisi tidak dapat menjamin perilaku bagi mereka yang suka tukar menukar pasangan. Dokter Samuel Baso dari RSUD Jayapura mengakui bahwa kendati rekomendasi WHO, sunat dapat mencegah 60 % HIV dan AIDS, tidak dapat menjamin bagi mereka yang perilaku seks menyimpang.

“Karena hanya 60 persen, “ tegas Samuel Baso penanggungjawab VCT Dok II RSUD Jayapura itu. (Jubi)