Wednesday, 19 October 2011

Wednesday, October 19, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Tidak Miliki Ijin, Warga Pekalipan Tolak Pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan. CIREBON (JABAR) - Ratusan warga di Kelurahan dan Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menolak pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan dan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan jemaat di gereja tersebut, Minggu (16/10/2011).

Aksi tersebut nyaris ricuh, namun polisi yang datang ke lokasi berhasil mencegah kericuhan tersebut, seperti diberitakan Republika.

Sejak jam 08.00, ratusan warga RW 01 Pekalipan dan RW 02 Karangmoncol itu berkumpul di samping GBI Pekiringan. Mereka memasang spanduk yang berisi penolakan kebaktian dan pembangunan gereja di lingkungan mereka.

Koordinator Ardiansyah mengatakan gereja sudah berdiri sejak sepuluh tahun lalu di bekas ruko di lingkungan mereka. Menurut dia, pembangunan gereja yang dipimpin oleh Samuel Susijanto tersebut tidak mendapat izin dari warga. "Sudah sepuluh tahun ini kami bersabar dengan adanya kegiatan itu," ujar Ardiansyah.

Namun, kesabaran warga ternyata hanya dianggap angin lalu oleh pihak gereja. Buktinya, mereka malah berencana membangun sebuah gereja secara permanen di sebelah ruko tersebut. "Karena itu kami menolak," tegas Ardiansyah.

Ardiansyah menambahkan, selain tak mendapat izin warga, pembangunan gereja tersebut juga tidak mengantongi restu dari pemerintah setempat. Bahkan Walikota Cirebon, Subardi, telah mengeluarkan SK No 452.2/1478-Adm.Kesra tertanggal 26 September 2011 yang berisi penghentian kegiatan dan pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan.

Namun, SK wali kota tidak menghentikan rencana pembangunan gereja tersebut. Utusan dari Kementerian Agama Kota Cirebon telah meminta agar kebaktian dihentikan. Hal tersebut juga sudah sesuai dengan keputusan bersama antara Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dengan wali kota Cirebon.

Keributan di antara kedua belah pihak akhirnya bisa ditenangkan saat Wakapolres Cirebon Kota, Kompol Didit Eko, datang. Dia meminta semua pihak untuk menaati aturan yang berlaku. Kepada pengurus gereja, Didit meminta agar semua aturan ditaati. Sedangkan kepada masyarakat, dia meminta agar tidak bertindak anarkis.

Setelah berdialog, kesepakatan akhirnya tercapai. Dalam kesepakatan tersebut, kebaktian tetap diizinkan pada Minggu 16 Oktober sampai jam 18.00 WIB. Namun, kebaktian tak boleh lagi dilakukan di gereja tersebut pada Minggu depan.

Tidak carikan tempat pengganti
Salah seorang pengurus gereja, Dedi Suwardi, mengatakan jika memang dilarang, maka Pemkot Cirebon harus mencarikan tempat ganti agar mereka dapat tetap beribadah. Apalagi jemaat gereja tersebut mencapai 600 orang dan biasa melakukan misa sebanyak tiga kali setiap minggunya. "Tolong carikan dulu tempat pengganti," kata Dedi.

Sebelumnya, Kamis (06/10/2011) diadakan pertemuan di Gedung Adipura Kencana antara Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon, unsur muspida dan tokoh agama yang menghasilkan keputusan untuk menghentikan sementara aktivitas peribadatan di GBI Pekiringan dan Gedung Gratis.

Tokoh Katolik, Romo Johanes Mulyadi mengungkapkan, aktivitas peribadatan di kedua tempat tersebut dihentikan sementara sampai menunggu kejelasan penggunaan gedung. Aktivitas peribadatan di Gratia akan dilanjutkan bila seluruh persyaratan sebagai tempat ibadah telah dipenuhi. Jika persyaratan sudah dipenuhi maka peribadatan akan berjalan lagi.

Peruntukan Gratia yang semula sebagai gedung pertemuan bisa saja berubah fungsi menjadi tempat peribadatan. "Intinya dari semua ini, kami ingin dan sangat mengharapkan hidup rukun, saling menghormati serta menghargai ibadah masing-masing agama,"katanya kepada kabar cirebon.

Selanjutnya ia menyambut baik adanya pertemuan semacam itu, sehingga ketika ada persoalan-persoalan yang tidak diketahui dan kemudian mencuat bisa diselesaikan dengan baik.
"Ketika ada kekurangan atau hal-hal yang harus diselesaikan maka kita bicarakan di forum pertemuan seperti ini. Kita cari solusinya bersama sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atau terpojokkan," tandasnya.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB), Uzer Solihin menjelaskan, pada dasarnya pihak FKUB maupun pemerintah memberikan kebebasan kepada siapapun untuk beribadah sesuai kepercayaannya masing-masing. Dirinya tidak memandang sebelah mata keberadaan tempat ibadah yang satu dengan lainnya.

Namun, menurut Uzer yang juga ketua majelis ulama indonesia (MUI) Cirebon ini, pihaknya meminta agar semua pelaksanaan peribadatan harus dilakukan sesaui dengan tempatnya. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

"Jangan sampai melakukan ibadah tidak pada tempatnya. Ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak kita harapkan. Kalau memang dalam permohonan izin kepada pemerintah hanya sebagai gedung pertemuan, jangan kemudian dijadikan tempat peribadatan yang akhirnya mengundang kemarahan warga sekitar," terang Uzer.

Ia meminta agar siapapun yang ingin mendirikan tempat peribadatan harus menempuh mekanisme sesuai dengan prosedurnya, yakni melalui rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama, kemudian memiliki jemaat minimal 90 orang serta ada persetujuan dari 60 warga setempat. Dengan begitu, proses peribadatan dapat berjalan lancar dan tenang serta tidak memunculkan konflik yang akhirnya merugikan banyak pihak.

Wali Kota Cirebon, Subardi yang hadir dalam kesempatan itu mempersilakan semua pihak, baik gereja maupun gedung Gratia, mengadakan peribadatan selama tidak menyalahi aturan. "Kalau kemudian Gedung Gratia akan dijadikan sebagai tempat peribadatan maka izin yang sebelumnya memperuntukkan sebagai gedung pertemuan harus diubah menjadi gereja," pungkasnya. (republika/kabarcirebon)