Saturday 1 October 2011

Saturday, October 01, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Tokoh Agama dan Pimpinan Lembaga Negara Kunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor.
BOGOR (JABAR) - Sejumlah tokoh agama dan pimpinan lembaga negara, Sabtu (01/10/2011) pagi menggelar peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan Deklarasi Gerakan Nasional Hidup bersama Pancasila, di Pesantren Al-Ghozaly Bogor, Jawa Barat. Acara tersebut dilanjutkan dengan kunjungan ke lokasi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bogor, dilarang digunakan untuk kegiatan beribadat karena Wali Kota Bogor Diani Budiarto, membekukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Kunjungan itu sebagai aksi solidaritas, karena tindakan Wali Kota dinilai sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap minoritas, mengingat Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan agar pembekuan IMB dicabut. Demikian disampaikan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid, yang juga penyelenggara acara.

Sejumlah tokoh agama dan pimpinan lembaga negara yang hadir, di antaranya, mantan Ibu Negara Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasimmantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih, Romo Benny Susetyo, politisi PDI-P Maruarar Sirait, dan sejumlah organisasi kepemudaan, seperti HMI, GMKI, PMII, dan GMNI.

Dalam orasinya, Nusron Wahid menegaskan, saat ini yang terjadi banyak pejabat yang mengkhianati arti Pancasila, dengan menyampingkan toleransi antarumat beragama. “Dalam kasus GKI Yasmin jelas menggambarkan adanya pemikiran dan gerakan anti keberagaman,” tegasnya.

Dia menambahkan, hidup berpancasila justru juga diperjuangkan tokoh nasionalis ulama Kyai Abdullah Bin Nuh, yang kebetulan juga ditetapkan sebagai nama jalan, di mana GKI Yasmin berada. “Namun yang terjadi sebaliknya. Nama tokoh tersebut justru digunakan untuk melarang keberadaan rumah ibadah,” sindir Nusron mengomentari tindakan Wali Kota Bogor yang sempat tidak berkenan keberadaan gereja di jalan yang bernama tokoh umat Islam.

Senada dengan itu, Ifdhal Kasim menyayangkan sikap Diani Budiarto yang tidak menjalankan putusan MA mengenai sengketa GKI Yasmin. Menurutnya, hal itu merupakan preseden buruk di mana seorang walikota tidak memberi contoh kepada masyarakat mengenai keputusan hukum.

Dia menegaskan, kasus GKI Yasmin sudah selesai secara hukum. Sikap wali kota yang seperti itu, kata dia, akibat kontrol yang tidak baik dari DPRD. “Tidak boleh menjadi preseden di mana otoritas MA dikalahkan oleh kepentingan kecil. Walikota harus patuh dengan hukum. DPRD seharusnya mengontrol walikota,” ucapnya.

Pengabaian dari walikota, lanjutnya, harus dikenai sanksi. Karena itu, DPRD harus menjalankan fungsi kontrol yang baik terhadap para kepala daerah. “Kontrak politik ada di DPRD, secara hirarkis seperti itu,” jelasnya.

Secara terpisah, Maruarar Sirait berpendapat, seluruh masyarakat dan aparat pemerintahan harus mematuhi hukum. “Ini negara hukum. Karenanya, apa yang sudah diputuskan MA sudah tetap dan harus dijalankan,” tegasnya.

Karenanya, Maruarar berharap pemerintah pusat bisa tegas dalam bertindak. “Apalagi pemerintah SBY nyatakan hukum sebagai panglima. Sudah ada keputusan ORI (Ombudsman Republik Indonesia, Red.) dan MA. Kita tinggal menunggu ketegasan sikap dari pemerintah pusat,” tukasnya.

Menurut Maruarar, dalam kondisi seperti ini, ketegasan pemimpin negara sangat dibutuhkan. “Kalau tidak, nanti bisa menjadi yurisprudensi kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk tidak menjalankan hukum,” ujarnya.

Apalagi, lanjut Maruarar, seluruh pihak sedang menggelorakan empat pilar kebangsaan. “Salah satunya NKRI. Kalau kita negara kesatuan, harusnya seluruh daerah di Indonesia harus patuh pada hukum yang ada di Indonesia,” tandasnya.

Disampaikan Maruarar, yudikatif dan legislatif sudah mengeluarkan sikapnya dalam kasus ini. “Tinggal sekarang eksekutif bertindak menanggapi putusan yudikatif dan legislatif. Kita tidak mau mencampuri urusan eksekutif, tapi kita punya tugas mengawasinya,” ucapnya.

Di tempat terpisah, politisi dari PDI-P Eva Kusuma Sundari berpendapat, upaya melawan hukum yang dilakukan Walikota Bogor dan sejumlah pihak harus dilawan. “Sebab mereka tidak punya argumen hukum yang jelas. Karena substansi keputusan MA itu lebih tinggi dari keputusan Walikota,” ucapnya

Selain putusan MA, ORI juga telah menyatakan pelanggaran hukum Walikota Bogor. “Harusnya Walikota sudah bisa dipecat karena melakukan malapraktik. Walikota melakukan abuse of power,” tegasnya.

Karenanya, menurut Eva, pemerintah pusat harus memecat Wali Kota Bogor. “Berdasarkan UU Otonomi Daerah dan UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), prinsipnya pembina pemerintah daerah itu Mendagri. Jadi Mendagri harus tegas dan berani untuk memecat,” tandasnya.

Disampaikan Eva, PDIP akan terus melakukan upaya politik terhadap Walikota Bogor. “Partai sudah putuskan tarik dukungan, selanjutnya kita akan dorong agar kader PDI-P di DPRD mulai menggalang mosi tidak percaya kepada Walikota dan Wakilnya,” terangnya.

Sementara itu, Wakil Sekjen GP Ansor, Adung Abdul Rochman, menjelaskan, secara umum, GP Ansor melihat kasus GKI Taman Yasmin Kota Bogor merupakan gangguan terhadap hak beribadah masyarakat minoritas. Sebagai bentuk solidaritasnya, GP Ansor selama ini menyayangkan tindakan Wali Kota Bogor, Diani Budiarto yang justru menjadi bagian dari gangguan keberagaman.

“Untuk menyelesaikannya, harus mendapatkan tekanan yang kuat karena keputusan berbagai lembaga tinggi negara saja tidak dijalankan. Kami mendorong kemajemukan bisa tetap dilindung dengan gerakan nasional hidup bersama Pancasila,” ucap Adung.
Senada dengan itu, The Wahid Institute mendesak Wali Kota Bogor Diani Budiarto agar patuh terhadap putusan MA terkait GKI Yasmin. Koordinator Program The Wahid Institute Rumadi mengatakan, sikap Budiarto ini menunjukan sudah ada subordinasi, dan tidak lagi mengakui Indonesia sebagai negara hukum.

Kasus ini seharusnya bisa menjadi ujian bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk membuktikan bahwa negara mampu memberikan perlindungan bagi warga negara, terutama kebebasan untuk beribadah dan berkeyakinan.

Sikap melawan hukum yang ditunjukan Budiarto memberikan kesan pemda begitu mudah ditekan oleh kelompok yang tidak menghendaki adanya pluralitas. “Seharusnya pemda berdiri di atas hukum, bukan tunduk pada tekanan kelompok atau kepentingan tertentu,” kata Rumadi. (Suara Pembaruan)