Saturday 10 December 2011

Saturday, December 10, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Meski Tidak Percaya Yesus, Kebanyakan Ilmuan Atheis Tetap Ke Gereja dan Rayakan Natal.
WASHINGTON DC (AS) – Walaupun tidak percaya pada Tuhan sejumlah besar ilmuwan ateis ingin memperkenalkan agama pada anak-anak mereka. Banyak dari mereka mengikuti tradisi Natal dan pergi ke gereja demi buah hatinya, meski tidak banyak menemukan “sesuatu” dalam kelahiran Yesus Kristus.

Hasil studi terbaru tersebut dipaparkan Elaine Howard Ecklund dan timnya dari Rice University Amerika Serikat dalam jurnal Scientific Study of Religion edisi Desember, seperti dinukil LifeScience, Jumat (02/12/2011).

Penelitian yang berfokus pada ilmuwan ateis ini menemukan bahwa 17 persen dari dalam studi menghadiri layanan keagamaan lebih dari sekali setahun. Kepada para peneliti, para ateis mengatakan menjalankan tradisi agama demi alasan sosial dan pribadi.

"Penelitian kami menunjukkan betapa eratnya kaitan agama dan keluarga dalam masyarakat Amerika Serikat, saking kuatnya sehingga bahkan beberapa komunitas masyarakat yang paling tidak religius menemukan bahwa agama menjadi penting dalam kehidupan pribadi mereka," kata Elaine Howard Ecklund, sosiolog yang juga peneliti utama studi ini.

Dalam penelitian sebelumnya, Ecklund mengungkapkan bahwa garis antara percaya dan tidak percaya pada Tuhan tidak selalu terang. Sebagai contoh, dalam penelitian yang dirilis di jurnal Sociology of Religion, Juli silam, Ecklund dan rekan-rekannya menemukan bahwa sekitar 20 persen dari para ilmuwan ateis adalah "spiritual", jika tidak disebut religius.

Dalam studi kali ini, para peneliti memilih sampel dari 275 peserta yang diambil dari sebuah survei yang lebih besar dari 2.198 fakultas sains di 21 universitas riset elite di Negeri Paman Sam. Setengah dari sampel survei asli mengatakan mereka religius, sementara separuh lainnya tidak.

Para orang tua ateis yang disurvei memiliki beberapa alasan untuk menghadiri layanan keagamaan, meski tidak punya keyakinan religius.

Beberapa orang mengaku mengikuti ibadah tertentu karena didorong oleh pasangan atau partnernya yang religius. Lainnya menjelaskan bahwa mereka menikmati komunitas yang ada di gereja, masjid, kuil atau lembaga keagamaan lain yang mereka ikuti.

Mungkin yang paling menarik, tutur Ecklund, adalah bahwa banyak ilmuwan ateis membawa anak mereka ke layanan keagamaan agar anak-anak mereka dapat memiliki pikiran sendiri tentang Tuhan dan spiritualitas.

"Kami pikir orang-orang ini cenderung kurang memperkenalkan anak-anak mereka pada tradisi keagamaan. Tapi yang kami temukan justru sebaliknya,” ucap Ecklund.

“Para ateis ingin anak mereka memiliki pilihan dan lebih konsisten dengan identitas mereka sebagai ilmuwan untuk mengekspos anak-anak mereka ke sumber pengetahuan,” peneliti perempuan ini menambahkan.

Ecklund mencontohkan pengakuan seorang partisipan ateis yang dibesarkan dalam keluarga Katolik yang kuat dan kemudian percaya bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak sesuai. Meski begitu, peserta studi ini tidak menurunkan pemahamannya pada putrinya.

Dia justru ingin membiarkan anaknya mempuyai kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dengan cara yang bijaksana. Yakni dengan menghadapkan putrinya pada berbagai pilihan agama, termasuk Kristen, Islam, dan Buddha.

“Saya tidak mengindoktrinasi bahwa dia harus percaya pada Tuhan,” kata peserta studi ini. “Saya juga tidak mencekokkan agar dia tidak percaya pada Tuhan.” (Sinar Harapan)