illustrasi (sesawi.net) |
Sebagai upaya melestarikan tradisi daerah, kata Ketua Wilayah Gereja Santo Ignatius Loyola Satimin di Gunung Kidul, Sabtu malam, seluruh personel panitia menggunakan pakaian adat Jawa. Dan, hampir semua jemaat mengenakan batik saat mengikuti misa Natal.
Ignatius Loyola Satimin mengatakan pihaknya rutin menggunakan adat Jawa dalam pelaksanaan misa hari besar umat Kristen. "Kami menggunakan adat Jawa dalam misa sejak sembilan tahun lalu. Dengan tujuan melestarikan tradisi Jawa," katanya menegaskan.
Dalam prosesi misa Natal yang berlangsung selama dua jam itu, diiringi tetabuhan gamelan Jawa, dan pementasan drama Natal dengan menggunakan bahasa Jawa.
Natal tahun ini, kata Ignatius Loyola Satimin, mengusung tema "Kelahiran Yesus Membangun Solidaritas bagi Sesama". Misa ini dipimpin Romo Ignasius Suharyono dari Seminari Tinggi, Kentungan, Kabupaten Sleman, DIY.
Dalam khotbah misa Natal, Romo Ignatius Suharyono mengatakan Natal sebagai hari raya merupakan tradisi sebagai pegangan hidup umat manusia. "Tradisi menghubungkan masa lalu dengan masa depan sebagai pegangan hidup manusia. Natal kapan pun bisa dirayakan umat," katanya.
Ia mengimbau seluruh umat berbagi kebahagiaan terhadap sesama, khususnya dalam perayaan Natal kali ini.
"Natal bisa diumpamakan seperti rumus matematika. Jika manusia berbagai kebahagiaan terhadap sesama, maka kebahagiaan akan bertambah. Sedangkan jika manusia berbagi penderitaan terhadap sesama saat mengalami kesulitan hidup, maka penderitaan akan berkurang," katanya.
Romo Ignatius Suharyono juga mengatakan sosok yang menjadi contoh dan teladan hidup karena rela menderita menjelang kematiaannya.
Dalam kesempatan itu, dia juga menyinggung tentang kondisi Bangsa Indonesia yang masih berada dalam kegelapan dan kesengsaraan karena kasus-kasus besar korupsi.
Menurut dia, korupsi yang melanda Indonesia membuat bangsa ini seperti tidak memiliki masa depan yang cerah.
"Kasus-kasus korupsi seakan tidak pernah berakhir dan menimbulkan frustasi masyarakat. Sayangnya, pemimpin di negeri ini kurang peka," katanya.
Ia mengatakan kondisi Bangsa Indonesia yang buruk seringkali mendorong orang menggunakan jalan pintas dengan cara mengakhiri hidup.
"Masyarakat memiliki banyak beban dan tidak sanggup mengatasi persoalan sehingga mengambil jalan pintas," katanya. (Antara)