Tuesday 27 December 2011

Tuesday, December 27, 2011
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Setara : 244 Peristiwa Pelanggaran Kebebasan Beragama Terjadi Selama 2011.
JAKARTA - Data LSM keberagaman SETARA Institute mengatakan pada tahun 2011 ini, pelanggaran kebebasan beragama meningkat. Tercatat ada 244 peristiwa, meningkat 28 kasus dibanding tahun lalu.

Setara menilai, institusi pengadilan yang seharusnya dipatuhi malah justru dilawan. Demikian juga, di tingkat eksekutif, yang terjadi hanyalah basa-basi dan obral kampanye toleransi tanpa bukti, kata Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani.

"Lima tahun kita menyusun laporan kebebasan beragama berkeyakinan, pada tahun ke-5 inilah habis, habis harapan kita kepada Presiden SBY, hingga kita menyimpulkan bahwa Presiden SBY lebih memilih praktik politik diskriminasi. Artinya, politik disriminasi adalah kehendak-kehendak penyelenggara negara untuk memilih jalan diskriminatif dalam menangani kehidupan kebebasan beragama berkeyakinan."

Pencanangan tahun 2011 sebagai tahun toleransi oleh tokoh-tokoh agama nampak juga tidak mempan. Tahun toleransi dicanangkan para tokoh agama pada Februari lalu. Tapi di hari pencanangan tersebut, justru terjadi peristiwa kekerasan terhadap kaum minoritas. Saat itu Jemaat Ahmadiyah Cikeusik Banten mendapat kekerasan. Tak lama setelahnya, dua gereja di Temanggung Jawa Tengah dibakar perusuh.

Berbagai praktik intoleransi beragama tahun ini yang menyangkut pembangunan rumah ibadah terjadi karena kokohnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama soal izin mendirikan rumah ibadah.

Namun Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB Kabupaten Bekasi, Sulaiman Zackawerus mengatakan, sebenarnya banyak pejabat daerah yang tidak paham aturan ini sehingga masih perlu sosialisasi.

"Jadi ketika SKB tahun 2006 itu keluar, sampai sekarang pun masih banyak pejabat negara, jangan-jangan Bupatinya juga engga ngerti, Walikotanya. Apalagi di tingkat yang lebih bawah, Kepala Desa dan RT RW. Jadi perlu kepada sosialisasi itu sehingga tidak ada salah kaprah dalam mengaktualisasikan aturan itu dalam membangun rumah ibadah."

Di lain pihak, kalau masyarakat setempat sudah rukun-rukun saja dan tidak permasalahkan bangunan gereja, maka FKUB pun tak mempermasalahkan, lanjut Sulaiman.

"Sebelum peraturan ini muncul, orang mau ibadah masa iya sih dilarang. Itu kan pintar-pintarnya pendeta setempat membangun sosialisasi dengan masyarakat Islam setempat. Kemudian tempat yang mereka kebaktian itu perlahan menjadi gereja walaupun bisa dicap ilegal dalam tanda petik. Tapi karena situasinya kondusif, mereka rukun-rukun saja, ya FKUB engga peduli, biarin aja orang udah rukun ini".

"Tapi ketika dia akan membangun gereja permanen, maka harus kembali pada aturan." ujarnya.

Yang menjadi pertanyaan kini, akankah kebebasan beribadah akan terus terbentur oleh peraturan? (KBR68H)