Thursday 26 January 2012

Thursday, January 26, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pdt. Karel Phil Erari : Jakarta Banyak Melecehkan Hak-Hak Dasar Orang Asli Papua.
JAYAPURA (PAPUA) - Inkonsistensi Pemerintah Indonesia dalam menerapkan berbagai kebijakan sejak Papua berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan dampak yang berarti bagi gerakan-gerakan politik identitas di Tanah Papua. Bahkan pihak Jakarta banyak melecehkan hak-hak dasar Orang asli Papua.

Hal ini diungkapkan Pdt. Karel Phil Erari, salah satu Wakil Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Jakarta kepada Tabloid Jubi melalui telepon selulernya, Selasa (24/01/2012).

“Otonomi khusus (Otsus) adalah salah satu contoh sikap inkonsistensi Pemerintah Indonesia dalam penerapan kebijakan di Papua,” demikian kata Pdt. Phil Erari.

Bagi Erari, kewibawaan Pemerintah Indonesia saat ini diragukan oleh Masyarakat Papua. Masyarakat menganggap Jakarta tidak mampu melakukan berbagai perubahan di baik bidang keamanan, kesehatan, pendidikan maupun pemetaan infrastruktur. Hal ini diperparah dengan birokrasi Papua yang ‘beraroma korupsi.’

Politik identitas yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 dimaksud sebagai cara mengorganisir massa sedemikian rupa dengan tujuan agar massa mengidentifikasi diri dengan identitas kelompok yang mereka definisikan. Kelompok ini cenderung berdasarkan kesamaan identitas di dalam kelompok tersebut.

“Gerakan politik identitas di Papua adalah bagian dari kebijakan afirmatif yang harus dihargai. Bertahun-tahun berlalu, Jakarta tidak mengakomodir kurikulum bermuatan pendidikan dan ini adalah salah satu contoh pelecehan terhadap hak Rakyat Papua untuk mendapatkan pendidikan,” kata Erari lagi.

Sementara itu, Kahar Nobara dari Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P) menganggap Jakarta tidak banyak berubah dalam soal penyelesaian masalah Papua, pada Selasa (24/01/2012) di Abepura, Jayapura.

“Kebijakan Jakarta miskin inovasi dimana kebijakan ini lebih sering sebagai sebuah tindakan responsif yang sejatinya hanya tindakan tambal sulam tanpa menyentuh akar persoalan dan tidak mengarah pada proses penyelesaian yang radikal. Prosesnya tidakdemokratik, bertendensi kapitalistik dan nihil muatan nurani,” demikian kata Nobara.

Bagi Nobara, terkait gerakan politik identitas di Papua, saat ini nasionalisme Orang Papua terus berdialektika dengan konteks penderitaan yang terus terjadi. Karena itu, cita-cita untuk merdeka dan berdaulat akan semakin mengkristal.

“Inkonsistensi Jakarta justru akan menjadi salah satu amunisi perjuangan Masyarakat Papua, saat ini” pungkas Nobara.(TabloidJubi)