Thursday 26 January 2012

Thursday, January 26, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua Kampanyekan Bahaya HIV/AIDS.
JAYAPURA (PAPUA) - Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua sebagai gereja terbesar di tanah Papua adalah salah satu dari lembaga keagamaan yang memiliki komitmen memberantas HIV/AIDS di tanah Papua. Sebagai lembaga terbesar dan berpengaruh, tentu sejalan dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua untuk ikut mengkampanyekan bahaya virus mematikan itu di aras Sinode, Klasis, hingga ke jemaat-jemaat.

KPA Provinsi Papua dalam tahun 2011 misalnya mengkampanyekan tema besar, “Kitorang Pangaruh, Mari Bertanggungjawab Untuk HIV” adalah sebuah tema yang melibatkan seluruh stake holder, termasuk gereja. Empat sub tema pun diikutkan dalam kampanye diantaranya, Stigma, Periksa, Kondom dan Tunda Seks.

Tulisan ini adalah reinkarnasi dari khotbah pada Advent II, Minggu 4 Desember 2011 lalu oleh Badan Pekerja Klasis Jayapura memfokuskan ibadah-ibadah hari itu, untuk memperingati hari AIDS se-Dunia yang jatuh tanggal 1 Desember 2011. Tepatnya di jemat GKI SION Dok VIII yang ketika itu dipimpin Pdt. S. Titihalawa, S.Teol.

Pdt. S. Titihalawa, mengajak jemat untuk merenungkan hari AIDS se-Dunia dengan dua bacaan Alkitab yang terangkat dalam teks Alkitab perjanjian baru, masing-masing pembacaan pertama Lukas 5 : 17-26 dengan perikop “Orang Lumpuh Disembuhkan,” dan pembacaan kedua: Yohanes 5:1-9 dengan judul perikop “Penyembuhan di Kolam Betesda”.

Dalam pembacaan pertama, kira-kira ringkasan khotbanya menceritakan ada beberapa orang yang mengusung seorang lumpuh di atas tempat tidur, mereka berusaha membawa orang lumpuh itu masuk dan meletakannya dihadapan Yesus. Tetapi mereka tidak berhasil, berhubung dengan banyaknya orang disitu.

Lalu naiklah mereka ke atap rumah, membongkar atap itu dan menurunkan orang lumpuh itu dengan tempat tidurnya ke tengah-tengah orang banyak tepat di depan Yesus. Lalu Yesus menyatakan Kuasa Penyembuhan kepada orang lumpuh itu dengan berkata, “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu.”

Ringkasan dalam pembacaan kedua dimana ada orang lumpuh yang sudah 38 tahun berada di dekat kolam Betesda. Dia ada disitu selama 38 tahun, karena menurut kepercayaan penduduk, bahwa sewaktu-waktu ada malaekat yang turun untuk menggoncangkan air dalam kolam itu dan setiap orang sakit yang turun pada saat air itu masih bergoncang, maka dia akan sembuh.

Pada suatu hari Yesus lewat dan melihat orang lumpuh itu dan Yesus tahu bahwa dia sudah lama disitu. Yesus bertanya kepadanya: “Maukah engkau sembuh ? Si lumpuh langsung menjawab: “Tuhan tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang dan sementara aku menuju kolam, orang lain sudah turun mendahului aku. Lalu Yesus menyatakan Kuasa Penyembuhan kepada orang lumpuh itu dengan berkata: “bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.”

Jika disimak dengan baik, ada hal yang sama dalam pembacaan pertama dan kedua. Yang sama yaitu, kedua pembacaan tersebut, sama-sama berbicara tentang orang lumpuh (orang sakit) dan bahwa kedua orang lumpuh itu sama-sama disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Kepada kedua orang lumpuh itu, Tuhan Yesus berkata: “Bangunlah dan Berjalanlah.” Jadi yang sama adalah perlakuan atau komitmen Tuhan Yesus atas penyakit kedua orang lumpuh itu. Mereka berdua sama-sama terima kesembuhan dari Tuhan Yesus.

Namun ada yang berbeda dari kedua pembacaan itu. Yang berbeda adalah yang terkait dengan komitmen, solidaritas atau kepedulian manusia di sekitar orang lumpuh itu. Perlakuan untuk si lumpuh dalam pembacaan pertama, ada teman-teman yang berusaha keras untuk membawa si lumpuh ke hadapan Yesus. Namun karena orang terlalu banyak, lalu mereka naik ke atap bongkar atap dan menurunkan si lumpuh itu dengan tempat tidurnya tepat di depan Yesus.

Menurut Pdt. Titihalawa dalam khotbanya ketika itu, bahwa si lumpuh dalam pembacaan pertama berbahagia, karena dia memiliki teman-teman yang sangat peduli seperti itu. Mereka solider, mengasihi dan menyayangi si lumpuh, mereka mengejar peluang dan kesempatan untuk menyembuhkannya. Mereka berusaha dan berupaya, mereka tidak meninggalkan si lumpuh bergumul sendiri dengan penyakitnya, mereka membantu untuk menyembuhkan dia. Dan solusi mereka adalah membawanya kepada Yesus.

“Banyangkan kalau tidak ada teman-teman ini, maka si lumpuh tidak dapat bertemu Yesus dan mungkin tidak mendapat kesempatan untuk disembuhkan oleh Tuhan Yesus,” ajak Pdt. S.Titihalawa kepada jemat untuk merenungkan bagian itu. Si lumpuh dalam pembacaan pertama beruntung karena ada lingkungan, ada teman-teman, ada tetangga-tetangga, ada saudara-saudara yang menolong, mendampingi, memperhatikan, solider, peduli, mengasihi, menyayangi, yang berkomitmen kuat untuk menyembuhkan dia.

Padahal dalam situasi ketika itu, orang banyak yang mengahalangi jalan masuk bertemu Yesus, bukan hambatan dan halangan. Mereka berusaha cari jalan, akirnya bongkar atap dan kasih turun si lumpuh itu tepat di depan Yesus. Melihat itu, Yesus begitu kagum dengan komunitas teman yang ada di sekitar si lumpuh itu. Yesus kagum dengan ‘Solusi Iman” mereka. Lalu Yesus katakan kepada mereka: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.”

Tuhan Yesus sangat senang dengan komunitas teman yang ada di sekitar si lumpuh itu, karenya sebelum menangani si lumpuh yang sudah ada di depan Yesus itu, maka terlebih dahulu Tuhan Yesus menangani komunitas teman ini dengan berkata: “Karena imanmu yang begitu besar untuk menyembuhkan si lumpuh ini, Ku hapus dosamu.” Sesudah itu baru kepada si lumpuh Tuhan Yesus berkata: “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu.” Berkat kesembuhan dari Tuhan tercurah untuk si lumpuh dan berkat keselamatan (penghapusan dosa) juga tercurah untuk komunitas teman yang membantu si lumpuh.

Menurut Pdt. Titihalawa, tidak demikian halnya dengan si lumpuh dalam pembacaan kedua. Dia sama sekali tidak punya komunitas teman seperti si lumpuh dalam pembacaan pertama. Dia tidak punya teman, tetangga, saudara yang peduli dengan dia. Tidak ada yang menolong, mengasihi dan mendampingi dia. Tidak ada yang solider dengan dia, tidak ada yang berusaha berbuat sesuatu untuk dia. Tidak ada solusi iman untuk dia.

Pdt. Titihalawa mencoba mengajak jemat ketika itu untuk masuk dalam perasaan si lumpuh itu yang tidak punya komunitas teman seperti si lumpuh dalam pembacaan pertama. Duduk sendiri selama 38 tahun di pinggir kolam Betesda. Sendiri, tanpa teman dan saudara. Kalau air mulai bergoncang betapa dia melihat semua penderita yang lain bergegas dibawa oleh teman, saudara, tetangga, tetapi dia mesti berusaha sendiri.

Seringkali ketika dia masih berusaha sekuat tenaga untuk merayap ke pinggir kolam, dia terlambat karena air sudah berhenti bergoncang dan dia kembali ke tempatnya. Selama 38 tahun ini terjadi dan mungkin saja berkali-kali dia duduk menyesali nasib, tidak tahu marah siapa, mau marah orang tua yang melahirkannya atau saudara-saudara yang tidak memperhatikannya atau teman-teman yang egois dan tidak punya peduli, atau komunitas di pinggir kolam Betesda yang tidak punya rasa kasih dan rasa iba terhadap orang sakit, sampai suatu ketika Yesus bertemu dia dan langsung dia curhat dan lapor buat Tuhan Yesus: “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke kolam itu apabila airnya mulai goncang dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku. Padahal menurut Pdt. Titihalawa, pertanyaan Tuhan adalah, “maukah engkau sembuh”?.

“Sebenarnya Yesus cuma butuh jawaban, Tuhan saya mau sembuh, tapi karena sudah tidak tahan dengan perlakuan lingkungan, akirnya dia lapor buat Tuhan Yesus, bahwa manusia sudah tidak ada rasa kasih dan belas kasihan untuk orang sakit.”

Dari dua pembacaan yang disebutkan itu, menurut Pdt. Titihalawa bahwa dia mau ajak jemat termasuk sidang pembaca tentang dukungan kita kepada orang sakit. Sebab ternyata lingkungan atau kita sebagai orang-orang di sekitar penderita sakit, punya potensi besar untuk bisa menyembuhkan, tapi juga untuk bisa mematikan orang yang sakit.

Dalam rangka hari AIDS pada tanggal 1 Desember 2011, dua pembacaan itu mengajak manusia untuk berbicara tentang dukungan, tentang solidaritas, tentang rasa peduli kita terhadap penderita HIV/AIDS. Sebab ternyata pembacaan yang kedua, sedang menggugat solidaritas, menggugat rasa peduli kita, menggugat komitmen kita terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Dan pembacaan pertama sedang memberitahu kita bahwa solidaritas dan komitmen kita adalah obat gratis yang bisa menyembuhkan ODHA. Luar biasa menurut Pdt. Titihalawa bahwa ketika manusia cari obat dimana-mana, padahal kita sendiri adalah obat gratis bagi ODHA.

“Kita hamburkan dana bermilyar-milyar untuk tangani ODHA, padahal kita bisa tangani ODHA dengan gratis. Komunitas teman yang dimiliki si lumpuh, ketika mereka menemukan solusi yang luar biasa untuk membawanya tepat ke hadapan Yesus,” ungkap Pdt. Titihalawa dalam khotbanya itu.

Itu sebabnya pesan Pdt. Titihalawa bahwa ODHA, jangan dijadikan seperti komunitas yang ada di pinggir kolam Betesda. Bahwa ODHA bisa lapor kepada Tuhan Yesus, seperti si lumpuh melapor komunitas kolam Betesda itu ke Tuhan Yesus. Untuk itu, pentingnya manusia dalami solidaritas dan komitmen si lumpuh dalam pembacaan pertama. Pendampingan mereka yang mengantar si lumpuh ke hadapan Tuhan Yesus telah menyembuhkan si lumpuh itu dari penyakitnya.

“Ini yang harus kita buat dengan ODHA, pendampingan disini bukan sekedar dan asal-asalan. Coba kita lihat pendampingan komunitas si lumpuh dalam pembacaan pertama, komunitas yang naik atap rumah, bongkar atap, kasih turun penderita dengan tempat tidur dihadapan Yesus,” ajak Titihalawa kepada jemat untuk meniru cara mereka. Disitulah bentuk pendampingan yang akirnya menyembuhkan penderita.

Pada aspek lain ajak Titihalawa, bahwa jemat atau manusia juga harus cari bentuk pendampingan yang dengan sungguh-sungguh yang membawa ODHA tepat dihadapan Yesus. Dan Yesuslah yang menyembuhkan dia. Sebab ternyata kata Titihalawa, pembacaan pertama bersaksi bahwa Yesus senang dengan bentuk pendampingan yang sungguh-sungguh seperti itu yang akirnya Yesus katakan kepada komunitas itu, dosamu sudah diampuni dan kepada si penderita Tuhan Yesus berkata, bangun angkat tempat tidurmu dan berjalanlah.

Setiap ODHA pasti punya perasaan seperti si lumpuh di pinggir kolam Betesda, rasa ditinggalkan, rasa disingkirkan, rasa diasingkan, rasa dibuang, baik oleh keluarga maupun lingkungan. Mereka juga menyesali nasib, tidak tahu mau marah siapa, tapi akirnya harus menjalani hidupnya. Untuk itu Titihalawa mengakui bahwa ODHA melalui Yohanes dalam pembacaan kedua mau bilang untuk jemat dan sidang pembaca bahwa kalau ada dukungan dan pendampingan dari lingkungan, maka melalui kualitas curhat, kita bisa bertemu Yesus atau Yesus bisa berjumpa dengan kita.

Kalau si lumpuh di kolam Betesda Yesus yang berjumpa dengan dia dan dia curhat atau lapor Yesus, tentang tidak adanya dukungan dan pendampingan lingkungan buat dia, karena itu untuk komunitas di kolam Betesda itu tidak ada penyataan Yesus: “Bahwa dosamu sudah diampuni,” berarti tidak ada berkat keselamatan untuk komunitas itu.

Pdt. Titihalawa mengajak jemat dan sidang pembaca bahwa manusia harus jadi seperti komunitas atap rumah, memberikan pendampingan sedemikian rupa, yang sungguh-sungguh yang tulus ikhlas dari hati nurani, tanpa pertimbangan uang dan kepentingan, serta solider dan berkomitmen untuk mencari bentuk pendampingan yang laksana baik ke atap, bongkar atap dan kasih turun sampai tiba dihadapan Yesus. Intinya adalah membawa dia kehadapan Yesus, nanti Yesus yang sembuhkan dia, lalu Yesus akan bilang buat kita: “dosamu sudah diampuni.” Ada berkat keselamatan untuk kita.

Kita adalah komunitas teman, sahabat, keluarga, tetangga bagi ODHA. Mereka ada di sekitar kita dan firman Tuhan bilang kita punya potensi besar untuk bisa menyembuhkan mereka, tergantung dari cara pendampingan yang membawa mereka tepat ke hadapan Yesus. Cara ini tidak mahal dan tidak bermasalah, bisa dibuat oleh kita semua. Cara ini bahkan berkenan kepada Allah dan untuk cara ini ada berkat keselamatan Allah. Karena itu hari AIDS tahun 2011 melalui Firman Tuhan yang diberitakan, hendak menyorot dukungan dan pendampingan manusia terhadap penderita HIV/AIDS.

Kasus HIV/AIDS di Papua yang mencapai angka 10522, menurut Pdt. Titihalawa mesti direnungkan mengapa virus itu begitu besar di Papua. Meski ada berbagai program penanggulangan dengan biaya yang besar, tapi jumlah kasusnya terus bertambah atau tidak berkurang.

“Mesti ada sesuatu yang harus direnungkan. Kita harus berhenti menghakimi ODHA, sebab mereka ada sebagai laporan buat Tuhan bahwa ada krisis kasih, krisis belas kasihan, krisis solidaritas, krisis rasa peduli diantara kehidupan manusia di Tanah Papua. Mereka ada untuk membuat laporan kepada Tuhan tentang marginalisasi, diskriminasi, manusia di tanah Papua, bahwa ada manusia yang tersingkir, tersungkur, terjungkir, terpental, tereliminasi dari kehidupan di Tanah Papua.”

Mereka ada untuk curhat dengan Tuhan bahwa ada banyak program dan komitmen bermasalah dan penuh kepentingan, yang telah mempercepat kematian mereka. Dan karena ada laporan ODHA buat Tuhan, maka tidak ada berkat keselamatan untuk kehidupan seperti itu di Tanah Papua. Bisa saja keadaan hidup manusia di tanah Papua seperti itu, manambah jumlah kasus HIV/AIDS di Papua.

Mari kita temukan solusi dalam komunitas atap rumah di pembacaan pertama, bisa saja angka kasus berkurang ketika kehidupan antar manusia di Papua diperbaiki. Ketika solusi pendampingan ODHA memiliki nilai seperti komunitas atap rumah, pasti tidak ada laporan ODHA buat Tuhan, bahkan justru ODHA akan membuat Tuhan Yesus berkata-kata buat semua manusia di Tanah Papua. “Tuhan berkati firman ini bagi kita semua,” ujar Pdt. Titihalawa mengamini khotbahnya itu. (Tabloid Jubi)