Thursday 26 January 2012

Thursday, January 26, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Pdt Benny Giay : Pemerintah Indonesia Tidak Ingin Papua Maju.
JAYAPURA (PAPUA) - Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Pendeta Dr. Benny Giay mengungkapkan, pengalaman kelam orang Papua semenjak proses integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bakal terus berlanjut. Ada kesan umum, selama ini tidak ada itikad baik Indonesia terhadap Papua.

“Suara rakyat kampung selalu menggema itu karena atas dasar pengalaman. Jadi, kalau ikuti dan renungkan kenyataan yang ada, ternyata benar pemerintah negara ini tra mau kita berkembang,” ujarnya di sela-sela launching buku berjudul "Ekonomi Owaada" di Kampus Institut Sosial dan Studi Pastoral (ISSP) Zakheus Pakage, Paniai, Sabtu (14/01/2012) siang.

“Semua kebijakan yang Jakarta bikin dan turunkan di Papua, baik di atas kertas, tetapi dalam realisasinya? Kita lihat tidak ada yang berhasil. Peraturan dan kebijakannya selalu tumpang tindih, ini tandanya bahwa dorang bikin kacau Papua. Belum lagi pendekatan militer yang terus diterapkan, lama-lama orang Papua habis,” kata Benny.

Menurut Benny, niat busuk itu sudah terbaca. Otonomi Khusus (Otsus) sebagai respon terhadap menguatnya aspirasi Papua Merdeka, tapi hasilnya kan tidak dirasakan, implementasinya tidak berhasil. "Sekarang dorang munculkan Uni Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Ini binatang apalagi yang Jakarta mau terapkan di Papua?,” tanyanya.

Kata Benny, ia dan beberapa petinggi gereja di tanah Papua baru-baru ini telah menyampaikan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbagai persoalan krusial serta apa mau orang Papua.

Menurut Benny, hal itu bagian dari suara kenabian, menyuarakan keluh kesah dan jeritan umat Tuhan di tanah Papua. Tak bisa disangkal lagi, kata Benny, orang Papua terus “diserang” dari berbagai sudut. “Di bidang ekonomi, misalnya, kita sudah terjajah diatas negeri kaya raya ini," katanya.

Satu pekerjaan penting yang kita lakukan, kata Benny, adalah kembali ke kampung, ke rumah masing-masing, hidupkan budaya kerja, kembangkan Owaada. Bikin kebun, kasih pagar, buat beden, di situ kita tanam nota (petatas), nomo (keladi), digiyo-napo (sayur hitam), eto (tebu), umbi-umbian seperti dee, momai, apuu, dan lain-lain.

"Kalau kita sudah mulai, kita kerja dan tanam, kita bisa hidup dari situ. Ini upaya riil untuk kita putuskan mata rantai ketergantungan pada beras dan semua barang impor dari luar Papua,” kata Benny.

Memutus sifat ketergantungan itu, kata Benny, memang agak sulit dalam waktu singkat. Tetapi bagaimana berusaha mencoba dan terus mencoba, adalah baik hasilnya di kemudian hari. “Saya selalu katakan ini, ingatkan sama jemaat bahwa kita harus mandiri," katanya.

Untuk mandiri itu tidak bisa berharap pada orang lain, dari pemerintah atau siapapun. "Kita harus kerja, hidup dari jerih payah sendiri, itu jauh lebih puas, rasanya akan tenang. Jadi, ini yang penting untuk kita mulai, dari sekarang,” ungkapnya.

Perubahan dari keluarga
Benny kemudian minta kepada para pendeta agar pewartaan Firman Tuhan harus menyentuh nurani dan kebutuhan umat setempat. Dari Mimbar Gereja umat diajak untuk bekerja, berbuat sesuatu, dan dengan begitu, pasti ada perubahan.

“Berubah untuk menjadi kuat, itu motto kita, akan nyata kalau bisa laksanakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam keluarga kita,” pintanya.

Salah satu dosen ISSP Paniai, Benny Makewa Pigai, menilai ajakan Ketua Sinode Kingmi Papua relevan dengan konsep pemikiran dalam bukunya yang baru saja diluncurkan. Buku “Ekonomi Owaada Dimulai Dari Halaman Rumah Tiap Keluarga”, katanya.

Setidaknya, kata Makewa, bisa dijadikan acuan dalam melangkah ke depan, membangkitkan budaya kerja di tengah perkembangan jaman modern yang penuh tantangan ini. “Sebagai kajian ilmiah, buku ini setidaknya memberi kontribusi pemikiran akan pentingnya budaya Owaada bagi kita orang Papua, khususnya Suku Mee.”

Bagi Makewa, Owaada adalah budaya Suku Mee. Bagaimana membangun keluarga, masyarakat, pemerintah dan Gereja, dengan berlandaskan Owaada menjadi sangat penting dilakukan di masa kini, dalam menghadapi perubahan jaman. Gerakan Owaada itu sendiri mulai digalakan Gereja Katolik Dekanat Paniai sejak tahun 2005 silam, kemudian diikuti Gereja Kingmi Tanah Papua di Paniai. Ini upaya menyikapi fakta yang dihadapi masyarakat.

“Owaada menjadi satu spiritualitas hidup Suku Mee dalam menghidupkan budaya kerja sebagai solusi tepat saat ini. Ekonomi Owaada harus dimulai dari keluarga kita masing-masing. Memanfaatkan pekarangan rumah secara maksimal agar kebutuhan pangan keluarga tercukupi,” kata mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Paniai yang kini Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Nabire.

Ini juga diaminkan Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib, yang didaulat sebagai moderator pada launching buku tersebut. “Penting sekali melestarikan dan menghidupkan nilai-nilai hakiki budaya suku-suku asli di Tanah Papua, apalagi saat ini kita ada di tengah derasnya arus modernisasi.”

Matius mencatat, orang Papua selama ini selalu menghadapi berbagai persoalan. Hingga kini banyak kasus pembunuhan. Pemenuhan hak-hak warga sipil belum optimal. Negara belum menjamin hak-hak itu. Maka, upaya mempertahankan jati diri dengan segala kearifan luhur adalah sangat urgen dilakukan setiap orang di saat negara dilanda krisis multi dimensi.

“Hanya oleh kita sendiri, kita bisa jaga jati diri, jaga kelangsungan hidup kita di negeri kaya ini. Jadi, pegang dan kembangkan budaya luhur kita. Hidup akan terombang-ambing jika kita tidak lestarikan adat dan budaya luhur. Kita akan lapar kalau kita tidak kerja. Bukan hanya kata-kata atau bicara saja, tetapi nilai-nilai yang diwariskan turun temurun itu mesti direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari kita,” tutur Matius. (TabloidJubi)