Thursday, 16 February 2012

Thursday, February 16, 2012
Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Konyol, Pemkot Bekasi Kembali Serukan Wacana Pembangunan 'Gereja Kristen' Satu Atap.
BEKASI (JABAR) - Setelah sebelumnya pada September 2010 seruannya tidak dihiraukan jemaat di Bekasi, sebab dianggap usulannya itu hanya meremehkan Kekristenan, kembali pada awal tahun 2012 ini, Pemkot Bogor Melalui Plt Walikota Bekasi, Rahmat Effendi mengusulkan untuk merencanakan pembangunan gedung 'Gereja Oikumene' atau rumah ibadah bersama bagi umat Kristen sekota Bogor oleh Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat.

"Format 'gereja bersama' cukup efektif meminimalisir gesekan di masyarakat. Umat dari kepercayaan berbeda dapat memanfaatkannya secara bergiliran. Namun, pendapat penolakan pun tetap harus didengarkan karena pembangunannya harus didasari keputusan bersama," kata Plt Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, kepada Antara, usai menghadiri acara deklarasi kerukunan umat beragama di Kantor Kelurahan Kaliabang, Kecamatan Medan Satria, Rabu (15/02/2012).

Dengan demikian tak perlu makin marak pendirian rumah ibadah tak resmi atau di bangunan yang beralih fungsi," katanya.

Menurutnya, pembangunan Gereja Oikumene akan dibahas lebih lanjut. Sebab penolakan dari umat Kristen yang menganggap perbedaan kepercayaan terkait tata cara ibadah tidak dapat dihiraukan begitu saja.

"Ada yang beranggapan bahwa Nasrani memiliki banyak aliran kepercayaan dan tata cara beribadah yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itulah yang menjadi alasan ibadah mereka tidak bisa disatukan dalam satu atap," kata Rahmat.

Selain itu pada September 2011 lalu, Rahmat menyatakan Gereja Oikumene itu akan memiliki konsep bertingkat dengan masing-masing kelompok jemaat akan beribadah di dalam gereja bersama yang terdiri dari beberapa lantai. Misalnya, lantai satu untuk jemaat Katolik, lantai dua untuk jemaat Protestan, dan seterusnya.

Sayangnya ia belum mampu menafsirkan berapa banyak biaya yang dihibahkan seandainya 260 jemaat Kristen yang dituduh menyalahi ijin [bukan karena super lambatnya birokrasi mengurus IMB gereja, tetapi karena dicap 'menyalahi ijin' semata], sebab puluhan ribu jemaat Kristen dari berbagai organisasi dan denominasi gereja ini harus mengadakan tata ibadah berbeda yang tidak mungkin disatukan dalam satu gedung mungil yang ada dalam hayalan mereka.

Dikatakan Rahmat terkait tiga gereja di Kaliabang, pihaknya pun belum memutuskan perihal relokasi tempat ibadah bagi umat asal tiga gereja yang terpaksa disegel akhir pekan lalu akibat tidak memiliki izin dari masyarakat sekitar.

"Hingga saat ini, pemerintah masih mendorong agar pengurus tiap-tiap gereja bisa melengkapi persyaratan yang dibutuhkan untuk pendirian rumah ibadah. Relokasi belum diputuskan, karena pemerintah jadi harus menyediakan lahan kosong," katanya.

Tidak bisa diseragamkan
Sementara itu, Ketua majelis HKBP Perwira, Pdt Hastorus, menyatakan umat yang berasal dari denominasi berbeda tidak bisa beribadah di tempat yang sama.

"Kepercayaan [terhadap masing-masing dogma gereja] dan tata cara peribadatannya berbeda, tidak mungkin bisa disatukan. Satu kepercayaan [dogma gereja] hanya efektif bila dijalankan di gereja masing-masing," tegas Pdt Hastorus.

Sedang salah satu jemaat di Gereja Arnoldus di Jalan Cut Meutia, Bekasi Timur, Yohanes Rinto, menilai konsep tersebut cukup baik. Asalkan, masyarakat bisa nyaman beribadah, serta damai, dan tenteram. "Secara teknis cukup baik," ujarnya pada September 2012, menaggapi usulan awal pemkot Bogor saat itu.

Yang menjadi persoalan, tambah Yohanes, "Masing-masing jemaat mempunyai ritual yang berbeda. Dalam hal ini Pemkot harus meninjau dari beberapa aspek sebelum menerapkan pembangunan gereja bersama".

Lucunya, ide ini, Rahmat Effendi dapatkan dari penilaian mereka terhadap jemaat Gereja Kristen Oikumene (GKO) di Bekasi Utara, yang adalah sebuah gereja interdenominasi yang barang tentu tidak semua umat Kristen di Bekasi Utara dapat mengikuti tata ibadahnya, sebab GKO sendiri memiliki organisasi gereja yang berbeda dengan organisasi HKBP, GKI, GPdI, KAJ, GPI, GPIB, dll.

Hal ini secara tidak langsung kembali menggambarkan betapa 'ketidakpedulian' pemerintah kota terhadap keragaman umat beragama yang dipimpinnya. Menyeragamkan agama sesuai dengan apa yang mayoritas anut walaupun berlawanan dengan keyakinan agama lain, Kini yang menjadi pertanyaan apakah usul ini akan menjadi kenyataan, ataukan kembali, sekedar omong kosong belaka?. (Antara/TimPPGI)