Silahkan klik tulisan atau gambar untuk lanjut membaca Minoritas Beragama di Indonesia Indekos di Negara Sendiri.
MANADO (SULUT) — Kehidupan berbangsa, bertanah air, dan bernegara Indonesia menjadi pertanyaan besar ketika negara melakukan intervensi kehidupan sosial dan kebebasan beragama. Kaum minoritas merasa seperti menumpang hidup di negara tempat mereka dilahirkan.
Demikian benang merah Renungan Paskah dan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan diikuti 100 rohaniwan Kristen dari berbagai denominasi gereja di Gedung Gereja Syaloom Kolongan, Minahasa Utara, Kamis (05/04/2012).
Pembicara Dr Roy Tamaweol dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Olly Dondokambey, dan praktisi Billy Yohanis.
"Situasi kehidupan beragama sekarang ini, seolah kaum minoritas hidup indekos di negaranya sendiri. Negara tak pernah berpihak kepada kaum tertindas. Ini perasaan dan pergumulan kami," ungkap Tamaweol disambut tepuk tangan peserta.
Ia kemudian memaparkan sejumlah fakta dan peristiwa belakangan yang terjadi di belahan Tanah Air atas nama kekerasan agama.
Rentetan peristiwa menjadikan kaum minoritas hidup terancam ketika melakukan ritual keagamaan. Dikatakan, negara Indonesia terwujud dari kesepakatan dan komitmen anak bangsa secara bersama-sama dari berbagai suku dan agama.
Menurut Tamaweol, Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara agama ataupun sekuler. Pemahaman dasar negara Pancasila menjadi kabur karena pemangku kekuasaan tidak secara mutlak menerapkan dasar-dasar hidup bernegara berdasarkan Pancasila.
Olly Dondokambey mengatakan, konsep negara berkeadilan harus diwujudkan dalam praktik pembagian kue pembangunan. Dikatakan, pembagian kue timpang memunculkan kesenjangan.
"Kami di Badan Anggaran beberapa kali melakukan diskresi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di daerah terpencil, seperti Kalimantan dan Papua. Kalau tidak begitu, mungkin 100 tahun jalan di sana tetap rusak," katanya.
Menurut Dondokambey, empat pilar kebangsaan yang disosialisasikan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, menjadi percuma jika kesenjangan pembangunan terus terbuka. (Kompas)